Because we’re same
Aira mendudukkan dirinya di tanah. Udara dinginnya malam tak ia hiraukan sama sekali, ia membiarkan tubuhnya kedinginan diterpa angin. Rambutnya yang terurai pun berterbangan.
“Lemah banget, masa gitu aja gue nangis. Kan udah biasa kayak gitu,” gumam Aira. Matanya menatap lurus ke atas langit.
“Kenapa gue gak boleh nulis? Padahal kan itu hobi gue. Cita-cita gue juga jadi penulis. Kenapa Mama gak ngebolehin gue nulis? Emang seburuk itu jadi penulis?”
Batinnya terus bertanya-tanya, mencari-cari jawaban entah sampai kapan. Pertanyaan yang sama selalu ia tanyakan ketika Mamanya mengetahui dirinya menulis lagi dan marah lagi kepadanya.
“Jadi penulis gak seburuk itu, kok.”
Aira terkejut ketika mendengar suara selain dirinya. Sampingnya yang kosong pun kini sudah terisi oleh seseorang yang duduk di sampingnya. Aira menolehkan kepalanya, ia mendapati Odey yang duduk di sampingnya. Keningnya mengkerut karena heran kenapa Odey bisa di sini juga. Ah, tapi, Aira ingat kalau ini adalah tempat umum. Jadi, wajar saja kalau Odey juga ada di sini.
“Lo dengerin gue ngomong daritadi?” tanya Aira.
Odey mengangguk, “Maaf kalau lancang. Gua tadi gak sengaja liat lo. Tadinya mau langsung nyamperin, tapi, kayaknya lo lagi ngomel gitu. Ya udah, gua diem dulu.”
“Ah ... Gue jadi malu,” ucap Aira sambil terkekeh.
Odey menolehkan kepalanya, “Kenapa harus malu? Gapapa kali, santai aja sama gua mah. Lagian gak ada salahnya buat ngeluh, gua juga gak komenin apa-apa soal itu. Karena itu hak lo mau mengeluh, semua orang berhak ngeluh. Iya, kan?”
Aira mengangguk, “Gue sedih tau.”
“Kenapa? Mind to share with me? I’m all in ears.”
“Is that okay?”
Odey mengangguk, “Go then.”
Aira menceritakan semuanya dari awal permasalahan sampai puncaknya tadi di rumah. Odey hanya diam, telinganya setia mendengarkan cerita Aira dengan seksama. Tidak ada satu kalimat pun yang ia lewatkan. Pandangannya menatap ke arah Aira yang menundukkan kepalanya. Gadis itu hampir menangis. Bahkan ia sampai mendongak agar air matanya tidak jadi menetes. Odey terhenyak, rasanya ia membawa Aira ke dalam dekapannya setelah gadis itu selesai bercerita.
“Selama ini gue mikir, apa jadi penulis seburuk itu? Sampai Mama gak mau gue nulis. Padahal gue suka banget nulis, tapi Mama gak setuju. Gue sedih sama kecewa campur jadi satu.”
“Jadi penulis gak seburuk itu kok, Ai. Tapi, setiap orang tua pasti mau yang terbaik buat anaknya. Mungkin buat Mama lo, menulis itu gak keren dan gak bakal menjamin masa depan lo. Tapi, lo yang suka nulis, pasti bakal bisa merancang masa depan lo. Dari lo liat penulis terkenal yang ngeluarin beberapa karyanya, lo bisa belajar dari mereka. Banyak banget yang harus lo pelajari dari mereka tentunya. Tapi, salah satunya adalah lo yang harus bisa yakinin Mama lo. Mungkin dengan cara lo bikin buku atau menerbitkan karya lo? Siapa tau Mama lo bisa luluh. Pelan-pelan aja, Ai. Semua ada prosesnya kok. Gak ada yang instan. And one thing you should know, gua juga pernah ada di posisi lo.”
“Oh, ya? Kita sama gitu? Kalau lo gara-gara apa? Boleh cerita gak?”
Odey terkekeh, “Sebelumnya gua mau tanya sama lo.”
Aira menaikkan sebelah alisnya.
“Can I?”
“What?”
“Hug you?”
“Hah?”
“I mean, gua mau ngasih lo pelukan karena lo udah keren banget sejauh ini. Mhm, apreasiasi? Ya gitu, lah.”
Aira terkekeh, “Sure. You can hug me. Hug me then. I need your hug, please ....”
Odey tersenyum. Ia menarik Aira ke dalam pelukan hangatnya. Ia mengusap surai panjang milik Aira dengan lembut, meletakkan kepalanya di bahu Aira. Sementara Aira memeluk Odey dengan erat. Menghirup aroma tubuh Odey di bagian lehernya. Aroma yang membuatnya tenang, Aira menyukainya. Untuk pertama kalinya Odey memberikan dirinya pelukan terhangat.
“Gua bakalan cerita, lo senderan aja di bahu gua.”
“Modus, ya?”
“Iya.”
Lantas keduanya tertawa. Tanpa banyak bicara lagi, Aira segera menyandarkan kepalanya di bahu Odey. Odey tersenyum, ia menyandarkan kepalanya di kepala Aira. Kemudian dirinya mulai bercerita tentang masa kelamnya yang sungguh membekas di ingatannya.