We need each other.

Saat ini Aksara dan Killa berada di alun-alun kota Bandung. Sebelum kemari, keduanya pergi ke salah satu cafe untuk membuat keadaan hati Killa sedikit lebih baik. Kalau kata Killa, Aksara itu selalu mempunyai berbagai cara untuk membuat Killa bahagia dan tersenyum. Apapun caranya, Aksara akan melakukannya. Hanya untuk Killa, Killa, dan Killa.

Aksara duduk di samping Killa, memberikan permen kapas berwarna biru yang ia beli. Killa menerimanya dengan senang hati. Senyumnya langsung terukir di wajahnya. Aksara tersenyum melihat Killa yang sangat senang dan membuka bungkus permen kapasnya dengan terburu-buru.

Gadis itu mengambil satu jumput permen kapas dan memasukannya ke dalam mulut. Aksara hanya menatap gerak-gerik Killa, tanpa berniat untuk berbicara atau meminta permen kapasnya. Aksara mengalihkan pandangannya pada langit di atasnya. Bintang-bintang tidak bertebaran di langit. Hanya ada kegelapan di atas sana.

“Sa, kamu mau, gak?” tanya Killa, tangannya sudah berada di depan mulut Aksara.

Aksara menggeleng, “buat kamu aja, neng.”

“Ih, kamu juga dong. Masa aku doang yang habisin?” ucap Killa sambil cemberut.

Aksara terkekeh, ia meraih tangan Killa dan memasukkan permen kapas ke dalam mulutnya. Permen kapas itu langsung rapuh di dalam mulutnya dalam sekejap. Hanya tersisa rasa manis di lidahnya. Killa menyuapi Aksara hingga permen kapas itu habis tak tersisa.

Kini keduanya terdiam satu sama lain. Tidak ada pembicaraan diantara keduanya. Mereka berdua sibuk menatap langit yang padahal hanya ada kekosongan, tidak ada apapun di sana. Namun, mereka tidak mengalihkan pandangannya dari langit di atas sana.

Aksara menundukkan kepalanya, tangannya meraih tangan Killa dan menggenggamnya. Killa sontak menatap Aksara yang kini tersenyum ke arahnya. Seketika hatinya menghangat melihat senyum yang menjadi favoritnya.

“Capek, ya?” tanya Aksara.

Killa mengernyitkan keningnya, “maksud kamu?”

“Iya kamu capek, kan? Kamu capek batin, capek sama diri sendiri, capek sama semuanya. Iya, kan?” ucap Aksara.

Killa langsung tercekat. Lidahnya mendadak kelu, dadanya terasa sesak. Air matanya berlomba-lomba untuk keluar, namun gadis itu menahannya agar tidak membasahi pipinya.

“Se-capek apapun kamu sama dunia, jangan menyerah, ya? Kamu masih punya masa depan dan kehidupan yang panjang. Menyerah bakalan bikin kamu nyesel karena kamu gagal buktiin ke dunia kalau sebenarnya kamu kuat. Kil, aku selalu di sini kok sama kamu. Selalu. Aku bakalan terus ada di sini sama kamu, di samping kamu terus, aku gak bakalan ninggalin kamu. Kecuali kamu yang nyuruh aku pergi,” ucap Aksara dengan kedua tangannya yang menggenggam tangan Killa. Kini keduanya saling berhadapan, menatap manik satu sama lain.

“Aku gak bakalan nyuruh kamu pergi ...” lirih Killa.

“Semuanya bisa berubah kapanpun. Mungkin sekarang kamu gak nyuruh aku pergi, tapi bisa aja suatu saat nanti kamu nyuruh aku pergi,” kata Aksara.

“Sa, aku gak tahu harus gimana lagi. Aku udah capek dengerin mereka berantem terus. Semuanya mereka jadiin sumber masalah. Padahal menurut aku, hal itu bukan masalah yang perlu dibesar-besarkan. Terus kenapa mereka kayak gitu?” Killa mulai mengeluarkan semua unek-uneknya yang sudah ia simpan beberapa bulan ini. Dirinya sudah tidak sanggup menyimpan semuanya sendirian. Bertanya-tanya pada dirinya sendiri, namun dirinya juga tidak kunjung menemukan jawabannya.

“Kamu tahu kan orang tua kalau marah itu gimana? Semuanya bakal jadi sasaran amarahnya. Jadi, ya ... Gitu deh,” sahut Aksara. “Kamu jangan nangis sendirian lagi di kamar malam-malam. Kamu punya aku. Telpon aku aja kalau mau nangis, aku bakalan nemenin kamu. Atau nanti aku ajak kamu keluar keliling Bandung naik motor biar kamu gak nangis.”

“Kenapa kamu selalu bilang ke aku buat gak nangis? Aku juga pengen nangis, Sa ...” tanya Killa.

Aksara terkekeh, “karena aku tahu gimana rasanya nangis setiap hari. Rasanya gak enak, nyesek banget, capek juga. Makanya aku nyuruh kamu buat gak nangis. Kalau kamu bisa luapin tangisan kamu dengan ngelakuin hal-hal yang lain, kenapa enggak?”

Sekarang tangisan Killa pecah. Gadis itu menangis sesenggukan. Kepalanya menunduk, tangannya masih berada di genggaman Aksara. Laki-laki itu hanya diam membiarkan Killa menangis. Menatap bahu dan punggung gadisnya yang bergetar. Aksara melepaskan genggamannya, tangannya terulur untuk mengusap punggung Killa. Kemudian ia menarik gadisnya ke dalam pelukannya.

I won't let you cry alone like this, we need each other. Nangis sepuasnya, nangis sekencang yang kamu mau,” ucap Aksara.

Maka semakin kencang tangisan Killa. Jam sudah berlalu dan malam semakin larut. Alun-alun pun kini sudah semakin sepi. Aksara tidak lagi mendengarkan suara tangisan dari Killa. Ia melepaskan pelukannya. Dilihatnya wajah Killa yang memerah, Aksara tertawa pelan. Diusapnya pipi gadisnya. Merapihkan surai milik Killa yang berantakan.

“Udah nangisnya? Mau aku cium, gak?” gurau Aksara.

Killa menatap Aksara tajam, “apa, sih!”

Aksara tertawa, “bercanda, sayang. Sekarang udah mau pulang?” Killa mengangguk sebagai jawaban.

Aksara berdiri dari duduknya, membantu Killa untuk berdiri. Keduanya kembali ke motor Aksara yang terparkir tidak jauh dari tempat keduanya.

“Mau pegangan atau aa’ pegangin?” tanya Aksara ketika keduanya sudah berada di atas motor.

“Pegangan sendiri!” seru Killa kemudian melingkarkan tangannya di pinggang Aksara.

Aksara terkekeh, ia menjalankan motornya ketika Killa sudah berpegangan pada pinggangnya. Lebih tepatnya memeluknya. Keduanya melewati jalanan yang mulai sepi karena sudah larut malam. Aksara akan mengantar Killa pulang dengan selamat tanpa ada lecet sedikitpun.