To my friends, thank you for being my friend and thank you for all the memories.

See you in the next life, I want us to remain friends. Let me rest. I love you guys so much.

Sekarang tepat pukul tujuh malam, Arina sedang berbaring di atas ranjang rumah sakit. Ia sedang menonton TV. Jihoon sedang duduk di sofa sambil bermain game di ponselnya, sedangkan Asahi sedang mengerjakan tugas di laptopnya. Arina merasa cukup bosan karena ia hanya bisa menonton TV saja. Ia belum boleh banyak bergerak.

Arina mengambil ponselnya saat ada notif masuk dari temannya. Mereka berdua sudah ada di lobby rumah sakit. Lantas Arina memanggil Jihoon.

Kak Ji, mereka udah sampai di lobby,” kata Arina.

Jihoon mengangguk, “tunggu mereka masuk ke sini dulu. Nanti gue sama Asa keluar.” Arina hanya mengangguk, ia tidak sabar untuk bertemu dengan teman-temannya.

Tidak lama kemudian, pintu ruang rawat Arina terbuka. Ada Reina dan Yedam yang tersenyum lebar ke arahnya. Reina lantas berlari mendekati Arina dan memeluk sahabatnya dengan Arina. Arina terkekeh di pelukan Reina, sedangkan Reina sudah menangis. Yedam juga ikut mendekati Arina dan memeluknya. Ia memberikan satu buket bunga mawar yang di belinya tadi.

Nih, bunga mawar buat lo. Kita gak bawa apa-apa, soalnya kata lo kita gak usah bawa apapun,” ucap Yedam.

Arin tersenyum, ia mengambil buket bunganya dengan hati-hati. “Makasih, Dam! Bunganya cantik.

Arina, gue sama Asa nunggu di luar, ya? Nanti kalau ada apa-apa, panggil gue aja,” sela Jihoon. Arina mengangguk. Kini di ruangan hanya tersisa Arina, Reina, dan Yedam.

Gimana kabar kalian? Kuliah lancar?” tanya Arina.

Lancar kok, cuma ya sepi aja gak ada lo. Mana gue setiap hari sendirian mulu, gak ada temen,” balas Reina dengan wajah cemberut.

Arina tertawa, “kan ada Yedam.

Males ah sama dia. Di suruh nganterin ke kampus aja gak mau,” kata Reina.

Yeee, lo nya aja yang ngomongnya dadakan! Ya gue gak mau, lah!” sahut Yedam dengan kesal.

Gue udah bilang pas malemnya ya, anjir! Lo nya aja yang lupa,” sungut Reina.

Udah woy, malah ribut,” lerai Arina. “Kalian rencananya setelah wisuda, mau ngapain?” tanyanya.

Gue pengen kerja, pengen nerusin butik Mama. Biar gue bisa buat baju-baju juga, gue kan suka bikin desaign baju gitu. Rencananya sih kalau bisa, gue mau buka butik sendiri. Nanti butiknya Mama di urus sama adeknya Mama,” ucap Reina dengan nada yang antusias.

Arina tersenyum, “wah, keren dong! Desaign lo bagus-bagus, gue kan pernah liat tuh. Pasti orang-orang bakalan suka sama baju-baju yang lo keluarin. Lo pasti bisa kok!

Huhuhu, gue pikir desaign baju gue masih kurang bagus. Nanti gue bakalan bikin baju buat kita berdua! Baju couple. Ntar si Yedam gue bikinin khusus deh,” kata Reina.

Arina hanya tersenyum, ia menengok ke Yedam yang sedari tadi hanya diam. “Kalau lo, Dam? Lo mau ngapain habis wisuda?

Emmm, apa yaa. Gue pengen punya caffe gitu, biar kita bisa ngumpul di caffe gue. Terus gue juga mau lanjutin perusahaan Ayah gue, sih. Beliau yang kasih amanat ke gue buat nerusin perusahaannya,” balas Yedam.

Arina bertepuk tangan dan memberikan kedua ibu jarinya kepada kedua temannya, “wow, keren banget! Pokoknya lo harus bisa bangun caffe, terus nanti caffe lo jadi terkenal. Dan lo juga harus bisa handle perusahaan Ayah lo!

