Pupus.

POV Aileen.

Sore itu, saya berniat untuk mencari sebuah hadiah untuk kekasih saya yang sebentar lagi akan berulang tahun. Rencananya, saya akan memberi dia kejutan. Bukan kejutan yang mewah, tapi kejutan yang sederhana namun membekas di ingatan. Saya sangat tidak sabar untuk memberikan dia kejutan malam nanti. Tepat ketika pukul 12 malam, saya akan mengejutkannya.

Kaki saya langkahkan masuk ke dalam toko yang menjual beberapa sepatu. Saya akan membeli sepasang sepatu untuk dirinya. Sepatu yang selama ini dia inginkan, namun belum sempat ia beli karena dirinya tidak ada waktu. Kalau saya tanya, kenapa kamu gak beli? Dia pasti akan menjawab, aku cuma punya waktu buat kamu. Kalau kalian tanya, apa saya salah tingkah? Jawabannya iya. Tentu saja saya merasa salah tingkah dengan jawabannya. Saya merasa seperti orang yang sangat spesial.

Sepasang sepatu sudah saya beli, tak lupa dengan kertas kado yang akan menjadi alasnya. Saya akan menghiasnya nanti ketika di rumah. Saya pergi ke sebuah toko kue. Memesan salah satu kue, dan meminta untuk diberikan ucapan selamat ulang tahun di atas kuenya. Senyum saya mengembang ketika melihat hasilnya, sangat indah. Jantung saya seketika berdebar ketika otak saya mulai membuat skenario indah tentang malam nanti. Ah, saya lupa membeli lilin ulang tahun. Sepertinya saya harus pergi mencari lilin ulang tahun, agar kuenya tidak terlalu sepi. Selain itu, dia juga harus meniup lilinnya setelah berdoa, kan?

Di rumah, saya memasukkan kue yang saya beli tadi ke dalam kulkas. Lalu saya pergi ke kamar untuk membungkus hadiahnya. Menulis deretan kalimat ucapan serta doa-doa baik untuknya. Dengan hiasan kecil agar hadiahnya terlihat cantik. Saya tersenyum puas ketika sudah menyelesaikannya. Saya meletakkan kado itu di meja belajar saya. Jari-jemari saya mengambil salah satu foto polaroid kami berdua, yang kami ambil sekitar dua bulan yang lalu di photo box. Dia tampak rupawan. Saya tersenyum melihat foto itu.

Ah, saya menjadi tidak sabar. Rasanya ingin mempercepat waktu agar bisa merayakan ulang tahunnya. Daripada harus menunggu, akhirnya saya memilih baju untuk yang saya pakai nanti. Semuanya harus siap, tidak boleh terlambat, dan tidak boleh gagal. Doa saya, semoga kejutan ini berhasil dan Keizo menyukainya.


Tepat pukul 10 malam, saya sudah rapih dengan setelan blouse motif bunga dengan rambut yang dijepit. Saya tersenyum ke arah cermin yang berada di hadapan saya. Lalu saya mulai mengambil tas selempang yang tersampir di belakang pintu, dan pergi turun melangkahi tangga satu-persatu. Mendekati kulkas untuk mengambil kue yang tadi saya beli. Cukup kesusahan karena satu tangan saya juga membawa hadiah. Saya tersenyum lebar, diri ini menjadi tidak sabar.

Rumah di hadapan saya, lampunya masih menyala. Saya sengaja untuk datang lebih awal. Karena rencana saya, bukan mengejutkan ketika pukul 12 malam. Namun, datang sebelum pukul 12 malam agar bisa merayakan bersama. Kan, sudah saya bilang. Bukan kejutan mewah. Karena saya tidak pandai membuat kejutan, asal bisa di ingat sampai kapanpun. Itu yang saya inginkan.

Saya melangkahkan kaki beberapa langkah dari tempat saya berdiri sekarang ini. Sekarang saya tepat berada di depan pintu rumah milih keluarga Keizo. Baru saja tangan saya ingin mengetuk benda persegi panjang di hadapan saya, namun kuping saya malah mendengar kalimat yang sangat menyakitkan.

Nak, besok tolong temui anaknya teman Ayah. Kamu dekati dia, ya? Buat dia merasa nyaman denganmu dan menjadi suka denganmu.

Ayah? Keizo gak mau. Sama sekali gak mau. Keizo sudah punya Aileen.

