Selesai, namun belum usai.

Lima bulan yang lalu, entah bagaimana saya bisa bertemu dengannya, bagaimana saya bisa mengenalnya, bagaimana saya bisa tertarik pada laki-laki itu. Saat itu, kita berdua belum terlalu dekat. Dekat hanya sebatas kenal, tidak lebih. Lalu ketika dia datang untuk sekedar menyapa pada saya, entah kenapa saya merasa senang. Lalu kita berbincang sejenak. Perbincangan yang singkat, namun saya ingat betul. Lucu ketika saya mengingat kita berdua yang saling memamerkan mie, padahal saat itu kita tidak terlalu dekat.

Entah bagaimana bisa, ketika waktu terus berjalan, kami menjadi dekat. Saat itu, saya dengan teman saya sedang berbincang berdua. Saya berkata pada teman saya kalau saya menyukai dirinya. Saya bingung. Bingung bagaimana caranya mengungkapkan perasaan saya. Tanpa saya tahu kalau dia sudah punya pacar atau belum. Di situ, saya meminta pendapat teman saya. Lalu akhirnya saya mengaku pada dirinya. Kalau saya menyukai dirinya. Saat itu perasaan saya campur aduk. Senang, takut, semua menjadi satu.

Lalu ketika dia menyuarakan jawabannya. Seketika saya langsung sedih. Haha, iya, dia bilang terimakasih karena sudah mengungkapkan perasaan saya. Dia bilang, kita hanya cukup berteman saja. Saya sedih. Siapa yang tidak sedih kalau berada di posisi seperti itu? Tapi, saya senang. Karena setelah itu kita dekat. Hanya sebatas teman tentunya.

Banyak sekali pembicaraan dan topik yang kami bicarakan. Obrolan yang sangat panjang, membuat saya sampai lupa apa yang kita bicarakan saat itu sampai sekarang. Hanya sekelebat ingatan tentang pembicaraan kita berdua yang bisa saya ingat. Saya deskripsikan dia; dia anak yang baik, selalu menanggapi obrolan saya, lucu, dan gemas. Kalau boleh jujur, dia orang yang hebat. Laki-laki hebat setelah Papa saya.

Lima bulan itu saya lewati bersama dia. Tanpa saya tahu kalau dirinya masih berada di masa lalunya. Satu hari ketika saya tahu kalau sepertinya dia memiliki orang yang spesial, saya langsung terkejut. Saya bercerita pada teman saya. Karena saya takut akan menjadi perusak hubungan orang. Lalu di situ masalah terjadi. Ya, salah saya dan teman saya, sih. Dia marah. Marah kepada saya dan teman saya. Jujur, saya sedih karena saat itu kita tidak berbincang untuk beberapa lama.

Sepi, hampa, sedih. Itu yang saya rasakan. Padahal saya bukan siapa-siapanya, tapi saya merasa kehilangan. Kehilangan seseorang yang menjadi teman mengobrol. Cukup membuat hati saya sakit. Lucunya, setelah itu kita menjadi dekat kembali. Entah bagaimana caranya kami bisa menjadi dekat kembali. Tapi, saya senang. Senang sekali.

Ah, saya ingat ketika saya memberitahu dirinya kalau saya membuat cerita dan ditawarkan untuk terbit menjadi sebuah novel, saya langsung bercerita padanya meski terlambat. Saya sangat senang ketika melihat responnya. Dia memberi saya selamat, memuji saya, saat itu saya merasa menjadi seseorang yang paling bahagia.

Malamnya, saya memberanikan diri untuk bertanya padanya. “Ada orang yang kamu suka?”

“Ada,” jawabnya. Saya langsung terdiam sejenak, hati saya seketika langsung hancur. Terdengar berlebihan, tapi begitu kenyataannya.

Saya pura-pura tersenyum, “oh, iya? Berarti selama ini aku dekat sama cowok orang?”

Dia menggeleng, “enggak.”

“Loh? Tapi, katanya kamu suka orang? Maaf, maaf kalau aku berlebihan selama ini,” kata saya.

“Jangan minta maaf, aku belum berhubungan dengannya,” ucap dia.