Kalau lo, Na? Lo mau ngapain? Kan kita udah, nih. Sekarang giliran lo,” kata Reina.

Ah, gue belum punya rencana, sih. Belum gue pikirin,” jawab Arina dengan senyum kikuk.

Mereka bertiga mengobrol banyak hal. Semuanya mereka bicarakan. Kehidupan Reina dan Yedam saat Arina masih kritis, kehidupan di masa depan, rencana mereka bertiga ke depannya. Meski Arina tau kalau ia pasti tidak akan bisa menepati janji mereka. Karena Arina sudah tau kalau saat itu, ia sudah tidak ada di sini.

Jam sudah menunjukkan pukul 8 malam. Ketiganya masih asik berbicara, hingga suara batuk Arina membuat mereka menghentikan obrolannya. Reina dan Yedam terlihat khawatir. Tetapi Arina menunjukkan raut wajah kalau ia baik-baik saja.

Gue gapapa kok,” kata Arina.

Gue kaget, kirain lo kenapa-napa,” ucap Yedam.

Gue cuma batuk doang.” Arina tertawa.

Na, lo gapapa? Beneran gapapa?” tanya Reina.

Arina mengangguk, “gue mau ngomong deh sama kalian.

Reina dan Yedam saling berpandangan, seakan-akan mata mereka bisa berbicara. Keduanya mengangguk dan memperhatikan Arina. Mereka berdua menunggu kalimat yang akan keluar dari mulut Arina. Meski mereka berdua takut. Tapi mereka berusaha untuk terlihat baik-baik saja.

Kita udah temenan sejak kapan, sih? Sejak SMA, ya? Lama juga. Udah hampir 6 tahun? Kalian gak bosen nih temenan sama gue? Kalau gue sih enggak, soalnya kalian temen terbaik gue!” Arina mengawali pembicaraan, ia tersenyum ke arah dua temannya. “Kalau di inget-inget, ada banyak hal yang kita rencanain. Tapi kita belum bisa wujudkan itu semua karena kita sibuk. Gimana kalau kalian berdua aja yang mewujudkannya?

Na, apaan, sih?! Kan ini rencana kita bertiga, harusnya kita bertiga yang mewujudkan!” Reina bersuara dengan nada yang tinggi, sekaligus serak. Ia menahan tangisnya. Yedam mengusap bahu Reina, menyuruh Reina untuk tetap tenang.

Gue gak bisa. Kalaupun gue bisa, sekarang gue pasti ada di rumah, bukan di sini.” Arina menghela nafasnya, “gue masih inget banget pas kita pertama kali ketemu, gue gak bakalan lupain itu. Kalian baik banget sama gue, kalian udah bantuin gue banyak hal, kalian udah mau temenan sama gue. Gue kira kalian bakalan jauhin gue gara-gara gue punya gagal ginjal, yang pastinya bakalan ngerepotin orang lain.

Kalian tau gak sih, setiap hari gue mikirin kalian berdua. Gue mikirin, gimana kalau nanti gue udah gak ada, kalian bakalan tetep temenan atau malah saling menjauh buat nenangin diri masing-masing. Tapi gue yakin kalau kalian bakalan tetep temenan, meski kalian butuh waktu buat menyendiri.

Reina dan Yedam mendengarkannya dengan hati yang pilu. Reina sudah menangis sejak awal, ia menangis dengan kencang. Yedam hanya bisa menahan tangisannya, meski ia ingin sekali menangis. Tapi Yedam menahannya, karena ia harus terlihat kuat.

Makasih banyak buat Reina sama Yedam yang udah mau temenan sama gue sampai sekarang. Gue sayang banget sama kalian, meski ini cringe banget. Tapi gue beneran sayang sama kalian. Walau gue keliatan ogah-ogahan kalau di suruh nunjukin kasih sayang. I'm lucky to know you two, I'm also lucky to be friends with both of you. Selama ini kita udah ngelakuin banyak hal, kita udah bikin banyak kenangan yang gak bakalan gue lupain. Kalian itu best support system gue.

