Taman dan Sebuah Pengakuan

Adira berjalan menuju taman sekolah, yang letaknya tidak jauh dari lapangan. Ia sangat gugup, jantungnya berdetak dengan kencang. Adira menggigit bibir bawahnya, ia sangat gugup.

Di taman, sangat sepi. Hanya ada beberapa orang saja yang ada di sana. Adira melihat ke sekitar, mencari-cari seseorang yang menyuruhnya datang kemari.

Matanya berhenti pada punggung sosok jangkung yang berdiri membelakanginya. Dengan ragu-ragu, Adira berjalan menghampirinya.

Jinan?” ucap Adira pelan.

Sosok itu membalikkan tubuhnya, tersenyum ke arah Adira. Senyum yang selalu Adira dambakan, kini Adira bisa melihatnya dalam jarak dekat.

Adira Carola?” tanya Jinan.

Adira hanya mengangguk.

Sorry, tadi udah bikin lo tremor gitu. Gue gak bermaksud,” ucap Jinan. “Tapi, tentang omongan tadi gue serius.

Bentar deh, gue gak paham. Kenapa lo tiba-tiba bilang gitu?” tanya Adira.

Jinan terkekeh, “gue sekalian mau ngaku deh. Pertama kali gue liat lo itu pas gue lewat kelas lo, gue gak sengaja liat lo yang lagi liatin gue. Terus pas lo lewatin kelas gue sambil curi-curi pandang, gue tau itu. Terus dari sana, gue mulai penasaran sama lo. Gue tanyain semua tentang lo sama Mahes. Apa yang lo suka dan apa yang nggak lo suka. Meski Mahes gak tau semua tentang lo, tapi gue jadi tau tentang lo.

Adira hanya terdiam mendengar penuturan Jinan. Ia sangat terkejut, kakinya melemas. Adira merasa kalau dirinya tidak sanggup berdiri, ia berubah menjadi jelly.

Adira, gue si anon. Gue yang selalu nitipin makanan atau minuman ke Mahes. Gue gak berani ngasih secara langsung ke lo, gue emang pengecut,” ucap Jinan.

Kenapa lo lakuin itu ...?” tanya Adira.

Karena gue mau berusaha, meski usaha gue cuma kayak gini. Soalnya gue gak berani deketin lo langsung,” balas Jinan.

Ah, oke-oke. Makasih penjelasannya, makasih juga buat semua makanan dan minuman yang lo kasih ke gue. Gue gak kepikiran kalau itu dari lo, soalnya ya ... Gak mungkin kalau itu dari lo,” ujar Adira.

Jinan tersenyum, “dan soal yang di lapangan tadi, gimana?

Adira mengernyit bingung, “gimana apanya?

Lo mau jadi pacar gue?” tanya Jinan.

Sebenarnya Jinan juga merasa gugup. Ia takut kalau Adira akan menolaknya. Tapi, Jinan akan menerima apapun jawaban Adira dengan lapang dada.

Gue masih kaget sama pengakuan lo. Dan kayaknya buat jadi pacar lo, itu terlalu kecepetan,” kata Adira.

Adira yang melihat raut wajah Jinan berubah menjadi sedih, langsung melanjutkan kalimatnya.

Maksud gue, kita deketan aja dulu. Saling kenal satu sama lain, biar pas pacaran gak bingung gitu ...” Adira berkata demikian.

YES! Gapapa kok, gapapa. Jadi ... Kita pdkt dulu?” Jinan menatap Adira dengan sumringah.

Adira mengangguk, ia ikut tersenyum melihat Jinan yang sangat kesenangan.

Oke, pdkt nya kita mulai hari ini. Gue bakalan nungguin sampe lo siap jadi pacar gue,” kata Jinan. “Nanti pulangnya sama gue. Ayo, gue anter ke kelas.

Jinan mengantar Adira ke kelasnya. Keduanya sedang dalam suasana hati yang senang. Jinan dan Adira tidak berhenti tersenyum, apalagi daritadi Jinan menahan diri untuk tidak berteriak di koridor. Sedangkan Adira, mati-matian gadis itu menahan itu tidak tersenyum terlalu lebar.