Saat itu saya dipaksa keadaan untuk tetap terlihat biasa saja. Namun, sebenarnya saya hancur. Saya seketika langsung mendadak sedih. Sedih karena dia menyukai seseorang, tanpa tahu siapa orang itu.

“Siapapun itu ceweknya, aku minta maaf, ya. Aku jadi enggak enak,” ucap saya.

“Aku mau ngomong sebentar, boleh minta waktunya sebentar?” tanya dia. Lantas saya mengangguk. Entah kenapa saya mendadak berdebar dan takut.

Dia menatap manik saya, “kamu pernah bilang kalau kamu suka aku, kan? Aku juga suka kamu. Maaf, kalau aku nggak bilang ceweknya itu kamu.”

Detik itu juga dunia saya rasanya berhenti berputar. Karena saya cukup terkejut dengan penuturannya. Saya bingung, kenapa dia bisa menyukai saya? Padahal saya banyak kurangnya. Entah harus senang atau sedih, saya tertawa pelan. Saya pikir, dia hanya bercanda.

“Kamu bercanda?” tanya saya.

Dia menggeleng pelan, “enggak.”

“Sejak kapan?” tanya saya.

“Bulan agustus,” jawabnya.

Saya membelalakkan mata, “tiga bulan? Kok bisa?”

Terkejut sekali karena selama itu dia menyembunyikan perasaannya. Malam sudah semakin larut, saya harus pulang dan pergi tidur. Apalagi setelah itu kami tidak berbincang.

Berhari-hari, berminggu-minggu, sudah saya lewati bersamanya. Banyak sekali rasa sedih dan senang saat itu. Saya senang karena ternyata dia juga menyukai saya. Tapi, saya sedih karena saya bingung dengan semuanya. Kalau ada yang bilang saya manusia paling menyedihkan, maka akan saya iyakan. Saya memang manusia menyedihkan. Karena saya juga menyadarinya. Tapi, saya juga sadar, bukan hanya saya yang menjadi manusia menyedihkan. Banyak sekali orang di luar sana yang mungkin sama seperti saya. Merasa hidupnya menyedihkan.

Oh, saya juga mau bercerita. Tentang dia, saya sangat menyukai tentangnya. Bagaimana dia yang selalu menangkan saya, yang selalu mendengarkan cerita saya, yang selalu memberi saya saran, yang selalu memberi saya semangat, yang selalu memberi saya pelukan. Semua itu, semuanya itu selalu saya ingat. Saya simpan baik-baik dalam ingatan saya. Tidak akan pernah saya lupakan semua itu. Karena saya merekamnya dengan baik-baik.

Dan ketika malam itu, saya merasa dia sedang tidak baik-baik saja. Saya bertanya padanya, kamu gapapa? Mau cerita? Lalu dia menjawab, boleh, kebetulan aku sedang butuh pendengar cerita. Kemudian dia memulai ceritanya. Saya senang sekali karena akhirnya dia bisa bercerita pada saya, mengeluarkan keluh kesahnya pada saya. Saya merasa menjadi orang yang berguna saat itu. Rupanya dia sedang lelah. Jujur saja, saya tidak pandai membuat rangkaian kata untuk menenangkan seseorang. Tapi, saya pendengar yang baik. Saya beri dia semangat dan juga pujian, karena menurut saya, dia sudah keren hari itu. Dia sedang lelah, tapi masih mau membantu. Saya sangat kagum dengan dirinya.

Dan untuk terakhir kalinya. Hari itu, ketika suasana hati saya sedang buruk. Saya sedang merasa sangat sedih dan mood saya tidak stabil, memikirkan banyak hal yang menjadi beban pikiran saya. Terlalu banyak overthinking. Saya bertanya padanya, di mana dia akan pergi berkuliah. Lalu dia berkata kalau dirinya ingin ke Jepang. Saya aminkan keinginannya. Di sini saya hanya bisa mendukungnya dan memberinya semangat. Saat itu saya tidak tahu harus berbuat apa.

“Maaf, aku masih suka kamu,” ucap saya.

“Kenapa minta maaf?” tanyanya.

