Aku capek.

Killa menolehkan kepalanya ketika mendengar suara pintu terbuka. Ia tersenyum ketika melihat Aksara berjalan ke arahnya dengan wajah murungnya, namun laki-laki itu masih bisa menampilkan senyumannya. Killa menyuruh Aksara untuk duduk di kasurnya, sementara itu dirinya mengambil segelas susu yang sudah dibuat oleh Mamanya.

“Makasih,” ucap Aksara setelah meneguk beberapa kali susu yang ia minum.

Killa mengangguk, “kamu kenapa?” tanyanya.

Aksara yang tadinya memejamkan mata dengan kepala yang disandarkan ke kepala ranjang langsung membuka matanya kembali. Ia menatap Killa dengan matanya terlihat kelelahan. Killa mendekatkan dirinya untuk mengusap kepala Aksara, laki-laki itu kembali memejamkan matanya, menikmati usapan di kepalanya.

“Capek,” ucap Aksara setelah mereka lama terdiam.

Killa terdiam, menunggu Aksara selesai berucap. Ia tidak mau berucap sebelum Aksara menyelesaikan ucapannya. Gadis itu akan mendengarkannya dengan baik.

“Aku capek selalu dituntut Ayah buat jadi kakak yang baik, kakak yang jadi panutan adiknya, kakak yang harus dapat nilai sempurna, kakak yang harus nanggung semua beban. Aku capek,” ucap Aksara. Ia meneguk ludahnya dengan susah payah, dadanya mulai sesak, bahkan matanya sudah mengeluarkan bulir air mata.

“Ayah bilang, aku gak boleh main, cukup di rumah aja sama Keisha. Ayah bilang, aku harus dapat nilai yang sempurna biar Keisha termotivasi dan jadi semangat belajar. Ayah bilang, aku harus jadi yang terbaik, biar Keisha juga bisa. Kenapa? Kenapa harus aku? Kenapa semua beban harus dikasih ke aku?” ucap Aksara.

“Aku capek setiap hari dengerin Ayah marah-marah, Ayah mukul aku, Ayah bentak aku. Awalnya aku biasa aja. Aku ngira kalau aku emang salah, makanya Ayah kayak gitu. Tapi, setelah dipikir-pikir, aku nggak salah. Ayah yang salah.”

“Kenapa, sih? Dunia kayaknya gak mau lihat aku senang? Kayaknya aku bahagia aja salah, ya, Kil? Apa aku gak berhak bahagia?”

“Aksa,” panggil Killa.

“Hm?” Aksara berdehem sebagai sahutan.

“Dunia emang jahat sama kamu, tapi kamu jangan jahat ke diri kamu sendiri. Kamu berhak bahagia, kamu berhak dapat semua kebahagiaan di dunia ini. Jangan bilang gitu, ya? Nanti bakalan ada saatnya kamu merasakan bahagia yang benar-benar bahagia. Sekarang ini, dunia cuma lagi kasih kamu ujian. Mungkin Tuhan mau ngetes seberapa kuatnya kamu menjalankan ujian kehidupan yang Tuhan kasih. Kamu gak sendirian, kan? Ada aku, Keisha, Bibi, Reza, Jeano, Sagara, Raden, Kale. Semuanya ada sama kamu. Jadi, jangan takut kamu bakalan sendirian, ya?” ucap Killa.

“Bunda juga,” ucap Aksara.

Killa tersenyum, “iya, sama Bunda juga. Bunda bakalan sama kamu terus.”

“Kamu juga harusnya bilang itu ke diri kamu sendiri, ya? Jangan cuma aku, kamu juga. Kamu bilang itu semua ke aku. Tapi, gak ada gunanya kalau kamu gak dengerin perkataan kamu sendiri,” ujar Aksara. Ia membuka matanya, menatap Killa yang terdiam. Aksara memposisikan duduknya menghadap ke arah Killa. Tangannya terulur untuk menggenggam tangan Killa, diusapnya punggung tangan gadis itu dengan ibu jarinya.

“Kil, ayo, kita sama-sama menguatkan. Jangan ninggalin satu sama lain, harus selalu ada buat masing-masing, jangan pergi ke mana-mana, jangan sampai kita pisah,” ucap Aksara. “Kadang aku ngerasa kalau aku gak bisa sama kamu terus. Tapi, aku inget kalau kamu selalu sama aku. Aku jadi langsung yakin kalau kita bakalan bisa sama-sama terus sampai kita tua nanti.”

Killa terkekeh, “kenapa mikir gitu? Kok bisa yakin?”

“Karena aku cinta kamu,” ucap Aksara.

“Apa, ih! Gak jelas banget kamu. Aku tanyanya apa, kamu malah jawab gitu,” gerutu Killa.

Aksara tertawa, “kan aku cuma bilang fakta aja. Tapi, aku benar, kan? Aku yakin kita bakalan bareng-bareng terus karena aku cinta kamu. Kamu juga, kan?”

“Juga apa?” tanya Killa pura-pura tidak tahu.

Aksara merengut, “cinta sama aku?”

“Enggak,” balas Killa.

“Ih, kamu tuh! Jangan bercanda dong. Aku sedih, nih,” rengek Aksara dengan wajah cemberutnya.

Killa tertawa, “bercanda aja. Aku juga cinta kamu, Aksa.”

“Hehe.”

Killa terkekeh. Ia terkejut ketika Aksara menariknya ke dalam pelukan, laki-laki itu memeluknya dengan erat. Seakan-akan Killa akan pergi, padahal gadis itu tidak akan ke mana-mana. Killa memeluk balik Aksara, tangannya mengusap rambut kekasihnya yang tercium aroma khas dari laki-laki itu.

“Woy, jangan pelukan di kamar!”

Suara teriakan Reza dari balkon kamar membuat keduanya melepaskan pelukannya. Aksara menatap sebal ke arah Reza yang menggangu dirinya dan Killa. Killa berdecak malas, ia bangkit dan menghampiri balkon kamarnya.

“Lo ngapain?” tanya Killa.

“Mau balikin buku,” jawab Reza. Memberikan buku sejarah kepada Killa, lalu ia menyengir. “Awas ada setan,” ucapnya lalu segera loncat ke balkon kamarnya sebelum Killa memukulnya.

“Reza ganggu aja,” ucap Aksara.

Killa terkekeh, “biarin.”

“Sini, peluk lagi,” ucap Aksara. Akhirnya keduanya berpelukan sambil bercerita banyak hal di kamar Killa. Tentunya mereka tidak akan melakukan hal macam-macam, karena mereka tahu batasan.