Looks like a happy family.
Ini tepat pukul 5 sore, Adira masih setia duduk di tribun paling atas. Gadis itu tidak lelah untuk berteriak, sekedar untuk menyemangati kekasihnya; Jinan. Adira tersenyum kala Jinan berhasil mencetak gol. Di bawah sana, Jinan tersenyum dan melambaikan tangannya ke Adira. Adira memberikan kedua ibu jarinya, dan berucap “keren!” Jinan terkekeh.
Setelah penutupan dari sang pelatih, semua anggota futsal membubarkan dirinya. Jinan mengambil tasnya yang berada di pinggir lapangan.
“Gue balik dulu ya, bro!” ucap temannya.
Jinan hanya mengangguk. Ia menghampiri Adira yang masih menunggunya di tribun paling atas. Jinan tidak lelah hanya untuk sekedar menghampiri Adira yang berada di tribun paling atas. Padahal Adira sudah bilang pada Jinan, bahwa dirinya akan turun. Tapi, Jinan menolaknya. Jinan bilang kalau ia saja yang menghampiri Jinan.
“Capek, ya?” tanya Adira sambil memberikan sebotol air putih ke Jinan.
Jinan mengangguk lalu meneguk satu botol air putih yang di berikan Adira hingga habis. Adira mengambil sebuah handuk yang selalu ia bawa, ia mengusap keringat Jinan dengan handuk yang ada di genggamannya.
Wajah keduanya kini sangat dekat, Jinan bisa merasakan deru nafas Adira di pipinya. Jantung Jinan berdetak kencang karena melihat Adira dalam jarak sedekat ini. Meski sudah biasa dalam posisi ini, tetap saja Jinan deg-degan. Dengan gerakan cepat, Jinan mengecup pipi Adira. Membuat Adira terkejut, lalu menjauhkan dirinya dari Jinan.
“Jinan! Kamu ngapain, sih?!” seru Adira sambil memukul Jinan dengan handuk yang di pegangnya.
Jinan terkekeh, “cium pipi kamu. Soalnya kamu gemes banget. Pengen makan pipi kamu deh, Dir.”
“Gak usah ngawur!” sungut Adira. Ia melemparkan handuknya ke Jinan dan mengambil tasnya.
“Hahaha, gapapa dong. Kan cuma cium pipi kamu, bukan–” Jinan melirik Adira.
“Apa?!” seru Adira.
Jinan menggeleng dengan cepat, “enggak. Ayo pulang, udah mau maghrib.”
Adira mengangguk. Keduanya turun dari tribun sambil bergandengan tangan. Jinan yang jahil, ia mengapit leher Adira dengan lengannya. Membuat Adira memberontak, minta di lepaskan. Tapi, Jinan malah tertawa dan tidak melepaskannya.
“Jinan brengsek, lo bau anjir!” kata Adira sambil mencubit pinggang Jinan.
“Aduh, aduh! Lepasin, woy! Sakit anjir.” Jinan mengaduh kesakitan, ia mengusap pinggangnya yang sehabis di cubit Adira.
“Makanya gak usah jahil! Kamu bau keringet, jangan deket-deket.” Adira berjalan mendahului Jinan.
Jinan tertawa lalu menyusul Adira yang berjalan lebih cepat di depannya.
“Dah, makasih udah nganterin,” kata Adira sambil tersenyum.
“Sama-sama,” balas Jinan.
“Eh, nak Jinan. Mau mampir dulu?”
Jinan dan Adira sontak menoleh bersamaan, itu Bundanya Adira. Beliau menghampiri anak gadisnya dan kekasih dari anaknya. Adira meraih tangan Bundanya dan salim, dia gak mau jadi anak durhaka. Jinan juga melakukan hal serupa.
“Halo, Bunda. Enggak dulu deh, Jinan lagi bau keringet,” ucap Jinan sambil melirik Adira.
“Kamu udah lama gak mampir ke rumah, padahal Bunda pengen ngobrol lagi,” ucap Bunda Anna.
“Jinan setiap hari mampir ke rumah kok, Bun. Cuma kebetulan aja Bunda gak ada di rumah. Hari ini dia gak mampir soalnya lagi bau keringet, dia habis latihan futsal,” kata Adira menjelaskan pada Bundanya.
“Aku mau mampir ke rumah kok, Bun. Cuma Adira gak ngebolehin, katanya aku bau keringet. Padahal kan aku bisa numpang mandi di sini,” ucap Jinan yang membuat Adira sontak mendelik ke arahnya.
“Jinan!” seru Adira.
Jinan menjulurkan lidahnya; mengejek Adira. Sedangkan Adira hanya mendengus. Bunda terkekeh melihat interaksi Adira dan Jinan.
“Gapapa, Adira. Lagian kan baju Jinan ada yang di lemari kamu, ajak masuk sana. Terus nanti mandinya di kamar tamu aja gapapa. Iya kan, nak Jinan?” ucap Bunda Anna. Jinan hanya mengangguk sambil menunjukkan senyum kemenangan ke Adira.
Adira mengangguk, “ya udah, ayo masuk, Ji.”
Ketiganya masuk ke dalam rumah setelah Jinan memarkirkan motornya di garasi rumah Adira. Malam ini Jinan akan malam dengan keluarga Adira, ia juga sudah menghubungi Bundanya kalau ia akan makan malam di rumah Adira.