Saya mendongakkan kepala untuk menatapnya, “ya karena aku masih suka sama kamu.”

“Gak usah minta maaf,” katanya.

“Aku cuma mau minta maaf aja,” ucap saya. “Aku enggak bakalan suka kamu lagi, deh,” ucap saya tanpa pikir panjang.

Dia terkekeh, “semangat move on nya,” katanya. Seketika saya langsung terdiam. Hati saya seperti ditusuk-tusuk ribuan jarum, rasanya sakit sekali. Dia memberi saya semangat untuk melupakan rasa suka saya pada dirinya. Ya, salah saya juga sih karena berkata seperti itu pada dirinya tanpa berpikir terlebih dahulu. “Aku heran, heran kenapa kamu bisa suka sama aku yang gak ada spesialnya?” tanya dia keheranan.

Saya menundukkan kepala, sebenarnya untuk menahan air mata saya agar tidak jatuh. Namun, saya gagal. Air mata saya tetap jatuh. Saya menangis. Sampai terisak. Dia hanya terdiam, menatap saya tanpa bersuara.

“Maaf, sudah bikin kamu menangis,” ucapnya yang tambah membuat saya menangis. Rasanya sesak sekali, saya sampai tidak bisa berhenti menangis.

“Karena aku suka kamu. Tapi, rasa suka aku malah bertambah, gimana?” ucap saya, berusaha untuk meredakan tangisan saya.

Dia tertawa pelan, “kalau itu, aku gak tahu.”

Saya tertawa, “iya, emang enggak perlu tahu. Aku mau minta maaf aja karena masih suka kamu. Oh iya, kamu udah enggak suka aku, kan?”

“Aku masih suka kamu,” jawabnya yang membuat saya terkejut bukan main.

“Kamu gapapa, kan? Enggak ngelantur?” tanya saya.

Dia menggeleng, “aku gapapa, aku gak ngelantur. Emangnya kenapa?”

“Aneh aja kenapa masih suka aku. Aku tuh bingung, aku gak mau move on dari kamu,” ucap saya.

“Kalau move on bareng-bareng, gimana?” tanya.

Saya tersenyum, sesak juga rasanya ketika dia berbicara seperti itu. Hati saya sakit sekali. Saya kembali menunduk, menangis lagi tanpa menjawab perkataannya. Saya bingung, saya kalut, saya juga sedih. Semua perasaan itu campur aduk. Membuat saya semakin ingin menangis dengan kencang.

“Ya, kalau itu mau kamu, lakuin aja. Kan itu hak kamu. Tapi, kayaknya bakalan susah buat aku,” ucap saya.

“Kalau misalnya kita sudah benar-benar tidak ada rasa, kita masih bisa temenan, kan?” tanya dia.

“Bisa. Kan dari awal kita enggak pernah memulai, dari awal kita cuma temenan. Iya, kan?” ucap saya sambil tersenyum miris.

“Iya,” katanya.

“Semangat move on nya,” kata saya. Dia hanya diam tanpa menanggapinya.

“Ini kita masih temenan, kan?” tanya saya dengan bodohnya.

“Masih, lah!” jawabnya.

Lalu setelah itu semuanya kembali seperti awal, semuanya kembali seperti semula. Seolah-olah tidak ada yang baru saja terjadi. Kejadian tadi seperti angin yang berlalu. Tapi, rasa sakitnya masih terasa. Saya menangis sekali saat itu, sedih rasanya ketika harus membuang perasaan itu jauh-jauh. Saya enggak bisa, saya tidak akan pernah bisa. Karena rasanya sulit sekali. Saya juga tidak mau. Saya suka dia sudah lama, dan tidak main-main. Lalu dia dengan seenaknya berkata seperti itu. Rasa sakitnya bertambah.

Saya berharap dia menemukan seseorang yang bisa menemani dia selamanya. Yang jelas seperti tipenya, jangan seperti saya. Saya cuma mau dia bahagia, selalu bahagia. Saya tidak mau dia sedih, saya juga tidak mau dia sakit. Saya cuma berharap, kita bisa bertemu lagi. Entah untuk yang terakhir kalinya atau bukan. Saya masih mau bertemu dengannya.