Bukti

Rael masuk ke dalam ruangan kepala sekolah dengan takut-takut, perasaannya semakin tidak enak ketika melihat seseorang di dalam sana dan Mamanya juga berada di dalam. Anne menatapnya tanpa senyuman, matanya mengawasi Rael yang mulai mendudukkan diri.

“Kenapa saya dipanggil ke sini, Pak?” tanya Rael.

“Kamu tau siapa mereka?”

Rael menatap tiga orang perempuan seusia dirinya yang duduk jauh darinya—sengaja dijauhkan agar Rael tidak melakukan hal-hal aneh—Rael meneguk ludahnya dengan susah payah. Ia melirik Anne yang menatapnya, kemudian menatap kepala sekolah yang menunggu jawaban darinya.

Gelengan pelan dari Rael membuat Anne menghela napas kasar.

“Jangan bohong, Rael. Kamu pasti kenal, kan? Saya tau kamu pasti sedang mencari-cari kalimat untuk mengelak. Tapi, kenyataannya adalah kalau kamu tau siapa mereka. Mereka korban bullying kamu, kamu melakukan itu kepada ketiga anak ini. Mau mengelak apa kamu?”

Rael terkejut, ia berusaha untuk mengontrol raut wajahnya. Bagaimana semuanya bisa terbongkar? Bahkan Mamanya hanya diam tanpa angkat bicara.

“S–saya gak ngelakuin apa-apa, Pak,” ucap Rael dengan gugup.

“Saya menyimpan beberapa bukti yang kuat, apa kamu masih akan mengelak setelah melihatnya?”

“Saya gak bersalah, Pak! Saya gak ngelakuin apa-apa sama mereka! Kalau mereka yang melapor, semua itu bohong. Saya gak ngelakuin apa pun.”

Sebuah video terputar di layar proyektor. Membuat Rael yang sedang melayangkan protesnya langsung terdiam, memperhatikan video itu dengan wajah terkejutnya dan detak jantungnya yang berdetak dengan kencang. Video itu ... Darimana video itu berasal? Rael sudah panas dingin. Semuanya sudah ketahuan. Hidupnya sebentar lagi sudah berakhir.

“Mau mengelak apa lagi, Rael? Buktinya sudah kuat.”

“I–itu bohong, Pak. Video itu palsu!” seru Rael yang nyaris teriak.

“Rael ....,” panggil Anne.

“Ma, Rael gak ngelakuin itu. Percaya sama Rael, ya, Ma?” ucap Rael dengan suara bergetar.

“Nak, bukti itu sudah jelas. Banyak sanksi juga. Kamu tidak bisa mengelaknya,” ujar Anne.

“Mama kok gitu, sih?! Mama gak dukung aku?! Harusnya Mama bela aku, bukan bela mereka!” teriak Rael murka.

“Itu sudah jelas, Rael. Buktinya sudah jelas! Mereka tidak bersalah, kamu yang bersalah. Kamu yang harus bertanggung jawab atas apa yang udah kamu lakuin sama mereka. Kamu harus terima hukuman yang nantinya akan diberikan ke kamu,” ucap Anne.

“Tapi, aku gak ngelakuin itu, Ma! Buat apa aku ngelakuin itu semua? Itu cuma editan, itu palsu. Mama tolong percaya sama aku,” ucap Rael sembari memohon. Kini ia sudah menangis terisak-isak.

“Maaf, nak ... Mama percaya kamu bisa bertanggung jawab. Karena Mama tidak pernah mengajarkan kamu untuk berbuat jahat,” ucap Anne. “Kamu harus bertanggung jawab atas apa yang udah kamu perbuat. Entah itu yang terbaik untuk ke depannya atau tidak, kamu harus menerimanya.”

“Untuk ananda Rael Aline, anda dinyatakan di-drop out dari sekolah ini.”

“Gak! Saya gak terima! Ini bukan saya! Video ini editan! Mama, bilangin ke dia, aku gak bersalah!” teriak Rael tidak terima.

“Kamu bersalah, Rael. Kamu pantas buat dapat ini. Kamu harus terima,” ujar Anne.

“Mama jahat!”

“Mama kecewa sama kamu, Rael.”

Rael yang mendengar itu langsung tambah menangis, dadanya sesak sekali, ia telah mengecewakan Mamanya. Satu-satunya orang yang selalu menjaganya dan merawatnya hingga ia tumbuh besar. Ia malah mengecewakannya. Rael keluar dari ruangan kepala sekolah sembari menangis. Beruntungnya ini sudah jam pelajaran, jadi, tidak ada satu pun yang akan melihatnya menangis.