Rindu yang membuncah.

“Teh Killa!” panggil Keisha dengan semangat. Ia berlari menghampiri Killa yang tersenyum ke arahnya, memeluk gadis yang lebih tua darinya. Killa tersenyum ketika Keisha menghampirinya dan memeluknya.

“Ayo, kita ketemu Bunda,” ajak Aksara.

“Kita beli bunga dulu, a’?” tanya Keisha.

Aksara mengangguk sembari memakaikan jaket pada Keisha, “iya, nanti kita beli.”

Setelah jaketnya terpakai, Aksara membantu Keisha untuk duduk di motor. Tentunya di bagian depan. Dibelakangnya pun ada Killa. Aksara menjalankan motornya, menjauhi area rumah neneknya.

Di sepanjang perjalanan, Keisha bernyanyi lagu anak-anak yang ia hafal di luar kepala. Sementara itu Aksara dan Killa hanya menyimak nyanyian Keisha, sesekali tertawa karena Keisha yang bertepuk tangan dengan lucu.

Mereka berhenti di salah satu toko bunga, Aksara turun dari motornya. Menyuruh Killa dan Keisha untuk menunggu di motor, sementara itu dirinya membeli bunganya. Tidak lama kemudian, Aksara sudah membeli sebuket bunga untuk sang Bunda. Tersenyum kepada Killa dan memberikan buket bunga yang ia pegang pada Killa. Mereka kembali melanjutkan perjalanannya.

Tidak butuh waktu lama untuk mereka sampai di suatu tempat yang menjadi kunjungan mereka kepada Bunda dari Aksara. Ketiganya turun dari motor, menatap tempat di depannya. Aksara menghela napasnya, Killa yang berada di sampingnya pun mengusap bahunya.

Pemakaman.

Ya, mereka sekarang berada di pemakaman. Aksara menggandeng tangan Keisha, sementara itu Killa menggandeng lengannya. Mereka bertiga berjalan beriringan, mencari salah satu nisan yang akan mereka datangi. Langkah mereka terhenti ketika sudah menemukannya.

Keisha langsung berlari menghampiri salah satu gundukan tanah dengan nisan yang bertuliskan Claire Faneth. Tangan mungilnya mengusap nisan yang sudah terlihat usang, disekitarnya terlihat sangat kotor dan ditumbuhi rumput panjang. Aksara berjongkok di samping Keisha. Sedangkan Killa juga berjongkok di samping Aksara.

Aksara mengusap batu nisan sang Bunda perlahan. Hatinya terasa sakit ketika di hadapannya ada gundukan tanah yang dibawahnya ada Bundanya yang kini sudah menyatu dengan tanah. Matanya menatap lurus ke batu nisan sang Bunda. Ketiganya memanjatkan doa untuk seseorang yang sangat berarti untuk Aksara dan juga Killa. Banyak sekali kenangan diantara mereka. Namun, orang itu malah sudah meninggalkan mereka begitu cepat.

“Bun, Aksara bawa Killa sama Keisha,” ucap Aksara setelah menyelesaikan doanya. Senyum di wajahnya tidak luntur, malah semakin lebar. Namun, senyum itu tampak terpaksa ditunjukkan karena ia tidak bisa tersenyum ketika datang ke sini. “Bunda pasti kangen sama aa’ sama Keisha, ya? Kita juga kangen sama Bunda. Killa juga kangen sama Bunda. Bun, di sana enak, gak? Bunda seneng, gak? Pasti Bunda seneng banget.” Napasnya tercekat, sesak di dadanya sudah tidak bisa tahan lagi. Napasnya terputus-putus, matanya sudah berkaca-kaca. Aksara berusaha untuk menahan air matanya agar tidak terjatuh.

Namun, sudah berusaha pun air matanya jatuh membasahi pipinya dengan deras. Aksara terisak, ia menangis dengan deras. Bahunya bergetar, tangannya juga ikut bergetar. Killa mengusap bahu Aksara yang berada di sampingnya, sedangkan Keisha memeluk Aksara dari samping.

“B–bun, Keisha udah sebesar ini. Bunda pasti bangga, kan, sama aa’? Bunda pasti bangga sama aa’ karena udah besarin Keisha. Keisha tumbuh baik, Bun. Dia jadi anak yang pinter, sekarang Keisha jago nyanyi, dia mirip Bunda ... Keisha sama kayak Bunda, suka sama kucing. Aksara pelihara kucing sama Keisha. Kata Keisha, kucingnya mirip kayak pas dia sama Bunda ke taman dulu. Bunda ... Aksa kangen,” ucap Aksara dengan nada yang terbata-bata dan suaranya yang bergetar karena menangis.

