Penjelasan
Kalilo turun dari motornya dengan terburu-buru ketika sudah berada di depan rumah Kailee. Ia mengetuk pintu beberapa kali. Jantungnya berdetak dengan kencang karena ia merasa takut kalau Kailee akan marah dengan dirinya. Salahnya juga karena sudah membohongi Kailee, padahal Kalilo tidak pernah berbohong pada Kailee. Kalilo menyalahkan Rael yang membuat keadaan seperti ini.
Suara pintu terbuka membuat Kalilo mengalihkan pandangannya, ada Jericho berdiri di ambang pintu. Rambutnya yang panjang terlihat acak-acakan. Kalilo tersenyum menyapa kakak kedua Kailee.
“Bang, kak Kailee ada?” tanya Kalilo.
Jericho mengangguk, “ada, lah. Kan dia belum masuk sekolah. Ngapain lo di sini?”
“Mau ketemu kak Kailee,” kata Kalilo sambil mengusap tengkuknya.
Jericho membulatkan mulutnya, ia mengajak Kalilo untuk masuk ke dalam rumah. Keduanya berjalan ke arah ruang tamu, kemudian Jericho berbalik menghadap Kalilo. “Kailee kayaknya masih mandi, tungguin aja. Udah bilang mau ke sini, kan?”
Kalilo mengangguk, “udah bilang, kok.”
“Ya udah, tungguin aja. Gua masih ada tugas kuliah. Lo kalau mau minum, ambil sendiri di dapur, ya. Anggap aja kayak rumah lo sendiri,” ujar Jericho.
Kalilo mengangguk sambil tersenyum kikuk. Jericho kembali ke kamarnya yang berada di lantai atas, sama dengan kamar Kailee. Kalilo menunggu Kailee sembari memainkan jari-jarinya. Hingga beberapa menit kemudian, ia mendengar suara langkah kaki yang menuruni tangga. Kalilo berdiri ketika melihat Kailee yang sedang menuruni tangga satu persatu.
“Kamu udah lama nunggunya?” tanya Kailee.
“Emm, lumayan. Mungkin sekitar 20 menit,” balas Kalilo.
“Mau minum, gak? Aku ambilin dulu. Atau udah gak haus gara-gara habis minum di Janjiw sama Rael?” Kailee terkekeh. Dia tidak berkata serius, hanya bercanda karena Kalilo sudah berbohong.
Kalilo memasang raut sedih, ia menghampiri Kailee dan menggenggam tangannya. “Enggak gitu, kak. Aku kan gak berniat bohong ke kamu, aku minta maaf. Jangan gitu, ih.”
Kailee tertawa, “bercanda. Aku ambil minum dulu, ya. Kamu ke kamar aku aja.” Kalilo mengangguk, ia pergi ke kamar Kailee. Sementara itu Kailee pergi ke dapur untuk mengambil dua gelas lemon tea untuk dirinya dan Kalilo.
“Kamu mau jelasin apa?” tanya Kalilo.
“Tadi tuh aku mau pulang, aku udah seneng banget mau ke rumah kamu. Tapi, dia nahan aku. Katanya dia gak ada yang jemput, terus nyuruh aku buat nganterin dia pulang. Padahal aku udah nolak dia, dia maksa aku terus. Apalagi dia bilang kalau dia bakalan chat kamu buat bilang kalau aku bentak dia, ya aku gak mau kamu salah paham terus marah ke aku. Ya, meski sekarang kamu marah ke aku karena aku bohong. Aku minta maaf, kak. Aku gak ada alasan lain buat bilang ke kamu, maaf ....,” jelas Kalilo. Ia menundukkan kepalanya, tidak berani menatap Kailee.
Kailee mengangguk-anggukkan kepalanya, ia mengulurkan tangannya untuk mengusap kepala Kalilo. “Kalau kamu jelasin kayak gini, aku gak bakalan marah, Ilo. Angkat dong kepala kamu. Laki-laki, bukan? Harus gentle, dong,” ucapnya.
Kalilo mengangkat kepalanya, matanya memerah karena menahan tangis. Kailee langsung terperanjat, “kok kamu malah nangis?!” tanyanya panik.
Kalilo langsung menangis, ia memeluk Kailee dengan erat. “Maafin aku,” ucap Kalilo disela-sela isak tangisnya.
Kailee terkekeh, “gapapa, Ilo. Jangan nangis, ih. Aku gak marah, kok.”
“Huaaaaa.”
“Ssshhhh. Jangan nangis, ya. Cup, cup, cup.” Kailee mengusap punggung Kalilo, Kailee merasa seperti memiliki bayi besar yang suka menangis seperti Kalilo sekarang ini.
Kalilo mengeratkan pelukannya pada Kailee, bahkan ia tidak mau mengangkat kepalanya karena merasa malu dengan Kailee. Apalagi sekarang wajahnya memerah, Kailee hanya bisa tertawa melihat tingkah laku Kalilo yang seperti bayi.
Di balik pintu kamar Kailee, ada Jericho yang melihat keduanya berpelukan. “Jomblo gini amat,” ucapnya kemudian masuk ke dalam kamarnya.