Mama

Pintu terbuka, Aksara dan Keisha tersenyum melihat Killa yang membukakan pintu untuk mereka. Killa mengajak keduanya untuk masuk ke dalam rumahnya. Aksara dan Keisha disambut oleh Winda yang tersenyum sumringah melihat keduanya datang. Aksara dan Keisha segera mencium punggung tangan Winda dan mengucapkan salam.

“Mama lagi masak sama Killa, kalian tunggu dulu di ruang tamu, ya. Nanti kalau udah selesai masaknya, Mama panggil kalian,” ujar Winda. “Killa, kamu panggilin Aji sama Arka buat nemenin mereka,” titah Winda kepada Killa. Killa mengangguk kemudian pergi ke lantai dua untuk memanggil kakak dan adiknya.

Sementara itu, Aksara dan Keisha duduk di sofa ruang tamu. Winda juga sudah menyediakan minuman dan cemilan untuk mereka. Tidak lama kemudian, Killa, Arka, dan Aji datang. Killa tersenyum melihat Aksara yang menatapnya.

“Kamu bisa di sini aja gak, sih? Aku mau peluk kamu,” bisik Aksara ketika Killa mendekati dirinya.

Killa terkekeh, “nanti yang bantuin Mama siapa? Masa aku jadi anak durhaka gara-gara gak bantuin Mama masak?”

Aksara menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, kemudian ia menyengir. “Iya, sih. Ya udah sana kamu bantuin Mama. Kalau butuh bantuan, panggil aku aja,” ucapnya.

Killa mengangguk sebagai jawaban. Ia segera pergi ke dapur untuk membantu Winda memasak. Kedua perempuan itu memasak bersama. Winda menyiapkan beberapa menu untuk makan malam. Mereka berdua memasak banyak karena ada Aksara dan Keisha di rumah. Alasan lainnya karena Winda yang mungkin tidak ingin bersedih berlama-lama, maka dari itu ia berniat memasak banyak agar suasana hatinya teralihkan.

“Kamu pacaran sama Aksara udah berapa lama?” tanya Winda.

“Tiga tahun, satu bulan lagi jalan empat tahun,” balas Killa.

“Lama juga, ya. Kalian pacaran pas kelas sembilan SMP, kan?” tanya Winda.

Killa terkekeh, “iya,” jawabnya. Seketika ia teringat masa-masa ketika mereka pertama kali menjalin hubungan saat masih kelas sembilan. Sekarang mereka sudah hampir lulus SMA, dan hubungan mereka masih bertahan dengan baik.

“Habis lulus mau nikah sama Aksa?” tanya Winda yang mana membuat Killa tersedak ludahnya sendiri. Winda terkekeh, ia menatap anak gadisnya dengan senyuman mengejek.

“Mama, ih! Mana mungkin kita nikah secepat itu. Kuliah dulu, cari kerja, baru nikah,” ucap Killa dengan menggebu-gebu.

“Kan siapa tahu. Rencana Tuhan gak ada yang tahu,” kata Winda.

“Mama mah, ngeselin pisan,” ucap Killa sambil cemberut.

“Anak gadis masa ngambek,” goda Winda.

“Tau, ah.” Winda tertawa, sedangkan Killa hanya diam sambil mengaduk sayuran di panci.


Makan malam sudah siap, Killa segera memanggil orang-orang yang sedari tadi berisik sambil bermain PlayStation. Mereka segera pergi ke ruang makan. Sekarang ruang makan tampak lebih ramai dari sebelumnya. Winda tersenyum ketika melihat anak-anak tampak tergiur dengan makanan di depannya.

Aksara yang duduk di samping Killa pun meminta Killa untuk mengambilkan nasi untuknya juga ketika ia melihat Killa mengambilkan nasi untuk Keisha. Hal itu membuat Winda, Aji, dan Arka tertawa bahkan mengejek keduanya.

“Latihan jadi suami-istri, ya,” ucap Arka sambil tertawa.

“Kakak apaan, sih!” seru Killa.

“Salting tuh bilang, Kak!” sahut Aji.

“Aji, diem deh!” sungut Killa.

“Iya, latihan jadi suami-istri. Biar nanti pas nikah enggak kaku,” ucap Aksara. Killa menolehkan kepalanya dan melotot ke arah Aksara.

