You can cry, you did well
Nathan memasukkan password apartment Anora dengan terburu-buru. Tangannya menggenggam paper bag berisi cake yang baru ia beli. Setelah terbuka, Nathan langsung masuk ke dalam. Laki-laki itu masuk ke dalam Anora, melihat isi kamarnya yang terlihat berantakan. Nathan melihat Anora yang duduk di dekat ranjangnya sambil menelungkupkan kepalanya di atas kakinya yang ditekuk.
Nathan mengisyaratkan Mimi untuk keluar, ia juga memberikan salah satu paper bag untuk Mimi. Setelah Mimi berpamitan, Nathan mendekati Anora. Ia meletakkan tasnya di lantai, kemudian duduk di samping kekasihnya.
Dilihatnya bahu yang bergetar itu, Nathan menjadi tidak tega. Ia menepuk bahu Anora dan mengusapnya, “Hey,” sapanya dengan suara pelan.
Anora mendongakkan kepalanya. Wajahnya sudah berantakan. Rambutnya yang terlihat acak-acakan—tapi masih terlihat cantik di mata Nathan—, hidungnya yang memerah, dan matanya yang sudah bengkak. Anora sedikit terkejut melihat Nathan di sampingnya. Gadis itu langsung memeluk kekasihnya, kembali menangis di pelukan sang lelaki. Nathan mengusap rambut Anora dan menepuk punggung Anora, memberikan kata-kata penenang untuk gadis yang berada di dekapannya.
“Hey, it's okay. You can cry as much as you want. Kamu berhak nangis,” bisiknya.
“N–nath, nilai presentasi aku ... Aku gak dapet nilainya. File-nya dihapus, aku gak tau kenapa dia ngelakuin itu. Aku gak ada salah sama dia.” Anora bercerita sambil terisak-isak. Sedangkan Nathan hanya diam, mendengarkan dengan seksama. Tangannya masih setiap mengusap rambut Anora.
“Padahal nilai itu penting. Aku kecewa sama diriku sendiri. Aku begadang buat bikin file itu, tapi, malah dihapus sama dia.”
“Kapan dia hapus file-nya? Waktu kamu di kelas?” tanya Nathan.
Anora menggeleng, “Waktu itu aku lagi ke toilet. Terus ada yang bilang ke aku kalau dia hapus file presentasi aku. Kita juga sempet berantem tadi.”
“Is he a boy or a girl?” tanya Nathan.
“Emm, boy,” jawab Anora.
“What?! Why would he do that to a girl? Isn't he a loser? Dia ngelakuin itu semua biar dia gak sendirian dapet nilai jelek. Orang kayak gitu harus dapet pelajaran, sayang. He must be punished,” omel Nathan. Ia tak terima jika orang yang melakukannya adalah seorang laki-laki. Laki-laki mana yang bersikap cupu dan melakukan itu semua pada kekasihnya? Jelas Nathan tidak terima.
“Jangan marah ....,” lirih Anora. Gadis itu tau kalau kekasihnya sedang marah.
“Who doesn't get mad when someone makes my girl cry?” ucap Nathan dengan ketus.
“Aku gak kenapa-napa, cuma sedih aja karena gak dapet nilai,” ucap Anora meyakinkan Nathan.
“Tapi, kamu nangis, sayang. Aku gak tega liat kamu nangis gini. Seenggaknya aku harus bilang ke dia, lah,” ujar Nathan.
“You don't need to do that, Nath. I can handle it alone. Aku bisa minta dosenku buat kasih kesempatan, aku bisa kerjain ulang, terus presentasi di depan kelas, habis itu semua masalah selesai. Gak ada yang perlu diperpanjang,” ujar Anora.
“Terserah,” ucap Nathan. Ia mengusap pipi Anora yang basah. Kemudian dirinya berdiri, “Aku beliin cake buat kamu. Dimakan, ya?” Nathan menunjuk paper bag di atas kursi dekat meja belajar Anora.
“Kamu mau ke mana?” tanya Anora yang melihat Nathan berjalan ke arah pintu kamarnya.
Nathan menolehkan kepalanya, “Aku mau bikin hot chocolate buat kamu.”
Anora menganggukkan kepalanya, ia membiarkan Nathan pergi ke dapurnya. Gadis itu meraih paper bag yang ada di atas kursi. Di dalamnya ada tiramisu cake. Anora tersenyum melihatnya. Setidaknya ia masih memiliki Nathan yang bisa membuat mood-nya membaik.