Setelah Helioz selesai tampil, Aira dan teman-temannya menjauhi panggung sambil terengah-engah karena sesak berdiri di antara banyaknya orang-orang yang datang. Ketiganya duduk di atas rumput sambil minum minuman mereka yang tersisa sedikit dan tidak dingin lagi.
“Capek, anying,” kata Ale.
“Kan lo yang ngajak ke sini,” sahut Eileen.
Ale menyengir, “Tapi, seru, kan? Gak bakal nyesel dateng ke sini.”
“Iya, sih, gak nyesel. Tapi, capek anying berdiri mulu daritadi,” ucap Aira menggerutu.
“Latihan militer berdiri berjam-jam,” kata Ale.
“Mana ada kayak gitu, bego!” seru Eileen sambil menyentil dahi Ale.
“Anjing!”
Tiba-tiba dari arah samping, Odey yang baru turun dari panggung pun menghampiri Aira dan teman-temannya. Ketiganya terkejut melihat Odey yang berdiri di sebelah Aira, apalagi Aira yang terlihat sangat terkejut. Pasalnya saat di panggung tadi, Odey terus-terusan menatapnya. Membuat dirinya salah tingkah. Untungnya Aira bisa menutupinya dengan cara pura-pura menikmati lagu-lagu mereka.
“Mau ngajak Aira ngomong sebentar, boleh gak?” tanya Odey.
Eileen mengangguk, “Boleh.”
“Anter pulang sekalian juga boleh,” sahut Ale.
Aira sontak mendelik ke arah Ale, sedangkan Ale hanya menyengir tanpa dosa.
Odey terkekeh, “Iya, nanti gua anterin pulang.”
“Eh, gak—”
Ucapan Aira terpotong karena Odey menyelanya, “Ayo, Ai.” Tangannya terulur untuk membantu Aira berdiri.
Aira meraih tangan Odey dan berdiri dari duduknya. Keduanya menjauhi Ale dan Eileen. Mereka berjalan ke sekitar belakang panggung, bertemu dengan teman-teman Odey yang tidak ia ketahui siapa namanya. Tentunya Aira hanya diam saja ketika Odey mengobrol dengan teman-temannya, entah apa yang mereka bicarakan.
“Oh, ini cewek lu, Dey?” tanya salah satunya yang berambut pirang. Tadi Odey memanggilnya dengan sebutan Bang Rusel. Mungkin ia yang tertua di sini.
Aira yang mendengarnya sontak menatap Odey, Odey yang ditatap hanya tertawa kecil.
“Bukan, Bang,” jawab Odey. “Gua balik duluan dah, mau ngomong dulu sama dia.”
“Anter pulang loh anak orang, jangan lu tinggalin.”
“Santai. Yuk, Ai.” Odey menarik lengan Aira dengan perlahan, membawanya keluar dari backstage.
“Ini kita mau ke mana?” tanya Aira.
“Jalan-jalan bentar deh. Gapapa, kan?” jawab Odey.
Aira mengangguk pelan, “Asal pulangnya gak sampai subuh. Nanti dimarahin orang tua gue.”
Odey terkekeh, “Siap.”
“By the way, ini almamater lo. Kemarin gue mau balikin ke lo, tapi, gue gak ketemu lo di kampus.” Aira memberikan almamater yang dipegangnya kepada sang pemilik.
“Thanks, almamaternya jadi wangi,” ucap Odey. Ia memasukkan almamaternya ke dalam tasnya.
“Iya, lah! Kan gue cuci.”
“Gimana tadi? Seru gak? Are you having fun?”
“Seruuuuu banget! Gue kira bosenin, karena gue jarang dateng ke festival musik kayak gini. Ternyata seru banget! Bisa nyanyi rame-rame. Penampilan band lo tadi juga keren banget! Gue gak pernah dengerin lagu-lagu kalian, sih. Tapi, lagu-lagu kalian tadi bagus-bagus,” ucap Aira dengan antusias. Matanya berbinar-binar. Odey yang melihatnya pun tersenyum.
“Lo paling suka lagu yang mana?” tanya Odey.
“Yang liriknya, ‘When I look at you, I see your pretty eyes. Then I fell in love.’ Nah, yang liriknya itu! Gue gak tau judulnya apaa huhuhu,” ucap Aira. Ia bernyanyi sesuai dengan nada yang ia dengar tadi.
Odey terdiam. Lagu itu adalah lagu yang ia buat. Lirik demi lirik yang tulis terinsipirasi dari seseorang yang selama ini ia kagumi. Ya, lagu itu spesial untuk seseorang. Meski bukan dia yang menyanyikan lagu itu, lagu itu sudah atas hak cipta namanya. Odey diam-diam tersenyum ketika Aira menyanyikan sepenggal lirik lagunya.
