This is my fault; No, this is God's destiny.

tw // harsh words , death , blood , fight , tamparan , pukulan.

Flashback

Killa menghampiri Aksara yang sedang duduk di depan kamar jenazah. Sekarang mereka sedang berada di rumah sakit. Keisha sudah pulang bersama Mamanya, anak itu menangis meraung-raung memanggil Bundanya. Teman-teman Aksara datang untuk menemani Aksara, mereka duduk berada tak jauh dari Killa dan Aksara.

Killa duduk di samping Aksara yang sedari tadi terdiam. Aksara menatap kedua tangannya yang berlumuran darah, bajunya juga terkena darah dari Bundanya. Tatapannya kosong. Daksanya terlihat lemas. Raganya masih berada di sini, jiwanya entah pergi ke mana. Rasanya sangat nestapa.

“Bunda ...” lirih Aksara. Ia menatap ke sekitarnya bak orang linglung. Berdiri dari duduknya, memanggil Bundanya.

Killa memegangi tangan Aksara yang hendak pergi. Aksara menatap Killa dengan mata berkaca-kaca. Dirinya sudah kacau. Dia tidak terima dengan apa yang sudah terjadi dengan Bundanya. Aksara menangis. Teman-teman Aksara memperhatikan keduanya, berjaga-jaga jika Aksara melakukan hal nekat.

“Kil, Bunda mana? Bunda masih diobatin, kan? Bunda bakalan gapapa, kan? Bunda bakalan baik-baik aja. Bunda itu kuat, Kil. Bunda gak bakalan pergi ke mana-mana,” ucap Aksara menggebu-gebu. Ia menggenggam tangan Killa, matanya menatap Killa dengan memelas.

Killa mengulum bibirnya, ia merasa sangat sakit hati ketika Aksara berucap demikian. Dadanya terasa sesak. Aksara belum bisa menerima kejadian tadi.

“Sa, Bunda udah pergi ...” ucap Killa.

Aksara mengerutkan keningnya, ia menghempaskan tangan Killa yang ia genggam. “Kamu ngomong apa, sih?! Bunda masih ada! Kamu gak usah ngomong aneh-aneh.” Suaranya naik satu oktaf, membuat Killa terkejut.

“Aksa ...” lirih Killa.

Derap langkah kaki seseorang memenuhi koridor rumah sakit yang sepi. Killa mundur beberapa langkah karena tubuhnya terdorong. Matanya membulat begitu mengetahui siapa yang datang.

Buagh

“Dasar anak sialan!”

Badan Aksara tersungkur di lantai. Laki-laki itu hanya diam, tidak melawan sama sekali. Dirinya sudah sangat lemas, ditambah Ayahnya malah memukul dirinya dan mengatainya anak sialan.

“Aksa!” teriak Killa, ia menghampiri Aksara dan membantunya untuk berdiri.

“Kenapa Bunda bisa kayak gini?! Kenapa, Aksara?! Kenapa kamu bikin Bunda pergi jauh?! Kamu gak kasihan sama Ayah?!” seru Prabu dengan suara yang keras.

Koridor rumah sakit yang tadinya sepi, kini dipenuhi suara bentakan dan teriakan dari Prabu. Jelas dia merasa kaget dan kehilangan. Dia merasa kaget ketika berada di kantor mendapat kabar duka mengenai istrinya. Hatinya terasa dicabik-cabik. Tanpa berpikir lama, ia langsung datang ke rumah sakit. Diotaknya hanya satu nama; Aksara. Anaknya sendiri. Prabu menduga kalau Aksara yang menyebabkan semua ini. Padahal ini bukan kesalahan Aksara, Keisha, atau siapapun.

“Kenapa kamu gak tolongin Claire?! Kenapa kamu malah biarin dia tertabrak mobil?! Kenapa, Aksara?!” teriak Prabu. Matanya sudah memerah, sama seperti Aksara.

Aksara mendongakkan kepalanya, menatap sang Ayah dengan tajam. “Aku udah lari sekencang mungkin buat tolongin Bunda! Tapi, semuanya udah terlambat! Ini bukan salah aku!” teriak Aksara.

“Ini salah kamu!”

Buagh

Pukulan kembali dilayangkan ke wajah Aksara. Aksara menyentuh pipinya yang terasa nyeri, sudut bibirnya sudah berdarah. Killa menangis ketika melihat kekasihnya dipukul oleh Ayahnya sendiri. Ia menatap Aksara yang sudah babak belur. Aksara menatap Killa, menangkan gadis itu agar tidak panik. Ia tersenyum pada Killa. Kemudian ia menatap Ayahnya dengan tatapan marahnya.

“Aksara udah bilang, ini bukan salah aku! Orang-orang udah teriak nyuruh Bunda minggir, tapi Bunda gak denger! Semuanya terjadi gitu aja. Dan ini bukan kemauan Aksara, Ayah. Aksara juga gak mau kayak gini! Aksara juga sedih. Aksara juga kehilangan, bukan cuma Ayah doang yang merasa kehilangan! Apalagi Keisha yang juga ada di sana. Ayah gak bisa seenaknya nuduh aku penyebab semua ini! Aksara baru tahu, ada seorang Ayah yang mukul anaknya karena tuduhan dari otaknya yang disimpulkan sendiri! Ayah egois! Aksara benci Ayah!”