Killa tak kuasa menahan tangisnya ketika melihat Aksara menangis, dirinya pun ikut menangis. Tangannya masih mengusap bahu Aksara. Jika dia berusaha untuk menguatkan Aksara, maka Aksara akan berusaha untuk menjadi kuat. “Bunda, Aksara hebat. Anak Bunda hebat.

“Bun, Aksara bawa Killa. Pacar aa’, Bunda suka Killa, kan? Katanya Bunda mau lihat Aksara nikah sama Killa, nanti kita nikah terus Bunda datang, ya? Tapi, masih nanti, soalnya kita berdua masih jadi anak sekolah.” Aksara tertawa kecil setelah menyelesaikan ucapannya. Ia menatap Killa yang menatapnya sambil menangis. Aksara tersenyum, ia mengusap pipi Killa. Kemudian ia menoleh ke arah Keisha yang diam-diam juga menangis.

“Kei, gak mau nyapa Bunda?” tanya Aksara dengan suara pelan.

“Bunda, Keisha kangen.”

Hanya satu kalimat, Aksara langsung kembali menangis. Entah kenapa ia menjadi cengeng ketika datang kemari. Suasananya cukup membuat dirinya merasakan kesedihan yang selalu ia hindari. Tangisan yang ia tahan dan ia kubur dalam-dalam mendadak tumpah ketika sedang berbicara dengan Bundanya. Tangisan pilu Aksara kembali terdengar, membuat Killa merasa tidak tega. Killa menatap nisan di depannya, dengan hati-hati meletakkan satu buket bunga Anyelir putih yang tadi Aksara beli.

“Halo, Bunda. Ini Killa. Bunda, di sana pasti indah, ya? Bunda suka di sana? Bunda, Aksara sama Keisha hebat. Aksara jadi anak pintar di sekolah, dia selalu dapat juara, nilainya bagus. Meski dia suka berantem sama anak-anak sekolah sebelah, tapi dia masih bisa handle semua pekerjaan sekolahnya. Aksa baik, Bun. Dia selalu nemenin aku, dia selalu kasih aku saran kalau aku lagi kesusahan, Aksara juga hibur aku kalau lagi sedih. Anak Bunda hebat, ya? Hebat soalnya bisa ngelakuin semuanya sendirian. Bunda, makasih ya udah biarin Aksara sama aku. Kalau gak ada Aksa, aku gak tau sekarang aku masih di sini apa enggak, haha. Bunda, aku janji bakalan urus Aksara sama Keisha! Oh iya, Keisha juga kemarin dapat juara melukis di sekolahnya. Keren, kan? Keisha suka melukis kalau di rumah Killa. Katanya dia mau jadi pelukis terkenal, Bun. Bunda pasti bangga sama anak-anak Bunda, kan?” ucap Killa dengan matanya yang berkaca-kaca. Dadanya terasa sesak, hatinya teriris, memorinya dengan Bunda dari Aksara kembali terputar di ingatannya.

Aksara meletakkan keningnya di bahu Killa dengan tangisan yang masih ada. Napasnya memburu, air matanya membasahi seragam Killa. Killa mengusap pipinya yang sudah basah karena air mata, kemudian ia menatap Aksara dan Keisha. Killa tersenyum, ia memeluk Aksara dan Keisha di depan makam Claire.

“Kangen Bunda ...” lirih Aksara.

“Jangan nangis, kasihan Keisha juga ikutan nangis,” ujar Killa.

“Killa, makasih. Makasih banyak,” ucap Aksara ketika ia mengangkat kepalanya. Menatap gadis di depannya dengan matanya yang memerah.

Killa tersenyum, “gak perlu bilang makasih, Aksa.”

“Kei, pulang sekarang, yuk?” ajak Aksara.

Keisha mengangguk, “Bunda nanti mampir ke mimpi Keisha, ya! Keisha pulang dulu. Dadah, Bunda!”

Aksara tersenyum samar, ia berdiri dari jongkoknya. Kakinya terasa ngilu karena terlalu lama berjongkok, ia menggendong Keisha yang masih menangis. Ketiganya keluar meninggalkan area pemakaman.

“Aa’, aku mau makan bakso!” seru Keisha ketika sudah berada di atas motor.

Aksara tersenyum, “oke, nanti kita mampir dulu ke bakso langganan kita. Kil, kamu juga makan dulu, ya?” Ia melirik Killa dari kaca spion motornya.

Killa mengangguk, “ayo!”

“Yeay!” sorak Keisha. Kemudian Aksara menjalankan motornya, pergi ke tempat penjual bakso yang menjadi langganannya. Tangisnya dan kesedihannya masih tersisa, tapi ia tidak boleh menangis lagi. Apalagi sekarang sedang bersama Killa dan Keisha. Aksara tidak mau terlihat lemah di depan kedua gadis yang ia sayangi. Ia harus tegar meski hatinya rapuh.