Kamu jangan membantah! Ini perintah Ayah. Cuma kamu satu-satunya anak Ayah, jadi cuma kamu yang Ayah bisa handalkan. Lagipula, Ayah kurang suka sama Aileen. Dia baik, namun Ayah tidak suka dengannya.

Kok Ayah ngomong gitu? Waktu itu Ayah pernah bilang, kalau Ayah sudah mulai menyukai kehadiran Aileen. Terus kenapa sekarang bilang seperti itu?

Ayah bohong biar kamu gak sedih. Ayah mana bisa lihat kamu sedih.

Ayah—

Sudah, Zo. Turuti apa kata Ayah. Tolong, ya? Ini semua demi kebaikan kamu.

Iya.

Rasanya detik itu juga hati saya hancur berkeping-keping. Remuk seketika. Obrolan keduanya di dalam membuat saya langsung mundur beberapa langkah dari hadapan pintu di depan saya. Saya hancur. Saya sakit. Saya kecewa. Saya sedih.

Klek

Suara pintu terbuka membuat saya mendongakkan kepala. Untung saja saya belum menangis. Keizo berdiri di ambang pintu dengan mata yang terbelalak. Mungkin terkejut karena saya berada di depan pintu rumahnya. Wajahnya terlihat murung. Saya terpaksa harus tersenyum, saya mengangkat kedua tangan saya. Menunjukkan barang yang saya bawa.

“Kamu udah lama di sini?” tanya Keizo.

Saya mengangguk, “iya. Aku juga sudah mendengar semuanya.”

“Ai ....” lirihnya. Ia meneguk ludahnya dengan susah payah, matanya menatap saya tanpa berkedip.

Saya tersenyum, “itu bukan masalah besar buat aku, Zo. Aku gapapa.”

“Ai, aku minta maaf,” ucap Keizo. Tangannya menggenggam tangan saya. Hadiah dan kue yang saya bawa, ia letakkan di meja yang berada di teras rumahnya. “Kamu dengar semuanya, kan? Ini perintah Ayah. Aku cuma bisa bilang iya. Kalau aku bilang enggak, pasti beliau marah sama aku.”

Saya terkekeh, “gak perlu minta maaf. Aku ngerti kok. Oh iya, aku beli kue sama hadiah buat kamu. Tadinya sih mau merayakan bersama, tapi kayaknya enggak jadi.”

“Kok enggak jadi?” tanya Keizo bingung.

“Aku harus pamit pulang, aku juga tiba-tiba ngantuk,” ucap saya dengan penuh dusta.

“Kita rayain bareng, ya?” Wajahnya terlihat memohon ke arah saya. Tapi, saya tidak bisa. Saya sudah sakit hati.

Saya melepaskan tangannya yang menggenggam tangan saya. Terpaksa. Kalau tidak dilepaskan, saya tidak bisa pergi. Keizo menatap saya dengan matanya yang mulai berkaca-kaca ketika saya melepaskan genggamannya. Saya tersenyum ke arahnya, “maaf, Zo. Aku enggak bisa di sini lama-lama. Aku harus pulang. Gapapa kan kalau kamu merayakan sendiri ulang tahun kamu? Maaf, aku enggak bisa nemenin kamu.”

“Kenapa? Kamu bohong, kan? Kamu gak ngantuk. Ai, maafin aku. Kita rayain bareng-bareng, ya?” ucap Keizo dengan penuh permohonan.

“Zo, udah tiga tahun kita bareng. Aku rasa, semuanya bakal sia-sia. Mengingat obrolan kamu dengan Ayah, aku jadi tahu. Kalau seharusnya, aku enggak sama kamu. Bukan aku yang harusnya bersanding sama kamu. Tapi, orang lain, gadis yang sudah Ayah pilih buat kamu. Aku nggak pantas, aku nggak cocok sama kamu.”

“Ai—”

“Kalau kita memaksakan hubungan ini, nanti malah bikin Ayah kecewa dan bikin kita sama-sama sakit. Aku nggak mau bikin perasaan kamu sakit, aku enggak mau. Jangan dipaksakan lagi hubungan ini, ya? Kita harus sama-sama melepaskan, sama-sama merelakan. Aku tahu, ini berat dan gak mudah. Tapi, ini harus.”

