Meet again

Killa, Aji, dan Arka sudah bersiap untuk pergi ke rumah nenek. Lebih tepatnya ibu dari papa mereka. Aksara ikut serta mengantar mereka, karena jaraknya cukup jauh di pedesaan. Mereka pergi menggunakan mobil milik Aksara. Di sepanjang perjalanan, mereka hanya diam. Sebelum berangkat tadi, sempat terjadi cekcok antara Killa dan Arka. Arka menolak untuk ikut karena dia tidak mau bertemu dengan orang yang sudah ia anggap sebagai orang asing. Namun, Killa memaksanya untuk bertemu dengannya. Setidaknya sekali setelah kejadian itu. Akhirnya Arka mengiyakannya.

Tiga jam waktu ditempuh, mereka sampai di salah satu rumah sederhana yang tampak dari luar masih terlihat sangat bagus tanpa ada sedikit kerusakan. Di halamannya banyak ayam yang berkeliaran dan tanaman bunga serta pohon rambutan. Keempatnya turun dari mobil. Killa melirik Arka yang sedari tadi hanya diam. Ia melirik Aji yang tersenyum sambil memperhatikan rumah yang ada di depan mereka. Mereka melangkahkan kaki menuju ke rumah itu. Di depan pintu, dengan perlahan Aksara mengetuk pintunya.

Pintu terbuka dengan suara khas pintu yang sudah sangat tua, terbuka dengan perlahan hingga menampakkan wujud pria paruh baya yang wajahnya berkumis dan sangat kurus. Killa terkejut melihat papanya yang sangat berubah drastis dari penampilannya.

Rangga membulatkan matanya begitu melihat orang-orang yang berdiri di depan rumah ibunya. Ia hampir menutup pintu kembali, namun, Aksara segera menahannya.

“Papa, kita mau ketemu sama ayah,” ucap Killa.

“Nggak, papa kalian sudah mati. Dia tidak ada di sini lagi. Silakan pergi,” tolak Rangga.

“Tuh kan, percuma kita datang jauh-jauh ke sini kalau dia aja kayak gitu,” ucap Arka ketus.

“Papa, kita kangen papa, kita mau ketemu papa. Sebentar aja, ya? Aji pengen peluk papa katanya. Kita ngobrol sebentar. Boleh, ya?” bujuk Killa. Tidak ada jawaban apapun dari Rangga. Mereka masih berdiri di ambang pintu. Hingga kemudian suara nenek membuyarkan suasana ricuh diantara mereka.

“Eh, ada cucu-cucu nenek. Kenapa nggak diajak masuk? Ayo, masuk dulu. Kalian pasti capek habis nyetir jauh-jauh dari Bandung ke sini,” ucap nenek.

“Bu, mereka bukan siapa-siapa kita—”

“Ngomong apa toh, nak? Mereka itu anakmu, cucu-cucu ibu,” ucap nenek. Rangga hanya menghela napas pasrah. Ia membuka pintu lebar-lebar, mempersilahkan mereka masuk.


“Killa udah nikah sama Aksara, pa. Harusnya waktu itu papa datang. Kita juga udah nyelesaiin kuliah, kita juga udah punya pekerjaan sendiri. Aji udah kuliah, sebentar lagi dia semester empat. Kak Arka udah punya perusahaan sendiri. Keren, kan? Mama juga punya butik sendiri sama kayak aku. Kita masih jalanin hidup kayak dulu, kayak biasanya. Meskipun tanpa papa. Kita ke sini cuma mau jenguk papa, kita cuma mau tahu kabar papa,” ujar Killa. “Papa, gimana hidup papa selama ini sampai sekarang? Kenapa papa jadi kurusan?”

“Papa bangga sama kalian. Seharusnya kalian tidak perlu bertemu dengan orang brengsek seperti saya, saya tidak pantas ditanyakan perihal hidup saya yang masih berjalan, saya menjadi kurusan karena saya tidak semampu dulu. Saya hidup sederhana dengan ibu saya,” ucap Rangga.

“Emang harusnya kita gak jenguk orang brengsek kayak dia, apalagi nyebut dia sebagai ‘papa’ kita,” sahut Arka.

“Kakak!” seru Killa.

Rangga tersenyum, “tidak apa-apa. Memang benar yang Arka katakan.”

“Gak gitu, pa. Kak Arka emang suka ceplas-ceplos sekarang kalau ngomong,” ucap Aji.

“Nak, papa mau minta maaf sama kalian. Meski permintaan maaf papa tidak menyembuhkan luka di hati maupun fisik kalian, papa minta maaf, papa menyesal. Papa ingin kalian hidup bahagia tanpa papa, hidup dengan semestinya, mencari pendamping hidup yang baik, jangan seperti papa. Papa tahu kalian orang-orang baik, papa tidak mau kalian mendapat orang yang salah. Dan buat kamu, Aksara, saya titip putri satu-satunya pada kamu. Saya harap kamu bisa menjaga dia, menafkahi dia, dan memberikan kasih sayang seperti suami ke istri pada umumnya. Saya harap kamu tidak menyakiti dia,” ucap Rangga dan diakhiri dengan air mata yang mengalir di pipinya. Rangga terisak sampai-sampai ia harus menundukkan kepalanya dan bahunya bergetar.

Killa menundukkan kepalanya, ia menangis di pelukan Aksara. Aji hanya bisa menunduk sambil menangis. Arka mengangkat kepalanya, menahan air matanya yang akan tumpah. Mereka menangis bersama. Mengingat beberapa kenangan yang ada diantara mereka beberapa tahun silam. Rasanya menyakitkan dan menyenangkan. Rasa rindu kembali menyeruak, membuat mereka enggan untuk berhenti menangis. Memori itu terputar bagai kaset yang terputar.

Mereka berbicara banyak sekali sampai langit berubah menjadi warna jingga. Killa juga memberitahu Rangga kalau ia akan pergi ke London. Awalnya Rangga terkejut, tapi, ia senang kalau anaknya lebih senang hidup di sana.

Satu pelukan hangat yang tidak mereka rasakan bertahun-tahun lamanya, akhirnya kembali mereka rasakan. Hingga jam menunjukkan pukul tujuh malam, mereka berpamitan untuk pulang. Tidak berniat untuk menginap karena ada banyak hal yang harus disiapkan untuk besok.