Only you and me.

Suara klakson mobil dari luar rumahnya membuat Tessa segera keluar dari rumah. Dengan baju yang tertutup, setelan celana panjang, kaos, jaket, dan masker, gadis itu melangkahkan kakinya masuk ke dalam mobil hitam yang terparkir di depan rumahnya. Tessa melirik lelaki di sampingnya, ia tersenyum dibalik maskernya.

“Udah siap?” tanya Gama.

Tessa mengangguk, “udah!”

“Jalan sekarang, ya?” ucap Gama lantas menjalankan mobilnya dengan kecepatan sedang.

Keduanya bersenandung dengan alunan musik yang memenuhi suasana mobil. Sesekali tertawa tanpa alasan ketika keduanya saling bertatapan. Terasa sangat menyenangkan dan asyik ketika keduanya tertawa seperti tidak ada beban sama sekali atau seperti dunia ini hanya ada mereka berdua. Tanpa memikirkan apakah ada seseorang yang mereka kenali di sekitar mereka atau tidak.

Mobil hitam milik Gama berhenti di taman yang lumayan sepi, hanya ada segelintir orang yang berada di sana. Keduanya turun dari mobil, memperhatikan sekitar dengan hati-hati. Gama memasukkan kedua tangannya ke dalam saku jaketnya. Ia melangkahkan kakinya yang diikuti oleh Tessa di sampingnya. Keduanya duduk di bangku yang berada di sana.

“Jadi, gimana, Kak? Katanya mau jelasin?” tanya Tessa ketika keduanya sudah lama berdiam diri.

“Itu anak kecilnya lucu,” ucap Gama yang malah mengalihkan pembicaraan. Tessa mengerutkan keningnya. Gama mengepalkan kedua tangannya karena dirinya merasa gugup, tangannya sudah berkeringat. Namun, dirinya berusaha untuk terlihat tidak gugup di hadapan Tessa. Laki-laki itu berdehem sebelum melanjutkan ucapannya, “bentar, kasih gue waktu dulu. Tiba-tiba hawanya kayak ngajak kayang,” ucap Gama ngelantur.

Tessa tergelak, matanya menyipit ketika dirinya tertawa. Membuat Gama terpana ketika melihat gadis di sampingnya tertawa. Cantik. Cantik sekali. Bahkan cantiknya bertambah ketika gadis itu tertawa. Gama tersenyum dibalik maskernya. Jantungnya tambah berdetak dengan kencang.

“Gak usah ngelawak deh, Kak. Buruan, ih! Jangan ditunda-tunda. Gue udah penasaran banget,” ujar Tessa.

For the first time I saw a beautiful girl at a concert, dia berdiri di barisan paling depan. Ngangkat HP-nya tinggi-tinggi buat ngerekam. Senyumnya gak luntur selama konsernya berlangsung, dia cuma senyum terus sambil teriak selama konser. Katanya dia nangis pas gak dapet tiketnya,” ucap Gama lalu tertawa di akhir kalimat. Ia melirik Tessa yang tampak terdiam mendengarkan kalimat demi kalimat yang ia lontarkan. Gama menyandarkan punggungnya pada bangku, tatapannya lurus ke depan. “Gue pernah liat dia sekali, itupun lewat postingan Instagram Abangnya. Pas gue pertama kali liat, dia cantik banget. Beneran cantik. Bidadari aja kalah cantik. Terus ternyata gue ketemu dia di konser, gue ketemu akun Instagramnya. Terus gue liat dia bikin story foto gue, dan gue minta foto gue ke dia. Soalnya dia ngambil fotonya bagus banget, gue suka.”

“Kak,” panggil Tessa. Gama langsung mengatupkan bibirnya, menolehkan kepalanya ke arah Tessa. “Ini yang lo ceritain itu gue?” tanya Tessa.

Gama mengangguk, “how did I just find out there are fans as beautiful as you?

“Kak ....”

And I guess, I fell in love for the first time,” ucap Gama dengan pandangan yang tertuju pada Tessa.

Tessa terdiam mendengar ucapan Gama. Dia terkejut. Sangat terkejut. Kalimat yang bahkan tidak ia sangka akan ia dengar. Kalimat yang selama ini hanya menjadi khayalan dirinya, sekarang menjadi sebuah kenyataan. Entah dia harus senang atau malah sebaliknya. Tessa bimbang. Perasaannya pada Gama bukanlah sebatas penggemar kepada idola. Sekarang perasaan itu berubah ketika dia menjadi dekat dengan Gama. Semua yang dulunya menjadi mimpinya, sekarang malah menjadi kenyataan.

“Tapi, kita gak mungkin buat bareng, kan?” tanya Tessa setelah lama terdiam.

“Kata siapa?” tanya Gama.

You have fans, do you think they won't be disappointed?” tanya Tessa dengan suara pelan.

This is my life. Mereka gak berhak buat ngatur hidup gue, ya mereka sebagai penggemar harus bisa terima kenyataan. Kenapa? Lo takut?” jawab Gama.

“Iya—”

“Gak usah peduliin mereka. Cukup peduliin diri kita sekarang. Do you love me too or not?” ucap Gama.

I love you as a girl, not as a fan,” kata Tessa.

Gama tersenyum, menahan gejolak yang berapi-api di dalam dirinya. Hatinya lega karena sudah mengungkapkan semuanya. Sekarang dia tidak perlu menyiapkan beberapa kalimat untuk diungkapkan kepada Tessa. Semuanya sudah jelas. Dia menyukai Tessa, begitupun dengan sebaliknya.

So, are we dating now?” tanya Gama.

“Menurut kamu aja, deh,” ucap Tessa malu-malu.

“Coba ulangin sekali lagi,” goda Gama.

“Ih, Kak Ga—”

Gama langsung membekap mulut Tessa sebelum gadis itu keceplosan menyebut namanya. Tessa menyengir ketika Gama menjauhkan tangannya, Gama menatap Tessa dengan tatapan was-was.

“Maaf,” cicit Tessa.

“Gapapa, kita pulang sekarang aja. Date pertama bisa kapan-kapan,” ajak Gama sambil menggenggam tangan Tessa.

“Kalau besok kita kencan ke Zoo, gimana? Aku mau liat binatang,” tanya Tessa.

Gama mengangguk, “boleh.”

“Yeay!” Tessa bersorak senang, membuat Gama merasa gemas dengan tingkahnya.

Keduanya kembali ke mobil. Gama mengantar gadis itu pulang ke rumah dengan hati-hati karena takut ada fans yang akan bertemu dengan mereka. Apalagi perumahan Tessa merupakan perumahan elite yang pastinya ada banyak orang yang kemungkinan besar mengenali Gama Arcelo.