She went to a more beautiful place.
tw // blood , death , car accident.
Flashback
Sore itu di kota Bandung, Claire dan kedua anaknya, Aksara dan Keisha. Pergi ke taman kota yang berada tidak jauh dari rumah mereka. Ketiganya menghabiskan waktu bersama di sore hari itu tanpa sang kepala keluarga. Karena saat itu Prabu sedang sibuk bekerja.
Claire mengajak Aksara dan Keisha duduk di salah satu bangku yang berada di sana. Aksara duduk di dekat sang Bunda. Melihat adiknya yang sedang bermain-main sambil meniup gelembung. Sore itu, taman kota tampak ramai. Banyak orang yang berada di sana. Hanya untuk sekedar menikmati angin sore, atau berpacaran, dan juga ada yang datang seorang diri.
“Aa’, besok kalau udah jadi orang sukses, mau ngapain aja?” tanya Claire.
Aksara yang sedang memperhatikan adiknya pun menolehkan kepalanya ke sang Bunda, “mau ngajak Ayah, Bunda, sama Keisha keliling dunia.”
Claire terkekeh, “kenapa mau keliling dunia?”
Aksara terdiam sejenak, memikirkan jawaban yang tepat atas pertanyaan Claire. “Soalnya aa’ pengen kalian bisa lihat satu-satu negara yang ada di bumi! Biar kalian bisa ngerasain keliling dunia,” balas Aksara.
“Aa’, nanti jangan jadi orang yang sombong, harus tetap rendah hati. Kalau ada orang iri, biarin aja. Bunda mau kamu dapat kebahagiaan sampai kamu tua nanti,” ucap Claire sambil tersenyum.
Aksara menyunggingkan senyumnya, “Aksara kan gak pernah sombong. Kecuali kalau Keisha sombong pamerin mainannya ke aku, nanti aku bales pamer barang ke dia. Hahaha.”
“Aduh, kalian ini ...” Claire tertawa dengan penuturan Aksara.
Keisha tampak berlari menghampiri Bunda dan Kakaknya yang sedang asyik mengobrol. Ditangannya ada pistol gelembung yang ia tadi. Diletakkannya barang itu di kursi, kemudian ia duduk di tengah-tengah antara Bunda dan Kakaknya. Kakinya yang tidak menapak tanah, diayunkan menendang udara.
“Keisha, mau jadi apa kalau sudah besar?” tanya Claire.
“Mau jadi pelukis!” jawab Keisha dengan lantang, tanpa ada keraguan di suaranya.
“Kenapa mau jadi pelukis?” tanya Claire.
“Keisha kan suka gambar, Keisha juga lagi latihan melukis sama teh Killa,” balas Keisha.
“Nanti Keisha jadi pelukis terkenal, ya! Biar Bunda bisa lihat Keisha jadi pelukis hebat,” ujar Claire.
Saat itu, Aksara masih duduk di kelas 1 SMA. Yang artinya, sudah 1 tahun sejak kepergian Bundanya. Aksara yang saat itu sedang menikmati angin sore yang berembus menerpa wajahnya dan membuat rambutnya berterbangan, menoleh ke arah sang Bunda ketika Claire mengucapkan kalimat yang tidak Aksara duga.
“Nanti kalau Bunda udah gak ada, aa’ yang rawat Keisha dan nemenin Keisha sampai tumbuh jadi pelukis terkenal,” ucap Claire dengan tatapan lurus ke depan.
Aksara mengerutkan keningnya, “Bunda ngomong apa, sih?” tanyanya tak suka dengan ucapan sang Bunda.
“Bunda cuma bilang aja, a’. Nanti kamu yang jagain Keisha, rawat Keisha, didik adik kamu jadi anak yang baik, jangan sampai dia jadi anak yang nakal,” ucap Claire.
“Bunda gak bakalan ke mana-mana, kan?” tanya Keisha lirih. Entah kenapa ia merasa perasaannya tidak enak.
Claire terkekeh, “Bunda gak ke mana-mana, sayang. Bunda bakalan selalu di sini sama kamu, sama aa’, sama Ayah.” Claire mengusap kepala Keisha dan Aksara secara bergantian. Mengecup kening kedua anaknya dan mengusap lembut pipi keduanya. Menatap mereka dengan tatapan yang sulit diartikan. Dirinya merasakan perasaan aneh yang bergejolak. Entah perasaan apa ini.
“Bun, udah sore banget. Pulang aja, yuk!” ucap Aksara memecah keheningan diantara mereka.
Claire mengangguk, “ayo, a’. Keisha, pulang sekarang, yuk?”
Keisha menatap Claire dengan matanya yang berkaca-kaca, Aksara dan Claire menatap Keisha kebingungan. Mereka kebingungan karena Keisha yang matanya berkaca-kaca. Padahal mereka sedang tidak bersedih atau membicarakan hal yang menyayat hati. Tetapi, mata Keisha berkaca-kaca. Gadis kecil itu menggenggam erat tangan sang Bunda, menggelengkan kepalanya, melarang Claire pergi. Keisha tidak mau pulang.