Winda terkekeh, “kalian ini ada-ada aja. Ayo, dimakan makanannya. Ambil yang banyak lauknya.”

Mereka segera makan malam bersama. Sesekali mereka berbincang banyak hal. Entah itu tentang bagaimana kehidupan sekolah Keisha, Aji, Killa, dan Aksara. Atau kehidupan perkuliahan Arka. Mereka berbicara banyak sekali. Semua topik menjadi perbincangan mereka. Mereka juga banyak tertawa karena Keisha dan Aji yang bertingkah gemas atau berebutan makanan. Padahal makanannya masih banyak di atas meja makan.

“Aksa, masih sama Ayahnya?” tanya Winda. Suasana di meja makan mendadak tidak seramai tadi. Semuanya seketika terdiam. Killa melirik Aksara yang langsung menghentikan pergerakan tangannya.

Aksara mengangguk, “masih, Ma.”

“Aksara, saya pernah bilang kan kalau kamu butuh seorang Ibu, kamu bisa datang ke saya. Anggap saya seperti Ibu kamu. Saya malah senang. Apalagi Keisha, saya tidak masalah, kok. Lagian kan nanti kamu pasti bakalan menikah dengan Killa. Meski jadi Mama mertua, pokoknya anggap saya sebagai Mama kamu, ya?” ucap Winda.

“Mama ....,” lirih Killa ketika Winda mengatakan kalau ia pasti akan menikah dengan Aksara. Dirinya salah tingkah, mungkin wajahnya akan segera memerah.

Aksara tertawa pelan, “iya, Ma. Terima kasih banyak.”

“Jangan sungkan juga buat minta bantuan ke saya. Saya bakalan bantu semampu saya,” ujar Winda.

Aksara mengangguk, “siap, Ma. Maaf, Aksa banyak ngerepotin Mama sama Killa, sama Bang Arka, Aji juga.”

“Nggak, Sa. Kamu gak ada ngerepotin kita sama sekali. Kita malah seneng kalau kamu selalu bilang kalau kamu butuh bantuan, itu artinya kamu terbuka sama kita,” ucap Killa.

“Bener kata Killa, lo gak ngerepotin sama sekali, Sa,” sahut Arka. “Lagian kita temenan udah lama, gak ada kata ngerepotin sama sekali.”

Aji mengangguk, “gue juga, Bang. Gak merasa direpotkan sama sekali. Malah gue juga seneng bisa bantu lo.”

Aksara tersenyum. Hatinya tersentuh mendengar perkataan mereka. Kehangatan yang sudah lama tidak ia rasakan, sekarang bisa ia rasakan kembali. Meskipun tidak lengkap, hanya dengan keluarga kekasihnya, tapi Aksara bisa merasakan kehangatan itu lagi. Kehangatan yang sudah lama hilang dan sudah ia lupakan bagaimana rasanya diantara keluarga yang harmonis. Aksara segera mengusap pipinya ketika air matanya jatuh. Laki-laki itu menangis.

Killa yang melihatnya langsung mengusap bahu Aksara. Laki-laki itu terkekeh, meminta maaf karena malah menangis di hadapan mereka. Keisha turun dari kursinya dan menghampiri Aksara. Gadis kecil itu memeluk Aksara dengan erat. Hal itu membuat Aksara semakin bertambah menangis. Killa membawa Aksara ke pelukannya, menenangkan kekasihnya yang kini terisak.

“Kangen Bunda,” ucap Aksara dengan suara yang hanya Killa bisa dengar.

Killa mengusap punggung Aksara dengan lembut, “nanti kita kunjungi Bunda.”

Winda berdiri dari duduknya, ia menghampiri Aksara dan memeluk laki-laki itu. Lagi-lagi Aksara terisak karena pelukan ini mengingatkan dirinya pada sang Bunda yang selalu memeluknya. Pelukan orangtua yang tidak pernah ia rasakan beberapa tahun terakhir ini. Rasanya sangat menenangkan dan membuat Aksara menjadi sedikit lebih lega dari sebelumnya. Winda memeluk Aksara yang sudah ia anggap sebagai anaknya sendiri. Winda mengusap rambut Aksara, membisikkan kata-kata penenang untuk Aksara. Sekarang, Aksara bisa merasakan kembali pelukan seorang Ibu.