You guys hurt us!
TW // family problem , family issues , fight , berantem , blood , violence
Suara deru mobil yang memasuki pekarangan rumah terdengar oleh Arka, Killa, dan Aji yang sedang duduk di ruang keluarga. Mereka sedang menunggu orang tua mereka pulang ke rumah. Sudah menjadi kebiasaan jika orang tua mereka akan pulang, maka Arka, Killa, dan Aji akan menunggu di ruang keluarga. Menunggu sambil berharap agar tidak ada keributan yang terjadi di rumah.
Klek
Pintu rumah terbuka membuat ketiganya mengangkat kepala. Rangga dan Winda berjalan memasuki rumah dengan raut wajah yang kelelahan. Menempuh perjalanan dari Jakarta ke Bandung membutuhkan waktu yang lama dan mereka harus duduk di mobil berjam-jam. Tentunya mereka akan merasa pegal.
“Selamat datang di rumah, Mama!” sambut Aji dengan senyum antusiasnya.
Winda tersenyum, “makasih, sayang. Ini Mama belikan oleh-oleh buat kalian.” Winda memberikan paper bag berisikan oleh-oleh untuk ketiga anak-anaknya.
Semuanya langsung menyerbu. Yang paling semangat adalah Aji, laki-laki itu sangat menunggu oleh-oleh yang dibawakan orang tuanya. Senyum Aji semakin lebar ketika melihat makanan kesukaannya, ia langsung mengambilnya dengan cepat.
“Mas, istirahat dulu sana,” ucap Winda.
“Gak usah kamu kasih tahu juga aku bakal istirahat,” kata Rangga.
“Apa, sih? Aku cuma bilang aja,” sahut Winda dengan alis bertaut.
“Kamu gak usah berisik, aku pusing. Kamu mending buatin aku teh hangat,” ucap Rangga.
“Aku juga mau istirahat, pegel duduk di mobil berjam-jam,” ucap Winda. Kakinya baru saja akan melangkah ke kamar, namun Rangga menahannya. Rangga menatapnya dengan tatapan tajam. Winda malah balik menatapnya dengan tak kalah tajamnya. Dia tidak takut, dia sudah terbiasa.
“Jadi istri itu harus nurutin kata suami!” seru Rangga dengan suaranya yang lumayan keras. Membuat anak-anaknya melihat ke arah keduanya.
“Kamu masih punya dua kaki, dua tangan, lengkap pula. Kenapa kamu gak bikin sendiri aja? Kamu pikir aku gak capek?!” ucap Winda.
“Kamu ini bener-bener, ya!” bentak Rangga.
Plak
Satu tamparan keras mendarat di pipi kanan Winda, wanita itu sampai memalingkan wajahnya. Tangannya memegang pipi kanannya yang terasa panas. Mungkin sebentar lagi bekas telapak tangan itu ada di pipinya. Sudah dipastikan pasti pipinya memerah. Winda mengusap pipinya perlahan, ia menatap suaminya dengan tatapan marahnya.
“Kamu ini pasti selalu aja nampar aku! Kamu gak punya perasaan sama sekali, Mas! Kamu jahat! Kamu tega nampar aku di depan anak-anak, selalu aja kayak gini. Kamu gak bisa ngomong baik-baik. Kamu—”
Bruk
Winda terjatuh karena didorong oleh Rangga. Kepalanya terbentur meja yang berada di sampingnya, pelipisnya berdarah karena benturannya terlalu keras dan membuat kepalanya pusing. Winda meringis kesakitan sambil memegangi keningnya.
“Mama!” teriak ketiga anaknya, kemudian mereka menghampiri sang Mama yang terduduk lemas di samping meja.
“Mama, gapapa?” tanya Killa dengan raut wajahnya yang khawatir. Salah, harusnya Killa tidak bertanya seperti itu. Karena kenyataannya pasti sang Mama tidak baik-baik saja.
Winda tersenyum, “Mama gapapa.” Wanita itu masih sempat berdusta meski kepalanya terasa pusing dan pelipisnya terasa perih.
“Ma, ayo, kita obatin dulu,” ucap Aji dengan suara yang pelan. Ia ketakutan.
