Mereka jahat; Bukan jahat, tapi mereka dikendalikan oleh emosi.

Killa meletakkan ponselnya, pandangannya yang kosong tertuju pada rerumputan di hadapannya. Sekarang ini Killa dan Aksara sedang berada di alun-alun. Aksara yang membawanya kemari. Gadis itu duduk termenung, di sampingnya ada Aksara yang memperhatikannya. Aksara memberanikan diri untuk mengusap kepala Killa. Membuat gadis itu menoleh ke arahnya.

“Udah nangisnya?” tanya Aksara dengan nada lembut.

“Maaf, aku nangis ....” ucap Killa dengan lirih.

Aksara mengernyitkan keningnya, “gapapa dong. Gak ada yang ngelarang kamu buat nangis.”

“Aku cengeng, ya? Gitu aja nangis,” tanya Killa. Menggoyangkan kakinya, tangannya mencabuti rumput yang ia duduki.

“Enggak, Killa. Itu wajar. Aku juga nangis kayak kamu, kan? Aku bisa ngerasain posisi kamu,” ujar Aksara. “Kamu nangis karena hal itu, bukan masalah besar. Dan itu gak salah. Kamu gak cengeng. Karena itu artinya kamu bisa mengekspresikan perasaan kamu.”

“Sa ....” Killa kembali menitihkan air matanya. Kepalanya disembunyikan di lututnya, bahunya bergetar karena tangisannya yang kencang. Aksara mendekatkan duduknya ke arah Killa, memeluk gadis itu dari samping. Laki-laki itu menyandarkan kepalanya di punggung Killa, tangannya mengusap lengan Killa dengan lembut.

“Nangis aja gapapa,” bisik Aksara.

“Mereka kenapa jahat? Mereka gak mikirin perasaan anak-anaknya. Aku capek, aku muak, aku gak kuat lagi, Sa,” ucap Killa terbata-bata.

“Mereka bukan jahat, tapi cuma dikendalikan oleh emosi. Kamu jangan ngomong gitu, ya, sayang. Kamu kuat, aku percaya itu. Kamu boleh capek, tapi jangan bilang kamu gak kuat lagi, ya? Kamu pasti kuat kok. Coba bertahan sebentar lagi,” ujar Aksara.

“Semua bikin capek, ya, Sa? Orang-orang, dunia, alur hidup kita. Semuanya bikin capek,” kata Killa dengan suara pelan.

“Itu udah takdir, Kil. Tuhan yang bikin alur hidup kita,” ujar Aksara.

“Kenapa Tuhan kasih kita alur yang menyakitkan kayak gini? Kenapa?” tanya Killa.

“Kil, percaya sama Tuhan, ya? Tuhan pasti punya rencana baik buat kita berdua kedepannya. Tuhan pasti udah menyiapkan rencana indah buat kita. Sabar, ya? Nanti kita tahu rencana baik itu bareng-bareng,” ucap Aksara. Ia mengangkat kepalanya dari punggung Killa, menarik kepala gadisnya yang menunduk. Aksara tersenyum kepada Killa, mengusap pipi gadisnya yang sudah basah karena air mata. “Jangan nangis lagi. Udah cukup kamu buang-buang air mata kamu. Udah, ya? Nangisnya udahan. Simpan air matanya, air mata kamu terlalu berharga.”

“Sa, boleh peluk?” tanya Killa.

Aksara terkekeh, ia mengangguk. Lantas menarik Killa ke dalam dekapannya. Memeluk gadis itu dengan erat. Diusapnya rambut milik Killa. Killa menyembunyikan wajahnya di bahu Aksara. Gadis itu masih mencoba untuk mengatur napasnya, mencoba untuk tidak menangis lagi. Karena ia tidak mau menangis lagi untuk saat ini. Dirinya sudah lelah karena terlalu banyak menangis.

“Pulang sekarang?” tanya Aksara setelah pelukan keduanya terlepas.

“Kak Arka sama Aji, gimana?” tanya Killa.

Aksara merogoh ponselnya, melihat pesan dari Arka kalau Arka dan Aji sudah pulang ke rumah. Arka menyuruh Aksara untuk segera mengantar Killa pulang. Aksara mendongakkan kepalanya, menatap Killa yang juga menatapnya. “Bang Arka sama Aji udah di rumah. Aku disuruh buat antar kamu pulang sekarang,” ucap Aksara.

“Ya udah, pulang sekarang,” kata Killa.

Kemudian keduanya segera pergi dari sana. Melewati jalanan kota Bandung yang terlihat ramai. Angin malam itu yang sangat dingin menerpa wajah keduanya, dingin melingkupi keduanya, membuat keduanya berusaha untuk menghangatkan satu sama lain. Killa memeluk Aksara dari belakang, sedangkan Aksara hanya bisa mengusap-usap lengan Killa yang melingkar di pinggangnya.