Gak ada gunanya

Aira berjalan ke arah ruang keluarga. Dia menghembuskan napas beratnya, tangannya meremas kaos yang ia pakai. Entah apa yang akan dibicarakan oleh Mamanya kali ini, Aira sudah muak. Gadis itu muak mendengarkan ucapan-ucapan Mamanya ketika wanita itu menemukan sesuatu di kamarnya. Padahal Papanya mendukungnya. Namun, Mamanya menentang dirinya dengan keras.

Aira berdiri di samping sofa, melihat wajah Mamanya yang nampak marah. Di sampingnya ada Papanya yang sedang menenangkan dan membujuk Mamanya.

“Ma ....”

Melanie mendongakkan kepalanya, menatap anak sulungnya dengan tatapan kecewa. Ia berdiri, di susul oleh Fadrian yang ikut berdiri. Melanie mendekati Aira, di tangannya menggenggam beberapa kertas yang sudah kusut karena diremas olehnya.

“Mama bilang apa ke kamu, Kak? Kenapa masih aja kamu ulangin?!” ucap Melanie sembari mengangkat kertas-kertas yang ia pegang.

Aira hanya menundukkan kepalanya mendengar ucapan Mamanya. Untuk saat ini ia tidak berani membantah. Aira hanya dia mendengar kalimat demi kalimat yang dilontarkan oleh Mamanya selama ini.

“Buat apa kamu nulis cerita gak jelas di kertas ini? Mama berulang kali bilang ke kamu, kamu gak perlu nulis gituan. Mama minta kamu buat berhenti, tapi, kamu tetep lanjutin hobi kamu yang gak berguna ini! Kenapa kamu gak lakuin hobi lain? Apa menulis bakalan bikin masa depan kamu terjamin? Apa dengan uang hasil kamu menjual buku-buku milik kamu itu bikin masa depan kamu terurus?”

Melanie menatap anaknya yang hanya diam sambil menundukkan kepalanya. Sementara Fadrian mengusap bahunya dan menyuruhnya untuk berhenti mencampuri hobi anak mereka. Namun, Melanie adalah wanita keras kepala. Ia tidak akan berhenti dan tidak akan pernah berhenti mengingatkan anaknya untuk berhenti melakukan hobi yang menurutnya tidak berguna.

“Sudah, Ma ... Kalau itu pilihan Aira, kita dukung dia aja. Jangan seperti ini. Kita tidak bisa mengatur hobi dan kesenangan seorang anak,” ucap Fadrian.

“Belain aja terus, kamu kan emang gak peduli sama masa depan anak-anak kita,” sentak Melanie.

“Bukan begitu ... Aku mempedulikan masa depan mereka, tapi, tidak dengan mengatur kesenangan mereka seperti ini. Kecuali mereka sudah melewati batas. Sekarang kamu yang kelewatan batas dalam mengatur kesenangan mereka. Gak baik, Ma. Kita harusnya dukung Aira,” ujar Fadrian.

“Ah, udahlah. Kamu selalu aja bilang kayak gitu! Aku mau Aira jadi anak sukses dengan pekerjaan dia yang layak nantinya.”

“Menjadi penulis itu juga kerjaan yang layak, Ma ... Kamu tidak seharusnya ngomong kayak gitu.”

Aira mendengarkan perdebatan Mamanya dengan Papanya. Dadanya memanas mendengarkan suara keduanya, ia sudah tidak bisa menahannya lagi. Mamanya tidak mau dirinya menjadi penulis, padahal itu adalah cita-citanya. Aira juga sangat menyukai menulis beberapa cerita di kertas. Namun, kertas itu berada di tangan Mamanya dan hampir robek.

“Ma!” teriakan Aira menghentikan perdebatan keduanya.

“Aku udah muak dengerin Mama yang gak pernah setuju sama hobi aku, Mama selalu menentang itu. Padahal itu hobi aku, Ma. Aku suka nulis, aku suka mengarang cerita, aku suka apa yang aku lakuin. Itu semua adalah kesenangan aku. Tapi, kenapa Mama gak pernah dukung aku? Ma, jadi penulis itu gak seburuk yang Mama pikirkan. Aku juga mulai menulis dengan bertahap, aku juga mau masa depan aku terjamin dan bikin Mama sama Papa bangga sama buku hasil karyaku nanti. Ma, apa Mama pernah mikirin perasaan aku selama Mama marahin aku karena Mama berhasil nemu kertas yang isinya tulisan aku? Aku sakit hati, Ma. Mama gak pernah dukung aku, Mama gak pernah perasaan aku. Aku juga kecewa sama Mama. Mama selalu robek kertas itu. Sekarang aku udah muak! Aku capek! Aku gak mau lagi dengerin omongan Mama. Terserah Mama mau ngomong apa, aku gak peduli. Aku bakalan tetep lakuin apa yang aku mau! Mama gak punya hak buat ngatur hobi dan cita-cita aku, Ma. Aku capek dengerin Mama ngomong kayak gitu.”

Aira mulai meneteskan air matanya. Ia terisak-isak, bahunya bergetar. Benji yang berada di gazebo pun mendengarkan semuanya, ia juga mendengar suara tangis kakaknya. Benji hanya bisa memeluk Miyu karena kakaknya tidak mengizinkan dia untuk menemaninya.

“Miyu, kakak kasian ... Gua mau meluk dia, tapi, tadi dia gak ngebolehin gua nemenin dia,” gumamnya. Tangannya mengusap bulu-bulu halus milik Miyu.

“Nak ....” Fadrian menatap Aira dengan tatapan sedih, ia tidak tega melihat anaknya menangis seperti ini. Apalagi Melanie yang terhenyak melihat anak sulungnya menangis terisak-isak seperti ini di hadapannya.

“Nak, maksud Mama bukan seperti itu—”

“Apalagi, Ma? Mama mau ngomong apalagi? Mama mau mengelak?”

“Nak ....”

“Aku capek. Terserah Mama mau bakar kertasnya atau dirobek atau dibuang sekalian, aku gak peduli. Aku butuh waktu buat sendiri. Aku harap Mama cepet sadar kalau menjadi penulis gak seburuk itu,” ucap Aira kemudian pergi dari ruang keluarga. Ia mengotak-atik ponselnya dan keluar dari rumahnya. Gadis itu berlari ke depan komplek perumahan untuk mencari ojek. Aira yang hanya memakai celana panjang dan juga kaos hanya bisa menahan dingin dari udara malam yang menerpa kulitnya. Ia akan pergi ke bukit yang biasanya ia kunjungi ketika dirinya dalam suasana hati yang tidak baik. Ia butuh waktu untuk dirinya sendiri setelah menahannya beberapa lama.