Setelah berucap demikian, Aksara menarik lengan Killa untuk pergi dari sana. Meninggalkan Ayahnya yang terdiam tanpa berkata-kata. Killa berusaha untuk menyeimbangi langkah Aksara yang tergesa-gesa. Teman-teman Aksara juga mengejar Aksara dan Killa yang sudah pergi dari sana.

“Maafkan Ayah, nak ...”


Suasana di rumah duka tampak ramai dengan orang-orang yang datang untuk ikut mendoakan. Pemakaman sudah dilakukan satu jam yang lalu. Keisha berada di rumah neneknya untuk menenangkan diri dan disembuhkan dari rasa trauma karena melihat kejadian yang seharusnya tidak ia lihat, meski ia tidak melihat secara langsung kejadiannya. Hanya kejadian Bundanya yang berlumuran darah, membuatnya merasa takut dengan darah dan kata darah.

Saat ini Killa sedang menemani Aksara yang termenung di kamarnya. Killa meletakkan segelas air di meja nakas yang berada di samping kasur Aksara. Gadis itu mendudukkan dirinya di samping Aksara, mengusap bahu laki-laki yang kini suasananya hatinya sedang bersedih.

Aksara menolehkan kepalanya, ia langsung memeluk Killa dengan erat. Killa mengusap punggung Aksara dengan lembut, laki-laki itu menangis lagi di bahunya, di pelukannya. Killa membiarkan kekasihnya menangis lagi, meski Aksara sudah menangis terlalu banyak. Aksara menyembunyikan wajahnya di ceruk leher Killa, tangannya memeluk erat tubuh Killa.

“Sa, jangan nangis lagi. Pasti Bunda sedih kalau kamu nangis terus kayak gini,” bisik Killa.

“Ini semua salah aku, Kil. Harusnya aku gak biarin Bunda nyebrang buat beli es krim,” ucap Aksara sambil terisak.

“Kamu ngomong apa, sih? Ini bukan salah kamu. Bukan salah Keisha juga. Ini bukan salah kalian berdua,” ujar Killa. Ia mengusap rambut Aksara, tangannya yang satunya masih setia mengusap punggung rapuh kekasihnya.

This is my fault,” lirih Aksara.

No, this is God’s destiny,” ucap Killa.

Entah berapa lama Aksara menangis di pelukan Killa. Sekarang Killa merasa pegal dengan posisi mereka yang seperti ini. Hingga akhirnya Aksara mengangkat kepalanya. Menunjukkan wajahnya yang berantakan, rambutnya kusut, matanya membengkak, hidungnya memerah, pipinya yang basah karena air mata. Killa mengambil segelas air yang tadi ia bawa, memberikannya pada Aksara. Laki-laki itu meminumnya hingga habis tak tersisa.

“Aksa, dengerin aku. Ini bukan salah kamu, bukan salah Keisha, ini takdir Tuhan. Kita gak pernah tahu kapan Bunda pergi, jadi jangan nyalahin diri kamu. Karena kamu gak salah. Kamu jangan terus-terusan kayak gini. Aku gak mau lihat kamu kayak gini, Sa. Mana kamu yang jago berantem? Mana Aksara yang suka jahilin adiknya? Mana Aksara yang sukanya bikin aku kesel? Mana Aksara yang kuat? Jangan nangis, ya? Kamu boleh ngerasa sedih, karena aku juga sedih, Sa. Kamu boleh nangis, tapi kamu udah kebanyakan nangis. Jangan nangis lagi, ya? Bunda pasti sedih lihat kamu kayak gini. Kamu harus bangkit. Jangan terlalu lama menjadi rapuh. Kamu juga harus bantu Keisha buat hilangin traumanya, kan? Tunjukin ke Bunda kalau kamu anaknya yang hebat. Kamu gak sendirian, ada aku di sini. Aku bakalan selalu di sini sama kamu,” ucap Killa. Matanya menatap manik Aksara yang memerah. Aksara menundukkan kepalanya, karena merasa ucapan Killa itu benar adanya. Ia kembali mendongakkan kepalanya, menyunggingkan sedikit senyumnya.

“Makasih, ya? Makasih banyak, sayang. Aku gak tahu apa yang bakalan aku lakuin kalau gak ada kamu. Kamu jangan ke mana-mana, di sini aja sama aku. Udah cukup aku kehilangan Bunda, aku juga gak mau kehilangan kamu, Keisha, sama yang lainnya. Sama aku terus, ya?” ucap Aksara.

Killa tersenyum, lalu ia menganggukkan kepalanya. “Iya, Aksa. Kita bareng-bareng terus, ya?”

Aksara tersenyum. Ia kembali memeluk Killa. Kini ia tidak menangis lagi. Dihembuskan napasnya dengan berat. Mengucapkan janji-janji yang akan ia tepati nantinya untuk Killa dan untuk Bundanya. Berdoa agar setelah ini ia bisa menjadi orang yang kuat seperti yang dikatakan Bundanya dan Killa. Aksara tidak boleh menjadi anak lemah. Ia masih punya tanggung jawab yang besar. Aksara hanya berharap, kehidupannya dipenuhi oleh kebahagiaan setelahnya.