Gak adil

TW // blood , silet , harshwords , family problem , attempt to harm , murder.

Setelah berdiam diri bermenit-menit di bawah tangga, Kailee akhirnya membuka pintu rooftop. Teman-temannya sudah berjaga-jaga di sekitar bawah rooftop. Kailee mengedarkan pandangannya. Ia menemukan Rael yang berdiri di ujung pembatas rooftop, gadis itu melangkahkan kakinya untuk lebih dekat dengan Rael.

Rael yang menyadari ada suara langkah kaki langsung membalikkan tubuhnya. Wajahnya sudah dibuat menyedihkan dengan air mata di sudut matanya. Bahkan hidungnya yang memerah karena blush on agar membantu aktingnya. Rael mulai adegan terisak-isak, ia segera memeluk Kailee, kemudian lanjut menangis.

Kailee yang terkejut hanya bisa menepuk punggung Rael, menenangkan sepupunya yamg sedang menangis. Kemudian Rael menjauhkan diri dari Kailee.

“Kailee, aku nyesel banget. Aku minta maaf sama kamu, aku gak tau harus gimana lagi. Aku di drop out dari sekolah. Aku malu sama orang-orang,” ucap Rael.

“Sabar, ya—”

Ucapan Kailee terpotong karena Rael yang kembali bersuara, “Siapa, sih, yang nyebar video-nya? Pasti dia mau aku hancur dan bikin aku malu,” ucapnya. Kailee tertegun dengan ucapan Rael. Ia meremas rok sekolahnya dengan perasaan gelisah.

“Kamu tau, Kailee?” tanya Rael.

Kailee menggeleng pelan, “Enggak. Gue gak—”

Lagi-lagi ucapan Kailee terpotong.

“Masa gak tau? Bukannya kamu yang videoin?” tanya Rael.

Kailee mengernyitkan keningnya. Dari mana Rael tau? Kailee menatap Rael dengan was-was. Gadis di depannya mulai menghapus air mata bohongan, kemudian ia bertepuk tangan. Pandangan Rael tak lepas dari Kailee yang juga menatapnya.

“Keren banget kamu, Kailee. Ini, kan, yang kamu mau? Kamu mau hancurin aku, kamu mau bikin aku malu. Makanya kamu lakuin berbagai cara buat jatuhin aku, sampai aku dikeluarin dari sekolah. Kamu seneng, kan?” cerca Rael.

“Maksud lo? Gue lakuin ini karena lo emang pantes buat dapetin ini, Rael. Ini semua karma lo!” seru Kailee.

Rael tertawa, “Karma? Mungkin kamu yang bakal dapet karmanya setelah ini, Kailee.”

“Dih, gak usah ngelantur lo! Lo yang berbuat salah, lo yang harus nanggung karmanya. Gue di sini cuma mau menguak kejelekan lo selama ini. Kelakuan lo yang menindas orang-orang yang gak bersalah dan merampas paksa uang mereka cuma buat kesenangan lo doang. Lo mikir, gak? Kalau lo itu jahat? Lo bahkan lebih dari jahat, Rael. Lo brengsek. Lo egois. Harusnya kalau lo punya otak, lo bisa mikir apa karma yang bakalan lo dapetin setelah lakuin ini,” ujar Kailee.

“Lo itu gak tau apa-apa tentang gue, Kailee. Lo gak usah sok tau. Lo juga gak perlu sampai kayak gini juga kali. Sampah,” balas Rael sengit.

“Sampah? Terus lo apa? Rongsokan? Ngaca deh, Rael. Gue kayak gini bukannya mau jatuhin lo. Enggak. Gue mau lo sadar! Tapi, kayaknya lo disadarin pake cara apa pun juga gak bakalan sadar, iya, kan? Dan satu lagi, gue tau semua tentang lo,” ucap Kailee. Tatapannya menajam, seakan-akan siap menerkam Rael kapan pun.

“Ini semua salah lo, Kailee! Lo juga harus ngerasain hal yang sama kayak gue. Gak adil kalau cuma gue doang yang ngerasain ini, lo juga harus ngerasain!” teriak Rael.

Suara Rael terdengar sampai ke luar. Kalilo yang terkejut mendengarnya pun ingin menaiki tangga dan menghampiri Kailee, namun, Abi menahan tangannya. Menyuruh Kalilo untuk tetap di sini. Sekarang bukan waktunya mereka muncul menyelamatkan Kailee. Mereka harus menjalankan rencana awal. Kalilo menghembuskan napasnya kasar, ia sangat khawatir dengan Kailee.

