Mimpi.
tw // family issues
Sekarang keluarga dari Killa sudah berada di salah satu restoran yang berada di kota Bandung. Mereka memilih ruangan VVIP, yang tentunya sudah dipesan oleh Rangga semalam. Memilih ruangan khusus agar keluarganya bisa makan dengan tenang tanpa suara bising dari orang-orang yang datang.
Killa duduk di samping kiri Aji, di sampingnya ada Arka, lalu Winda dan Rangga. Killa tak henti-hentinya tersenyum sejak perjalanan kemari. Dirinya merasa senang dan juga bahagia karena akhirnya setelah berapa lamanya—mungkin hampir lima bulan—keluarganya bisa berkumpul dan makan malam bersama lagi. Sudah lama sekali Killa ingin merasakan momen ini. Karena biasanya mereka hanya makan malam di rumah, itupun terasa lengkap jika Winda dan Rangga berada di rumah.
Hidangan yang sudah dipesan satu-persatu mulai datang. Mereka mulai menikmati makanan mereka tanpa ada suara. Hanya ada suara denting garpu dan pisau. Sesekali Aji yang bercerita tentang kehidupan sekolahnya. Itupun hanya mendapat tanggapan senyuman dari Winda dan Rangga. Hanya Arka dan Killa yang menanggapi cerita Aji, mereka tidak mau membuat si bungsu merasa tidak diperhatikan.
“Besok Papa harus ke luar kota,” ucap Rangga setelah makanannya habis. Ia menatap anaknya satu-persatu.
“Lagi?” tanya Arka dengan alis yang terangkat sebelah, menatap Ayahnya dengan tatapan bertanya.
Rangga mengangguk, “mau ketemu client di Bogor.”
“Kenapa gak mereka aja yang ke sini?” tanya Killa.
“Gak bisa, Killa. Harus Papa sama sekretaris yang datang,” ucap Rangga.
“Tapi, besok di sekolah Aji tampil buat band,” sahut Aji. Memang benar kalau besok ada acara band di sekolah ketiganya. Aji mengikuti lomba band sekolah yang diadakan oleh OSIS. Hanya untuk sekedar hiburan murid-murid Neo High School. Aji ditunjuk menjadi gitaris. Maka dari itu, ia berlatih dengan giat bermain gitar bersama Arka. “Mama sama Papa gak datang?” tanya Aji, matanya menatap kedua orang tuanya dengan tatapan memohon. Berharap agar keduanya bisa datang dan menunda jadwal bekerja mereka.
Rangga menggeleng, “Papa gak bisa.”
“Mama juga gak bisa. Maaf, ya, nak. Besok Mama juga harus ngurus butik yang di Jakarta,” ucap Winda.
“Kan bisa ditunda, Ma,” kekeuh Aji.
Winda menghela napasnya, “enggak bisa, Aji. Besok Mama harus ke Jakarta, Mama juga udah pesen tiketnya. Kan sayang kalau dibuang.”
Aji terkekeh, “ya lagian kalian mana punya waktu sih buat anak-anaknya. Palingan kalau di rumah ya cuma berantem.”
“Aji!” seru Rangga. Netranya menatap anak bungsunya dengan tajam.
Killa yang berada di samping Aji langsung menyentuh tangan adiknya, mengusapnya untuk memberikan ketenangan pada adiknya. Suasana yang tadinya tenang, sekarang menjadi dingin. Selalu saja begini. Semuanya mendadak berubah ketika mereka memulai obrolan yang pastinya terarah ke pekerjaan Rangga dan Winda. Entah itu keduanya sibuk mengurus butik, kantor, atau lainnya.
“Kan ada aku sama kak Arka yang bakal nonton kamu!” hibur Killa.
Aji menggeleng pelan, “aku mau Mama sama Papa juga datang,” ucapnya lirih.
“Udah, lah, Ji. Gak perlu berharap sama mereka buat datang. Mereka gak bakalan pernah bisa,” ucap Arka dengan nada yang meremehkan. Memang terlihat seperti anak kurang ajar, tapi Arka hanya berkata yang sebenarnya.
“Arka!” seru Winda, “Mama gak pernah ngajarin kamu buat ngomong kayak gitu! Jangan jadi anak kurang ajar!”
Arka tertawa pelan. Lebih tepatnya tertawa miris atas ucapan Winda. Padahal Arka mengatakan hal yang benar, ia tidak salah. Karena memang kenyataannya begitu. Orang tuanya selalu sibuk dan tidak pernah menyisihkan waktunya untuk anak-anaknya. Tidak ada yang perlu diharapkan dari Rangga dan Winda, itu sudah menjadi hal yang biasa bagi Arka, Killa, dan Aji.
“Mama emang gak pernah ngajarin aku, Killa, sama Aji buat ngomong kayak gitu. Tapi, aku ngomong sesuai fakta! Kalian emang gak pernah punya waktu buat kita, dikit aja enggak. Jadi, buat apa kita berharap kalian ada waktu buat kita? Karena itu gak bakalan pernah bisa,” ucap Arka dengan tenang. Tangannya yang di bawah meja terkepal erat.
“Papa sibuk buat cari uang, buat kalian! Gak usah ngomong kayak gitu!” ucap Rangga.
“Ini semua gara-gara kamu, Mas! Kamu sibuk kerja, aku juga ikutan sibuk ngurusin butik gara-gara pusing mikirin kamu yang sehari-hari di kantor terus,” kata Winda.
“Kamu ini bilang apa?! Ya harusnya kamu yang salah. Kamu gak perlu kerja, aku aja. Tapi, kamu malah ngeyel mau buka butik! Terus kamu ikut-ikutan sibuk kayak aku. Harusnya kamu di rumah aja sama mereka, biar gak kayak gini!” ucap Rangga dengan nada yang naik satu oktaf.
Sahut-sahutan kalimat saling menyalahkan antara Winda dan Rangga pun terjadi. Mereka tidak memikirkan di mana mereka sekarang. Mereka hanya memikirkan tentang perasaan masing-masing dan amarah mereka. Meluapkan semuanya melalui kata-kata, membuat anak-anaknya melihat perdebatan antara keduanya tanpa suara. Terdiam mendengarkan suara mereka yang kini semakin mengeras.
“Udah, berhenti! Aku muak dengerin kalian berantem terus. Kak Arka sama Aji juga ngerasain hal yang sama. Kalian jangan kekanak-kanakan kayak gini dong! Kalian gak malu? Ini masih di tempat umum. Killa capek dengerin kalian berantem terus, gak ada habisnya kalian adu mulut kayak gini. Kalau ujung-ujungnya kayak gini, mending dari awal gak usah makan malam bareng kayak gini,” ucap Killa dengan suaranya yang bergetar karena menahan tangis. Tangannya terkepal, menahan sesak di dadanya.
Gadis itu bangkit dari duduknya. Melangkahkan kakinya, pergi dari ruangan itu dan meninggalkan tempat itu detik itu juga. Disusul dengan Arka dan Aji yang ikut keluar dari restoran. Kini hanya tersisa Rangga dan Winda yang termenung. Keduanya tidak berkata-kata sama sekali. Hingga akhirnya keduanya pulang ke rumah dengan kendaraan yang berbeda.