Saya tersenyum ke arahnya, meski hati saya rasanya seperti dicabik-cabik. Saya hanya bisa menunjukkan senyum saya. Mungkin untuk yang terakhir kalinya. Saya menatapnya dengan mata saya yang mulai mengabur pandangannya. Bulir-bulir air mata bertumpuk di pinggir mata saya. Mungkin jika saya berkedip, air mata itu akan jatuh. Saya menunduk, mengusap mata saya dengan punggung tangan saya. Saya tidak mau menangis. Apalagi di hadapan Keizo.

“Selamat ulang tahun, anak baik. Semoga hidup kamu dipenuhi kebahagiaan, jangan kebanyakan nonton film malam-malam, jangan suka makan mie, jangan tidur di atas jam 12, harus banyak-banyak minum air putih. Harus bisa ngelakuin semuanya sendirian, ya? Setelah ini, kamu harus terbiasa sendiri tanpa aku. Begitupun dengan aku,” ucap saya.

“Ai, maaf. Maaf belum bisa jadi pacar yang baik buat kamu, maaf kalau selama ini aku menyusahkan kamu, maaf kalau aku banyak kurangnya. Terimakasih, ya? Terimakasih sudah datang dan memberi aku kekuatan untuk tetap hidup. Terimakasih,” ucap Keizo. “Bahagia selalu, ya? Mungkin nanti kita menjadi orang asing. Tapi, aku selalu di sini. Buat kamu. Kapanpun kamu butuh aku, aku bakalan selalu ada di sini.”

Saya mengangguk, “terimakasih juga, Keizo. Sekali lagi, selamat ulang tahun.”

“Boleh peluk?” tanya Keizo, saya mengangguk sebagai jawaban.

Lantas ia memeluk saya dengan erat. Wajahnya disembunyikan di ceruk leher saya. Saya bisa merasakan air matanya yang menetes. Saya menepuk punggung dan bahunya berulang-ulang.

Happy anniversary,” bisiknya.

Happy anniversary, Zo,” bisik saya dengan suara yang bergetar karena menahan air mata.

Lalu ia melepaskan pelukannya. Saya terkekeh melihatnya menangis, dia memang cengeng. “Aku pamit, ya? Salam buat Ayah kamu. Good luck! Semoga berhasil pendekatannya. Aku selalu doain kamu. See you when i see you again!” ucap saya. Kemudian saya pergi dari sana. Meninggalkan dirinya yang masih berdiri termenung di depan pintu.

Dada saya terasa sesak sekali. Semua harapan yang kami buat, semuanya hancur. Semuanya gagal. Harapan kami untuk menikah, membangun rumah bersama, memiliki anak, berjalan-jalan mengelilingi dunia, harapan untuk terus bersama-sama. Semuanya sudah pupus. Tidak akan pernah bisa diwujudkan lagi. Semuanya sudah hancur lebur.

Di rumah, saya langsung berlari ke kamar. Menghindari pertanyaan-pertanyaan dari orang-orang rumah yang penasaran karena saya tiba-tiba berlari ke kamar. Tangisan saya langsung tumpah ruah ketika berada di kamar. Saya menangis sekencang-kencangnya. Memukul dada saya yang terasa sesak. Manik saya menatap foto-foto yang digantung di tembok kamar saya. Saya tambah menangis. Dunia saya seketika hancur. Rasanya sangat menyakitkan, bahkan kalimat itu terus terngiang-ngiang di otak saya.

Keizo, bahagia saya cuma kamu. Tapi, kalau kamu bisanya sama orang lain, saya bisa apa? Saya cuma bisa menangis sendirian di kamar sambil mengingat kenangan kita dulu. Bahkan, hari ini adalah hari jadi kami yang ke-4. Bertepatan dengan ulang tahun kamu. Mungkin, tanggal ini akan menjadi tanggal yang saya hindari. Karena itu akan membuat saya terus mengingat kejadian ini. Keizo, saya cuma mau kamu bahagia dengan siapapun pilihan kamu. Saya akan belajar merelakan kamu. Saya harus merelakan cinta pertama saya. Semoga, di kehidupan selanjutnya saya tidak bertemu kamu. Agar saya tidak merasakan sakit yang sama. Namun, jika takdir baik berpihak pada kita, saya akan berterimakasih pada Tuhan. Keizo, bahagia selalu, ya?