“Lo harus ngerasain gimana hidup gue yang sengsara, sedih, menyakitkan. Semuanya! Lo juga harus ngerasain apa yang gue rasain!”

Rael mendekati Kailee secara perlahan-lahan, membuat Kailee memundurkan langkahnya perlahan-lahan pula.

“Semua orang selalu ngomongin lo. Bahkan Mama juga lebih milih ngobrol sama lo, padahal beliau baru aja datang ke sini. Tapi, dia lebih milih lo daripada anaknya yang jelas-jelas duduk di sampingnya. Dunia selalu tentang lo, Kailee! Gak adil.”

Rael semakin mendekatkan dirinya, wajahnya sudah berantakan, dipenuhi oleh air mata sungguhan. Kailee hanya diam mendengarkan semua unek-unek Rael yang mungkin ia pendam sendirian.

“Gue iri sama lo yang punya keluarga utuh, keluarga lo harmonis. Lo punya dua kakak, orangtua lengkap. Hidup lo juga bahagia. Lo punya temen-temen yang baik, lo punya pacar yang baik juga, lo beruntung banget, Kailee. Gue juga mau ngerasain itu semua! Tapi, kenapa seolah-olah dunia gak bolehin gue buat ngerasain hal yang sama?”

Kailee terdiam.

“Mama sama Papa cerai, Mama ninggalin gue sama Papa karena Papa yang maksa, gue tinggal di rumah sendirian sama Papa dan kadang Papa mukul gue. Gue juga pengen punya keluarga utuh. Gue butuh kasih sayang mereka, tapi, gue gak dapetin itu semua, Kailee. Gue gak seberuntung lo.”

“Rael, ini semua bukan salah gue. Ini salah hati lo yang terlalu iri sama kehidupan orang lain! Lo salah. Tuhan kasih porsi bahagia sama sedih buat umatnya masing-masing secara seimbang. Lo pikir gue gak pernah sedih karena punya keluarga utuh? Gak, Rael. Punya keluarga utuh juga kadang bikin gue sedih. Gue juga punya masalah sama keluarga gue sendiri. Gue gak selamanya hidup bahagia kayak yang lo omongin, Rael. Lo salah besar. Hapus rasa iri lo, gue yakin lo bisa dapetin itu semua nanti. Lo gak boleh kayak gini, yang ada lo malah nambahin penyakit hati,” ucap Kailee dengan hati-hati. Ia tidak mau menyakiti hati Rael dan menyinggungnya.

“Tapi, dunia selalu berputar ke lo, Kailee. Semua orang ngomongin lo. Kailee, Kailee, Kailee. Semuanya aja nama lo yang disebut!” seru Rael.

“Rael—” Kailee tercekat ketika punggungnya sudah menyentuh tembok dan Rael berdiri beberapa langkah di depannya.

“Oke, gue minta maaf sama lo karena udah bikin lo kayak gini. Gue gak ada bermaksud kayak gini karena ini bukan sepenuhnya salah gue. Kalau lo maunya gue minta maaf sama lo. Gue minta maaf, Rael. Berhenti kayak gini, ya? Lo jahat buat diri lo sendiri, buat orang lain juga.” Kailee berucap sembari menatap Rael dengan iba. Tangannya menggenggam rok sekolahnya dengan kuat. Ada sedikit perasaan takut di hatinya.

“Anjing lo, Kailee. Gue harap lo gak ada di dunia ini! Gue muak sama lo!” teriak Rael.

“Dan lo gak usah sok-sokan bilang kayak gitu sama gue. Gue gak butuh permintaan maaf dari lo, anjing! Gue benci sama lo!” teriak Rael.

Kemudian tanpa aba-aba, Rael mendekati Kailee dan berusaha untuk mencekiknya. Untungnya Kailee bisa menghindar dengan mudah.

“RAEL!”

Teriak Kailee membuat Kalilo panik, ia menyuruh Agam dan Sachi untuk memanggil polisi. Kemudian ia menyuruh Adira dan Abi untuk melaporkan pada guru. Kini tersisa Kalilo dan Dika. Sementara Ella menunggu dari seberang rooftop, menunggu di bawah sembari berjinjit untuk melihat keadaan. Namun, nihil, ia tidak bisa melihat dengan jelas.