“Ayo, pulang, neng,” ucap Aksara sambil menarik tangan Keisha.
“Jangan pulang!” seru Keisha.
“Keisha kenapa, nak? Kenapa gak mau pulang?” tanya Claire.
“Aku gak mau pulang,” ucap Keisha dengan air mata yang sudah turun membasahi pipinya.
Claire mengerutkan keningnya, ia menatap Aksara. Aksara mengangkat kedua bahunya, pertanda tidak tahu. “Bentar lagi sudah mau malam, pulang, yuk? Nanti dimarahin Ayah kalau gak pulang.”
Kalimat-kalimat bujukan dari Claire dan Aksara sudah dilontarkan beberapa kali. Setelah beberapa kali mencoba membujuk Keisha, akhirnya Keisha mau pulang bersama mereka. Claire menggandeng tangan Keisha, sementara itu Aksara berdiri di samping Claire. Ketiganya berjalan beriringan.
Keisha melihat penjual es krim di seberang jalan, ia merengek pada Claire untuk dibelikan. Namun, Claire menolaknya. Keisha terus merengek, hingga akhirnya Claire berniat untuk membelikan es krim untuk Keisha.
Kakinya melangkah menyebrangi jalan, Aksara dan Keisha menunggu di pinggir jalan. Menunggu sang Bunda membawakan es krim untuk anaknya. Dari kejauhan, suara klakson terdengar. Namun, Claire tidak menghiraukannya. Teriakan-teriakan dari orang-orang yang menyuruhnya untuk menyingkir pun tidak didengar. Entah benar-benar tidak mendengar, atau sengaja tidak mendengarkannya.
Aksara menatap Bundanya yang sudah berada di tengah jalan. Panik, takut, khawatir, semuanya menjadi satu. Ia mendorong Keisha ke pinggir jalan, kakinya berlari menghampiri sang Bunda.
Brak
Terlambat. Semuanya sudah terlambat. Aksara terlambat untuk datang menyelamatkan Bundanya. Claire terpental jauh, kepalanya terbentur aspal dan mengeluarkan banyak darah. Teriakan dari orang-orang terdengar. Suara dengung, suara tabrakan, suara teriakan, semuanya menjadi satu di indera pendengaran Aksara.
“Bunda!”
Aksara berteriak memanggil Bundanya. Kakinya melangkah mendekati Bundanya yang sudah terbaring tidak berdaya dengan darah yang tergenang. Air matanya tumpah. Menangis dengan kencang. Dipangkunya kepala sang Bunda di pahanya, Aksara mengusap kepala sang Bunda yang dipenuhi darah.
“Bunda ...” Suaranya terdengar bergetar. Hatinya terenyuh melihat sang Bunda.
“A–aa’ ...”
“Cepet telpon ambulan!” teriak Aksara.
“G–gak p–perlu, a–a’ b–bunda titip k–keisha s–sama Ayah. K–kalian harus b–bahagia, j–jangan bi–kin b–bunda sedih. K–kalian h–harus w–wujudin impian k–kalian. B–bunda minta m–maaf sama k–kalian karena belum b–bisa jadi Bunda y–yang b–baik. B–bunda titip s–salam b–buat K–killa. B–bunda sayang k–kalian. B–bahagia s–selalu.” Claire berucap dengan terbata-bata dengan napasnya yang terputus-putus. Aksara menangis semakin kencang, ia memeluk Bundanya dengan erat.
“Bunda, jangan ngomong gitu! Bunda bakalan baik-baik aja! Jangan tinggalin Aksara sama Keisha, Bun. Nanti Ayah gimana? Jangan ke mana-mana,” ucap Aksara dengan isak tangisnya.
Sementara itu, Keisha yang berada di pinggir kerumunan orang-orang, menatap orang-orang yang berkerumunan di hadapannya dengan bingung. Keisha kebingungan ketika Kakak dan Bundanya tidak ada di pandangannya dalam waktu sekejap. Keisha teringat ketika Aksara memanggil Bunda dengan suaranya yang keras. Perlahan-lahan, Keisha melangkahkan kakinya mendekati kerumunan. Menerobos orang-orang bertubuh besar yang menghalangi jalannya.
Deg!
Keisha melihat Kakaknya memangku Bundanya yang berlumuran darah. Jantungnya langsung berdetak dengan kencang. Keisha menangis dengan keras memanggil sang Bunda. Kakinya ingin berlari mendekati sang Bunda, namun langsung ditahan oleh seseorang. Keisha menatap seseorang yang menahan tangannya, itu adalah Killa. Killa menatap Keisha dengan matanya yang memerah, gadis itu langsung memeluk Killa dengan erat dan menangis dengan kencang.
Suara sirine ambulan terdengar, membelah kerumunan. Aksara berteriak memanggil nama Bundanya. Hatinya sakit ketika melihat tatapan Bundanya yang menatapnya dan juga adiknya yang kini berada di pelukan Killa. Claire masih bisa tersenyum ke arah mereka. Sebelum akhirnya ia mengembuskan napas terakhirnya. Tanpa anak-anaknya tahu kalau dirinya sudah pergi ke pangkuan Yang Maha Kuasa.