Shut up!
TW // BULLYING , VIOLENCE, BLOOD, HARSHWORDS
Kailee menghentikan langkahnya ketika mendengar suara dari ruang musik. Ruangan itu tampak dari gelap. Kailee mengerutkan keningnya, ia penasaran dengan apa yang terjadi di dalam sana. Apakah ulah Rael lagi atau orang lain. Kailee melangkahkan kakinya ke arah ruang musik. Tangannya terulur untuk membuka kenop pintu secara perlahan. Matanya membulat ketika melihat seorang gadis yang pernah ia lihat waktu lalu. Gadis itu tersungkur di lantai dengan kondisi berantakan dan menangis. Kailee langsung masuk dan menghampiri gadis itu.
Brak
Tiba-tiba pintu tertutup, Kailee terkejut karena suaranya sangat kencang. Ia menatap gadis itu dengan khawatir, “Lo gapapa?” tanyanya. Gadis itu menggeleng pelan. Kailee melirik name tag gadis itu. Tertulis nama Amara Jeanne di name tag gadis itu. Akhirnya Kailee tahu siapa namanya, karena selama ini Kailee selalu mencari-cari identitasnya.
Suara tawa seseorang entah dari mana asalnya membuat keduanya merinding. Kailee tahu kalau ini adalah suara tawa Rael. Kailee menatap ke sekeliling, hingga ada bayangan seseorang maju perlahan. Melihatkan dirinya di hadapan keduanya. Kailee berdiri dari posisi jongkoknya. Ia menatap Rael dengan tajam.
“Lo apain lagi Amara? Kali ini apa yang lo lakuin lagi ke dia, Rael?! Lo gak puas udah ambil paksa uang dia? Lo juga udah bully dia, lo mukul dia, lo nampar dia. Itu semua gak cukup buat lo?! Gila ya lo!” seru Kailee.
Rael terkejut karena Kailee tahu semua apa yang ia lakukan selama ini. Namun, beberapa detik kemudian ia terkekeh sinis. “Apa masalahnya buat kamu, Kailee? Kamu gak ada urusannya sama sekali. Jadi, berhenti ikut campur dan stop jadi jagoan!”
“Gue gak ikut campur dan gak jadi jagoan, gue cuma membela yang benar. Gue gak mau lo ngelakuin hal yang seharusnya gak lo lakuin. Tapi, lo udah lakuin, Rael. Lo harus sadar! Lo itu salah, lo gak seharusnya kayak gini. Lo ngelakuin ini tuh gak ada untungnya,” ucap Kailee.
“Ada! Aku punya keuntungan sendiri,” kata Rael. “Kamu mau tau apa keuntungannya?” Rael menatap Kailee dengan sorot mata yang sulit dijelaskan, kemudian ia menatap Amara. “Aku bisa beli apa pun meski terbatas, tapi, aku bisa beli semuanya yang aku pengen. Aku juga bisa melampiaskan semua amarah aku. Semua rasa amarahku yang aku tahan dari rumah, bisa aku lampiaskan ke dia. Aku bisa lakuin semua yang aku mau, Kailee. Kamu gak tau apa-apa tentang aku, kan? Jadi, jangan ikut campur. Karena kamu juga salah satu penyebabnya.”
Kailee mengernyitkan keningnya, ia tidak mengerti dengan pikiran Rael saat ini. Dia penyebabnya? Kailee tidak pernah merasa kalau ia melakukan suatu kejahatan terhadap Rael.
“Kamu cantik, kamu disukai banyak orang, kamu kaya raya, kamu punya banyak uang, kamu punya keluarga yang harmonis, kamu juga punya pacar yang penyayang kayak Kalilo. Hidup kamu serba kecukupan, Kailee. Aku iri sama kamu. Semenjak Papa aku bangkrut karena Papa dia berhenti kerja sama dengan perasaan Papa aku, perusahaan Papa aku jadi bangkrut! Sekarang aku gak punya apa-apa. Aku gak bisa bebas beli barang-barang yang aku pengen, aku gak bisa foya-foya, aku gak bisa ngelakuin apa pun yang aku mau kayak dulu. Aku benci hidup aku yang sekarang. Gara-gara Amara, hidup aku berantakan!” Rael mengatakannya dengan jelas, raut wajahnya yang tanpa ekspresi, sorot matanya yang tidak menunjukkan adanya kehidupan. Kailee tertegun mendengarnya. Semua yang Rael lakukan karena rasa iri dan kehidupannya yang berubah total sejak perusahaan Papanya bangkrut. Kailee merasa kalau Rael memiliki beberapa faktor seperti tekanan di rumah, mentalnya, fisik, dan batinnya.