“Gak usah, sayang. Ini cuma luka kecil aja, paling besok sembuh,” tolak Winda.
“Cepat kamu berdiri! Buatkan saya teh hangat. Gak usah membantah lagi!” ucap Rangga.
“Iya,” ucap Winda. Ia baru saja akan berdiri, namun Killa menahannya. Killa menggeleng pelan sambil menatap wajah sang Mama. Winda tersenyum, ia mengangguk pelan.
Arka menggeram, ia mengepalkan tangannya. Dia sudah tidak bisa menahannya lagi, amarahnya sudah memuncak. Papanya sudah keterlaluan, Arka tidak bisa diam lagi. “Papa, kenapa kurang ajar banget sama Mama?! Harusnya Papa sebagai orang tua kasih contoh yang baik buat anak-anaknya! Papa malah ngasih liat gimana cara menyakiti perempuan, bukan cara melindungi perempuan. Arka gak habis pikir sama Papa!” ucap Arka dengan menggebu-gebu.
“Kamu gak usah ikut campur!” seru Rangga.
“Papa udah keterlaluan!” teriak Killa dengan matanya yang memerah, kedua tangannya yang berada di sisi kanan-kiri tubuhnya terkepal erat sampai telapak tangannya berdarah karena kukunya menembus kulit telapak tangannya. “Selama ini kami diem aja gak berani lawan Papa karena kami takut sama Papa, tapi buat kali ini Papa udah keterlaluan! Papa jahat, Papa adalah laki-laki brengsek yang pernah aku temui! Dan aku benci sama Papa!” teriak gadis itu. Perlahan-lahan air matanya mulai menurun membasahi pipinya.
“Kak, udah ...” bisik Aji. Sebenarnya ia merasa sangat takut di situasi yang seperti ini. Namun, pikirannya mengatakan kalau sebagai seorang laki-laki harus berani. Maka dari itu, Aji dengan beraninya berdiri di samping Killa dan menenangkan gadis itu.
“Kalian ini cuma anak kecil yang gak tahu apa-apa, mending kalian diem aja!” teriak Rangga.
“Papa!” Arka baru saja akan maju memukul Rangga, namun Rangga dengan cepat melempar vas bunga yang berada di meja.
Vas bunga itu melayang mengenai Killa, yang di sampingnya juga ada Aji. Keduanya terkena pecahan vas bunga itu. Terlebih lagi Killa yang keningnya terpukul oleh vas bunga itu. Gadis itu meringis kesakitan, memegang kepalanya yang terasa sakit. Ia melihat tangannya yang berdarah. Rupanya keningnya berdarah, pusing langsung melanda dirinya. Aji meringis karena tangannya terkena pecahan vas bunga. Keduanya menangis karena merasa kesakitan dan merasakan sesak yang menggerayangi dada mereka. Sakitnya luar biasa.
Killa mendongakkan kepalanya, ia menatap Aji yang menangis. Gadis itu memeluk Aji dengan erat, menenangkan adiknya yang menangis kesakitan. Meski dirinya juga merasa kesakitan. Rangga sudah pergi dari sana. Arka mendekati keduanya dengan matanya yang berkaca-kaca, dia menarik Aji dari pelukan Killa. Berniat untuk mengobati luka keduanya. Namun, Killa menolaknya. Gadis itu menatap Winda yang terduduk lemas di lantai, ia berjongkok di hadapan Winda.
“Mama, maaf. Diobatin dulu sama Kak Arka, aku mau pergi dulu dari sini. Sebentar aja, ya? Cuma sebentar aja, kok. Nanti balik lagi,” ucap Killa. Ia berdiri, menatap kakak dan adiknya. “Kak, maaf, aku serahin semuanya ke kamu. Aku mau pergi dulu dari sini, nanti aku balik lagi.”
“Tapi, luka kamu—”
“Tenang aja, Kak, nanti aku obatin,” ucap Killa sambil tersenyum. Lalu ia melangkahkan kakinya keluar dari rumah, tangannya merogoh saku piyamanya. Mengambil ponselnya dan menghubungi Aksara. Ia membutuhkan kekasihnya saat ini.