Rei, katanya lo mau jadi desainer? Lo mau punya butik sendiri? Ayo buktiin ke diri lo sendiri kalau lo bisa. Desaign lo bagus-bagus, gue jamin deh semua orang suka sama desaign yang lo buat. Nanti kalau lo udah punya butik sendiri, jangan lupa kasih tau gue, haha. Oh iya, nanti kalau lo udah wisuda, gue pasti bakalan dateng kok. Gue juga pasti bakalan peluk lo pas wisuda nanti!

Dan lo, Dam. Gue yakin kalau lo bisa nerusin perusahaannya Ayah lo, lo juga pasti bisa bangun caffe impian lo. Gue harap sih caffe lo di kenali banyak orang, biar semua orang tau kalau temen gue ini hebat bisa ngehandle caffe sama perusahaan!

Arina menghela nafasnya, ia tidak sanggup berbicara lagi karena pipinya sudah banjir air mata. Begitupun dengan Reina dan Yedam yang sudah menangis sesenggukan.

Maaf banget gue baru ketemu kalian malem ini, padahal gue masih pengen lebih lama sama kalian. Tapi gue capek. Gue udah gak bisa lagi, Rei, Dam.

Lo jangan asal ngomong! Lo pasti bisa bertahan kok, lo pasti sembuh!” ujar Yedam.

Gue bakalan marah banget sama lo kalau lo ngomong kayak gitu lagi,” ucap Reina.

Arina tersenyum, “marah aja, gapapa. Karena emang nyatanya gue gak bakal bisa sembuh, gue juga gak sanggup buat bertahan lagi. Sakit. Rasanya sakit setiap kali gue buat nahan.

Gue percaya sama kalian berdua, kalian pasti bisa menjalani kehidupan yang lebih baik ke depannya. Kalian pasti bisa bahagia di masa depan nanti! Pokoknya jangan lupain gue. Kalian harus inget Arina, temen kalian berdua. Awas aja ya kalau kalian lupain gue!” ucap Arina.

Reina dan Yedam langsung memeluk Arina dengan erat. Ketiganya berpelukan cukup lama. Mereka menangis, tangisan yang terdengar pilu. Mereka merasakan sesak di saat yang sama. Reina dan Yedam yang merasa hatinya hancur saat sahabatnya mengucapkan kata-kata yang membuat mereka menangis. Reina dan Yedam tau kalau akan tiba saatnya momen ini.

Momen ketika mereka harus mendengarkan kata-kata dari sahabatnya, yang mungkin bisa menjadi kalimat terakhir yang mereka dengar. Suara yang mereka dengar untuk terakhir kalinya. Dan hanya tersisa kenangan.

G-gue mau n-ngomong sama k-kak Ji sama kak A-Asa,” ucap Arina dengan terbata-bata. Nafasnya tersendat entah karena ia banyak menangis atau karena hal lain.

Reina dan Yedam harus merelakan pelukannya terlepas, keduanya berusaha untuk tersenyum untuk Arina. Mereka harus terlihat tegar, mereka tidak boleh sedih. Meski melakukan ini dengan terpaksa membuat mereka berdua tersiksa, tapi ia tidak ingin Arina ikut sedih.

Na, janji sama gue kalau lo harus nunggu gue. Janji sama gue kalau lo juga bisa bahagia, lo senyum terus, gak boleh sedih! Kalau lo langgar janjinya, gue bakalan marah banget sama lo,” ucap Reina.

Kalau gue panggil nama lo, lo harus muncul, ya? Setidaknya lo nunjukin kalau lo ada di dekat gue. Kayak lo harus berkedip pas gue liat bintang,” ujar Yedam.

Arina terkekeh, “iyaa, gue janji sama kalian. Sekarang boleh panggil kak Ji sama kak Asa?

Reina dan Yedam mengangguk. Keduanya keluar dari ruangan dengan wajah sembab. Jihoon dan Asahi sontak bertanya-tanya pada mereka berdua atas hal yang terjadi. Reina dan Yedam tidak menjawabnya, keduanya hanya diam. Yedam menyuruh Jihoon dan Asahi masuk ke dalam ruangan. Jihoon dan Asahi pun masuk ke dalam ruangan dengan hati yang berdebar. Keduanya berusaha untuk tersenyum di hadapan Arina.