Maaf.
Dengan langkah tergesa, Killa keluar dari kelasnya. Menuju ke lapangan sekolahnya, yang katanya Aksara sedang bertengkar—entah dengan siapa—Killa mempercepat langkah kakinya. Tidak bisa ia pungkiri kalau dirinya merasa panik sekaligus khawatir karena Aksara. Laki-laki itu selalu saja membuat Killa khawatir, apalagi ketika Killa mendengar kalau Aksara bertengkar.
Suasana ricuh di lapangan membuat Killa menerobos orang-orang yang menutupi jalannya. Ia harus sampai dengan cepat. Kalau tidak, mungkin Aksara akan masuk ke ruangan BK. Killa melihat Aksara yang memukuli seseorang—entah anak kelas mana—wajahnya terlihat memerah, Aksara terlihat sangat marah. Killa menatap sekitarnya. Orang-orang bukannya memisahkan keduanya, malah bersorak. Seolah-olah ini pertandingan yang seru. Killa juga bisa melihat Reza dan Arka yang berusaha untuk memisahkan Aksara yang sudah sangat marah.
“Aksara!” teriak Killa.
Aksara menghentikan pukulannya ketika mendengar suara Killa. Ia membalikkan tubuhnya, menemukan Killa yang berdiri di kerumunan orang-orang. Aksara langsung berdiri tegap, ia menghampiri Killa dengan napas terengah-engah.
“Kil—”
“Sakit, gak?” tanya Killa, menghentikan Aksara yang akan berbicara.
Aksara mengernyitkan keningnya, kemudian menggeleng pelan. “Enggak,” balasnya.
“Bubar sana! Ini bukan tontonan, anjing!” teriak Reza. Mengusir orang-orang yang sedari tadi hanya menonton pertikaian Aksara dengan anak kelas lain.
Aksara dan Killa masih berdiri, menghadap satu sama lain. Keduanya saling bertatapan. Aksara menatap Killa takut-takut. Takut kalau gadisnya akan memarahinya. Sedangkan Killa menatap Aksara dengan tatapannya yang biasa saja. Killa menghela napasnya.
“Ayo, kita ke UKS,” ajak Killa. Ia menarik lengan Aksara, pergi dari sana dan pergi ke UKS untuk mengobati luka Aksara.
Aksara duduk di pinggir ranjang. Sementara itu, Killa mengambil obat-obatan. Kemudian, ia duduk di samping Aksara. Mengobati luka di wajah Aksara. Bekas pukulan yang pastinya terasa menyakitkan. Namun, Aksara terlihat biasa saja ketika Killa mengobati lukanya. Bahkan merasa sakit pun tidak sama sekali. Killa mengobatinya dengan telaten.
“Kamu kenapa berantem?” tanya Killa setelah selesai mengobati luka Aksara.
Aksara yang tadinya menatap lantai, kini menatap Killa yang berada di sampingnya. “Dia jelek-jelekin kamu,” jawabnya.
“Jelek-jelekin gimana?” tanya Killa tidak paham.
“Dia bilang kalau kamu anak pinter yang gak cocok pacaran sama aku, dia bilang kalau anak berandalan gak pantas buat bersanding sama kamu, dia bilang ... Kamu terlalu sempurna buat aku yang banyak kurangnya,” balas Aksara. Maniknya menatap mata Killa yang senantiasa menatapnya tanpa berkedip, kemudian ia menundukkan kepalanya.
“Sa, omongan dia itu gak benar! Kamu gak usah dengerin omongannya. Aku mau sama kamu karena aku suka kamu, aku cinta kamu, karena aku mau. Kamu gak kayak yang dia omongin. Kita cocok satu sama lain,” ucap Killa. Meraih tangan Aksara dan menggenggamnya.
“Tapi, dia benar, Kil ....” lirih Aksara, ia menatap Killa. “Dia benar. Aku gak cocok sama kamu. Aku cuma anak berandalan, sedangkan kamu anak baik-baik.”
“Apa, sih, Sa? Kok ngomongnya kayak gitu?” tanya Killa tak suka.
Aksara terkekeh, “kenapa kamu gak cari yang lain aja? Yang anak baik-baik kayak kamu. Kenapa harus aku?”
Terdiam sejenak. Killa menjadi bungkam. Ia memikirkan kalimat yang tepat untuk menjawab pertanyaan Aksara. Padahal semuanya sudah jelas, Aksara tidak perlu bertanya lagi. Rasa cinta Killa kepada Aksara itu tidak bisa diungkapkan melalui kata-kata. Semuanya mengalir begitu saja. Semakin jatuh, semakin dalam. Rasa itu semakin besar setiap harinya. Bukannya berkurang, tapi malah bertambah.
“Perlu aku jelasin seberapa besar rasa cinta aku ke kamu? Perlu aku kasih tahu ke semua orang kalau aku cinta banget sama kamu? Apa seluruh dunia harus tahu sebesar apa rasa cinta aku?” ucap Killa setelah lama terdiam. Aksara mendongakkan kepalanya, menatap Killa bingung. “Aku gak bisa ungkapin rasa cinta aku ke kamu, Sa. Soalnya susah. Gimana aku mau ungkapin kalau rasa itu bertambah setiap harinya? Aku pilih kamu karena aku mau, aku cinta kamu. Aku gak mau sama orang lain. Aku cuma mau kamu.”
Aksara tersenyum mendengar ucapan Killa, ia mengusak surai legam milik Killa. Kemudian ia mengusap tangan Killa yang menggenggamnya. Tangan yang mungil, terasa sangat pas digenggamannya.
“Makasih, ya? Makasih banyak udah pilih aku,” ucap Aksara. “Oh iya, kamu udah maafin aku?”
Killa mendengus, “aku gak pernah marah sama kamu. Aku diemin kamu tuh biar kamu kapok aja. Biar kamu ngerasain rasanya didiemin sama aku.”
Aksara terperangah. Tidak percaya dengan jawaban yang dikeluarkan oleh Killa, ia menatap Killa kesal. “Jahat banget! Aku gak bisa tidur gara-gara mikirin kamu. Mana chat aku cuma di read doang sama kamu. Kan aku sedih, Killaaaa.”
Killa tertawa, “lebay. Udah, sana balik ke kelas. Gak usah berantem lagi!”
“Gak janji,” ucap Aksara dengan senyum meledeknya.
“Aksaaaa!” seru Killa.
Aksara tertawa. Ia mencubit pelan hidung Killa. Killa merengut kesal, ia meletakkan kembali kotak P3K ke tempat semula. Aksara turun dari ranjang UKS, ia mengikuti langkah Killa yang rupanya akan pergi ke kelas. Aksara menemani gadis itu pergi ke kelasnya. Padahal Killa tidak perlu ditemani karena hanya pergi ke kelasnya. Namun, kalau kata Killa, Aksara terlalu lebay hingga mengikutinya sampai ke kelas.