Ella membulatkan matanya ketika melihat Rael yang berusaha mencekik Kailee, mereka berada di dekat pembatas. Jika melangkah lebih jauh, hal fatal akan terjadi. Dengan terburu-buru, Ella menelpon Kalilo dan memberitahunya. Kalilo langsung menaiki tangga, disusul oleh Dika.

Pintu rooftop yang dikunci—entah sejak kapan—berusaha untuk didobrak oleh Kalilo dan Dika. Rael yang mendengarnya, menatap pintu dan Kailee bergantian.

“Lo ngajak siapa ke sini?!” tanya Rael.

“G–gue gak ngajak siapa-siapa,” balas Kailee.

“Bohong! Gue udah suruh lo buat dateng sendirian, anjing. Dan lo nekat ngajak temen-temen lo?” teriak Rael.

“Enggak, Rael. Gue dateng sendirian!” balas Kailee.

“Mati aja lo, Kailee. Gue muak liat lo terus-terusan. Gue muak!” teriak Rael.

Ia mengeluarkan silet dari saku seragam sekolahnya. Kailee yang melihatnya sontak membulatkan matanya.

“Jangan gila lo, Rael! Sadar, Rael! Lo gak seharusnya kayak gini, anjing!” teriak Kailee. Ia takut setengah mati. Ia takut hidupnya akan berakhir begitu saja di sini. Kailee tidak mau. Ia belum siap meninggalkan dunia selamanya.

Brak brak brak

Rael, buka pintunya, bangsat!” teriak Kalilo.

“Pacar lo mau nyelamatin lo ternyata. Katanya gak ngajak siapa-siapa?” Rael berdecih. Ia mendekati Kailee dengan silet di tangannya.

“Rael, gue mohon sama lo. Buang silet itu jauh-jauh,” pinta Kailee sambil menahan tangis.

“Gak semudah itu, Kailee. Hidup gue berantakan, gue juga mau hidup lo berantakan. Atau gue mau hidup orang-orang terdekat lo sengsara karena lo gak ada. Dengan begitu, gue bisa menikmati hidup gue,” kata Rael.

I hate you, Kailee. Selamat tinggal, i guess? Hehe.” Rael terkekeh.

Brak

Pintu berhasil didobrak. Kalilo mendelikkan matanya, ia langsung buru-buru berlari ke arah Kailee dan Rael.

“Kak Kailee!”

“Akkhhh.”

Kalilo mendorong Rael hingga terjatuh dan menarik Kailee ke pelukannya. Lengan Kailee lebih dahulu terkena silet dan menyebabkan luka yang cukup dalam di lengannya. Kailee meringis kesakitan, ia menangis dengan kencang di pelukan Kalilo karena rasanya sesakit itu.

Dika mengikat Rael dengan tali. Rael memberontak untuk dilepaskan, gadis itu berteriak seperti orang gila.

“Lepasin gue, brengsek!” teriak Rael.

“Anjing lo, Rael. Lo jahat, anjing. Manusia bukan lo? Gak punya hati, gak punya otak. Bangsat, hidup sana lo di neraka! Tempat itu pantes buat lo, bangsat. Setelah ini lo bakalan hidup sengsara di penjara!” teriak Kalilo murka.

Kalilo merobek seragamnya dan menutupi lengan Kailee yang luka dengan robekan seragamnya. Kailee menahan perih. Lukanya harus segera dijahit, dirinya sudah tidak bisa menahan terlalu lama.

Hingga sirine polisi terdengar. Rael terlihat ketakutan. Apa lagi ketika derap langkah banyak orang yang menuju ke rooftop membuat Rael panik. Ia bergerak-gerak agar ikatannya terlepas. Namun, semuanya percuma. Polisi sudah datang dan menyodorkan pistol agar Rael diam tak berkutik.

“Rael Aline ditangkap atas dugaan bullying dan mencelakai orang dengan benda tajam.”

Beberapa polisi segera melepaskan talinya dan memborgol tangan Rael, kemudian membawanya keluar dari rooftop dengan Rael yang masih memberontak.

“Awas aja lo, Kailee!” teriak Rael.

Kailee meneguk ludahnya, kepalanya terasa sangat pening. Hingga pandangannya menjadi buram, Kailee tumbang dan terjatuh di pelukan Kalilo. Kalilo yang panik langsung menyuruh Dika untuk memanggil ambulans.