Because I better hurt myself.

TW // self harm , cutter , blood , fight , berantem , harshwords

Killa tersenyum ketika baru turun dari motor Aksara. Ia memberikan helm yang dipakainya pada Aksara, kemudian menyisir rambutnya yang berantakan. Aksara tersenyum melihat Killa, ia mengulurkan tangannya untuk membantu gadisnya merapihkan rambutnya.

“Makasih,” ucap Killa sambil menunjukkan deretan giginya.

Aksara terkekeh, “sama-sama. Aku pulang sekarang, ya?”

Killa mengangguk, “hati-hati di jalan!” serunya. Aksara mengangguk sebagai jawaban, ia melambaikan tangannya kemudian segera pergi dari sana.

Killa membalikkan tubuhnya, membuka pagar rumahnya yang terkunci rapih. Ia berjalan perlahan-lahan masuk ke dalam rumahnya. Dilihatnya ada mobil Ayahnya. Itu artinya, orangtuanya sedang berada di rumah. Ah, hari ini Aji sendirian di rumah karena dirinya libur. Pasti Aji sangat senang ketika Mama dan Papanya datang. Killa tersenyum, ia membuka pintu rumahnya perlahan.

Senyumannya seketika luntur. Ia melihat kaca yang pecah berkeping-keping berhamburan di lantai, tetesan darah yang hampir mengering juga ada di lantai. Rasa panik mulai menyerang dirinya. Ia merasa khawatir dengan adiknya. Aji pasti sedang merasa ketakutan. Tanpa berlama-lama, Killa langsung berlari menaiki tangga satu-persatu untuk pergi ke kamar Aji.

Brak

Killa membuka kasar pintu kamar Aji. Matanya menatap setiap sudut kamar Aji yang terlihat kosong dan gelap. Ia berjalan perlahan masuk ke dalam kamar Aji. Maniknya mendapati Aji yang meringkuk di dekat kasurnya sambil menutupi kedua telinganya. Hati Killa langsung terenyuh, ia menghampiri adiknya dan menggoyangkan lengan Aji. Aji membuka matanya perlahan. Matanya sudah memerah, Aji menangis. Aji sontak duduk dan memeluk kakaknya, kemudian menangis dengan kencang.

Killa memeluk Aji dengan erat, ia mengusap punggung Aji yang bergetar. Killa menangis. Ia menangis karena adiknya menangis dengan begitu hebatnya. Aji terisak di pelukannya, Killa sangat sakit hati. Semua ini karena ulah orangtuanya yang selalu bertengkar tanpa melihat situasi.

“Aji, tenang, ya? Kakak di sini. Kamu gak usah takut, ada aku,” ucap Killa.

“Kak, Mama sama Papa berantem lagi. Aji takut,” ucap Aji dengan suaranya yang bergetar.

“Aji, lihat kakak. Kamu pemberani, kan? Jangan nangis lagi. Mata kamu udah bengkak, nanti mata kamu sakit. Kamu tunggu di sini, jangan keluar dari kamar. Kunci pintunya. Ambil earphone terus dengerin lagu pakai volume yang kencang. Pastikan kamu gak denger apa-apa selain suara musik, ya? Kamu di sini aja. Kakak mau keluar,” ujar Killa sambil menatap Aji dengan tatapannya yang serius.

Aji tidak bisa berkata apa-apa selain mengangguk. Ia menuruti kata kakaknya setelah Killa keluar dari kamarnya. Aji hanya bisa berharap kalau kakaknya tidak melakukan hal yang mencelakakan dirinya sendiri. Dia sudah sangat ketakutan. Berada di rumah seorang diri dengan suara dua orang yang bertengkar serta pecahan entah apa itu, membuat dirinya merasa sangat tertekan dan ketakutan.

Di sisi lain, Killa mendengar suara tangisan Mamanya. Ia segera menghampiri sumber suara. Suara itu berasal dari kamar orangtuanya. Killa membuka pintu kamarnya perlahan-lahan. Matanya membulat ketika melihat Rangga memukuli Winda dengan sapu. Killa berteriak, membuat Rangga menghentikan aksinya.

“Papa! Jangan bikin Mama sakit! Papa kurang ajar banget sih sama Mama?! Papa jahat!” teriak Killa. Mengerahkan semua suaranya untuk berteriak di depan Papanya, suaranya nyaris hilang karena teriakannya cukup kencang. Ia menangis melihat Winda yang terkapar lemah di lantai. Killa berlutut untuk membantu Mamanya duduk. Terasa menyakitkan ketika ia melihat beberapa luka di tubuh Mamanya.

Killa menatap Rangga dengan tajam, “kalau Papa gak sayang Mama lagi, mending Papa ceraikan Mama! Buat apa Papa tetap bertahan sama Mama kalau Papa selalu mukul Mama?! Buat apa?! Gak ada gunanya kalian bertahan. Mama juga gak butuh orang kayak Papa! Papa manusia kejam, manusia iblis, manusia yang gak punya hati, manusia biadab!” teriak Killa.