“Aku harus apa, Kailee? Aku mau kayak dulu. Mama aku juga pergi ninggalin aku berdua sama Papa. Mama gak pernah peduli sama kita padahal di sana dia hidup bahagia, dia gak pernah mikirin anaknya sama sekali. Mama jahat! Aku pengen ikut Mama, tapi, dia gak pernah izinin aku buat ikut dia.”
“Rael–”
“Kailee, aku mau jadi kamu. Gimana caranya? Hahaha, bahkan aku selalu ngelakuin apa pun yang bisa aku lakuin agar bisa kayak kamu.”
“Rael, lo salah. Semua yang lo lakuin itu salah. Berhenti ngelakuin hal kayak gini. Itu cuma bikin lo capek dan sakit, Ra. Berhenti. Jangan nyakitin diri sendiri dan orang lain,” ujar Kailee.
“Gak mau! Aku udah enak hidup kayak gini. Lagipula Papa gak akan peduli kalau aku ngelakuin kejahatan.”
“Rael–”
“DIEM, ANJING. GUE GAK BUTUH SARAN DARI LO! LO JAHAT, KAILEE. LO REBUT SEMUANYA DAN BIKIN DIRI LO SEMPURNA. GUE JUGA MAU SEMPURNA KAYAK LO! ANJING. GUE BENCI SAMA LO, BANGSAT! GUE BAKALAN HANCURIN HIDUP LO, KAILEE!” Tiba-tiba Rael berteriak, membuat Kailee dan Amara terkejut.
Rael melangkahkan kakinya mendekati Kailee. Tangannya terulur dan mengarahkan tangannya ke leher Kailee, “Bangsat, lo harus mati! Gue benci liat lo! Brengsek.”
“Rael!” seru Kailee, ia terbatuk karena Rael mencekiknya dengan kuat. Amara berusaha untuk bangun, ia menarik lengan Rael agar Rael melepaskan cekikannya. Rael langsung mendorong Amara dan membuat gadis itu jatuh.
Beberapa detik kemudian, Rael melepaskan cekikannya. Wajahnya berubah menjadi panik. Ia menatap Kailee dan Amara bergantian, kemudian ia menatap kedua tangannya. Kailee menghirup napas sebanyak mungkin, ia menatap Rael yang menjadi panik. Kailee mendekati Rael, namun, Rael langsung mundur beberapa langkah.
“Kailee, maaf ... Maaf, aku gak bermaksud–”
“Rael, tenangin diri lo. Gue gapapa. Jangan gitu lagi, Ra. Stop ngelukain diri lo sendiri,” ucap Kailee.
Rael menggeleng dengan kuat, ia menutup kedua telinganya. Matanya berair. Gadis itu menangis. Rael menggigit kukunya, kemudian ia menatap pintu. Kailee yang melihat gelagat Rael pun kebingungan. Rael melangkahkan kakinya ke arah pintu dan membukanya, kemudian ia pergi tanpa berkata-kata.
“Lo gapapa? Mau gue obatin dulu, gak?” tanya Kailee pada Amara.
Amara menggeleng, “Gak usah, Kak. Aku gapapa. Leher Kak Kailee, gimana? Itu lehernya merah.”
Kailee meraba lehernya yang terasa sakit, ia hanya tersenyum. “Gue gapapa, Amara. Gue bantu buat obatin luka lo, ya? Sekalian kita ngobrol.”
“Kak, gue takut ....,” lirih Amara kemudian menangis.
“Tenang aja, Ra. Kita urus bareng-bareng. Asal lo mau bantu gue. Gimana?” tawar Kailee yang kemudian diangguki oleh Amara. Keduanya keluar dari ruang musik dan pergi ke UKS. Bel masuk sudah berbunyi sejak tadi, mungkin Kailee akan menyuruh teman-temannya mengizinkan dirinya untuk tidak ikut mata pelajaran. Ia harus berbicara dengan Amara untuk saat ini.