“Kurang ajar ya kamu!” seru Rangga sambil menampar Killa.

“Mas!” teriak Winda ketika melihat suaminya menampar anaknya.

Killa terkekeh. Sudut bibirnya berdarah, rasanya sangat perih. Namun, semua itu tidak ada bandingnya dengan rasa sakit hatinya melihat Mamanya yang terluka. Ia hancur. Ia hancur di tangan Papanya.

“DASAR MANUSIA BIADAB! BINATANG AJA GAK KAYAK PAPA, MEREKA LEBIH SUCI DARI PAPA! PAPA GAK PANTAS DISEBUT SEBAGAI KEPALA KELUARGA DAN SEORANG AYAH! PAPA CUMA BAJINGAN YANG CUMA BISA MENGHANCURKAN KEHIDUPAN ORANG!” teriak Killa. Tangisannya meluruh setelah ia selesai berucap.

Di depannya, Rangga termenung. Hatinya memanas, dadanya naik-turun karena emosinya. Tanpa aba-aba, ia memukul Killa hingga gadis itu tersungkur. Teriakan Winda memenuhi ruangan itu. Winda merangkak mendekati Killa yang menangis sambil memegangi wajahnya. Kepalanya terasa pening, pukulan Papanya terasa sangat menyakitkan. Winda menangis, ia memeluk Killa dengan erat. Winda menatap Rangga dengan tajam.

“Bajingan kamu, Mas! Kamu bajingan! Aku muak dipukulin terus sama kamu! Aku muak! Lebih baik kita cerai aja daripada kayak gini terus. Hubungan kita gak ada yang perlu dipertahankan!” ucap Winda.

Rangga tertawa, “kamu mau cerai? Silahkan saja. Saya juga gak masalah, malahan saya senang. Hidup saya akan damai dan tenang tanpa kalian. Saya juga sudah muak sama kalian!”

“Dasar gila!” teriak Winda.

“Saya tidak peduli,” ucap Rangga kemudian berjalan ke arah lemari. Memasukkan semua baju-bajunya ke dalam koper, lalu keluar dari kamar.

Suara mesin mobil terdengar, kemudian hilang begitu saja. Killa masih terisak di pelukan sang Mama. Winda mengusap kepala Killa, ia menangis karena sekarang keluarganya sudah hancur. Winda merasa gagal menjadi seorang ibu karena membuat anaknya merasakan hal yang seharusnya tidak mereka rasakan. Winda berjanji pada dirinya sendiri kalau setelah ini mereka akan hidup bersama dan hidup bahagia tanpa manusia brengsek seperti suaminya. Ah, sebentar lagi akan menjadi calon mantan suaminya. Winda juga akan menuntut Rangga ke dalam penjara. Ia berjanji akan membuat manusia keji itu merasakan yang namanya dihukum oleh semesta dan diberikan hukuman yang seberat-beratnya.

“Ma, aku mau ke kamar,” ucap Killa dengan suara pelan.

“Nak, kepala kamu, gimana? Mama obatin dulu, ya?” ucap Winda.

Killa menggeleng pelan, “aku gapapa, Ma.” Kemudian ia berusaha untuk berdiri, meski ia sempat akan ambruk. Killa berjalan dengan pelan menuju kamarnya. Jalannya sempoyongan karena dirinya merasa sangat pusing. Winda kembali menangis dengan kencang melihat putrinya yang terluka.


Killa's POV

Aku berjalan dengan perlahan memasuki kamarku, menutup pintunya dan menguncinya. Dengan asal, aku melempar tas milikku ke lantai. Kepalaku terasa sangat pusing. Papa terlalu kencang memukul kepalaku. Sekarang wajahku penuh dengan darah. Aku menatap diriku di pantulan cermin, tampak sangat berantakan dengan darah di wajah. Aku menangis. Lagi. Rasanya sangat sesak sekali.

Tubuhku jatuh ke lantai, aku kembali menangis lagi. Memukuli diriku yang padahal tidak bersalah. Tapi, otakku selalu menyalahkan diriku sendiri. Aku merasa bersalah karena membuat Mama dan Papa berpisah. Aku yang menyuruhnya, padahal aku ingin mereka bersama lebih lama. Tapi, sikap Papa membuat aku muak. Papa selalu memukuli Mama.

Aku mengambil cutter di meja belajar. Aku menatapnya sejenak. Kemudian aku menatap lenganku yang sudah bersih tanpa luka. Tanpa berkata apapun, aku menggoreskan cutter itu ke tanganku. Darah keluar dari tanganku. Rasanya tidak sakit, karena aku sudah terbiasa. Otakku seperti kosong, aku tidak bisa memikirkan apapun. Aku menangis sampai kepalaku terasa pusing. Dan selanjutnya entah apa yang terjadi, hanya ada kegelapan yang aku lihat.