“Odey? Kok lo diem aja, sih?” Suara Aira membuyarkan lamunan Odey, laki-laki itu langsung tergagap.
“Oh, itu judulnya ‘Your eyes.’ Lo suka lagunya? Cari aja di Spotify, lagunya udah masuk di sana sama semua aplikasi buat dengerin musik,” ujar Odey. “Dengerin lagu-lagu yang lain juga, yang ada di albumnya.”
Aira mengangguk, “Oke! Nanti gue dengerin full satu album.”
Odey tertawa, “Makasih, ya. Lo nambah pendengar lagu-lagu kita, hahaha.”
Aira ikut tertawa, “Gue baru pemula, nih. Gue juga mau jadi Heliour deh, biar kayak temen gue. Nanti gue dengerin lagu-lagu Helioz!”
“Wah, boleh tuh. Nanti kalau kita ada tour, lo harus dateng, ya?”
“Mau, dong! Helioz belum tour, ya?”
“Sayangnya belum. Kita belum kayak penyanyi atau band lainnya. Tapi, pasti suatu saat nanti kita bakalan tour ke kota-kota.”
“Pastinya, dong! Gue yakin banget kalian bisa melambung tinggi dan dikenal satu negara Indonesia, sekalian ke negara lainnya juga! Terus nanti kalian adain tour deh. Gue bakalan maju paling depan!”
“Hahaha, aamiin. Makasih banyak, ya, Ai. Semoga aja terwujud.”
“Aamiin!”
“Eh, udah hampir jam setengah dua. Mau pulang sekarang? Gue anterin deh.”
“Loh, iya. Aduh, mana adek gue daritadi nelpon gue.”
“Sorry, gua kelamaan ngajak lo ngobrol.”
“No, it’s okay. Gue udah ngabarin dia, kok!”
“Gua anter lo pulang,” ucap Odey.
Aira yang sedang mengetik sesuatu di ponselnya pun langsung menoleh ke Odey, “Eh? Emangnya gapapa?”
Odey mengangguk, “Gapapa. Gua gak akan biarin perempuan pulang sendirian, apalagi ini udah jam segini. Gak baik perempuan pulang sendiri. Jadi, mending gua anter aja sampai rumah. Gak bakalan ada lecet atau luka deh.”
Aira tersenyum, “Lo ... love language-nya act of service, ya?”
“Kemarin gua ngecek sih iya, sama physical touch,” balas Odey.
“Wah, gila. Kayaknya gue harus kabur dari lo.”
Odey menaikkan sebelah alisnya, “Kenapa?”
“Soalnya lo bahaya banget!”
Sontak keduanya tertawa tanpa menghiraukan orang-orang di sekitar mereka yang masih berlalu-lalang.
“Jadi, mau gak gua anter pulang? Eh, gak ada penolakan deng. Ayo, gua anter.”
“Lo tau rumah gue?”
“Ya nanti lo kasih tau arahnya dong, Airaaaaa.”
“Hahahaha, oke! Yuk, yuk, yuk!”
Aira berjalan di samping Odey. Laki-laki itu menggenggam tangannya tanpa sadar. Meski sudah larut, orang-orang di sana belum pulang. Masih ada yang menata beberapa alat-alat dan kabel. Aira mendekat ke Odey ketika orang-orang berjalan ke arahnya. Takut kalau nanti ia tertabrak atau jatuh karena kesenggol.
Keduanya sudah berada di dalam mobil. Mobil milik Odey yang tadi ia bawa ke sini bersama Kaleo, ia meminta Kaleo untuk pulang bersama yang lain agar ia bisa mengantar Aira pulang dengan mobilnya.
“Kalau lo bosen, setel aja lagunya,” ucap Odey sembari memundurkan mobilnya.
“Boleh?” tanya Aira yang dibalas anggukan kepala dari Odey.
Lagu It’s Not Living (If It’s Not With You) milik the1975 terputar. Aira menyandarkan punggungnya pada kursi sembari menikmati lagunya.
“Lo suka the1975?” tanya Odey.
Aira mengangguk dengan antusias, “Suka banget! Lo juga suka?”
Odey menganggukkan kepalanya.
“Gue juga suka Joji, Lauv, The Weeknd. Kalau lo?”
“Sama. Gua juga suka lagu-lagu mereka. Kayaknya kita samaan deh?”
“Wah, gila! Gue baru nemu orang yang taste music-nya sama kayak gue. Seru banget deh nanti bisa ngomongin lagu-lagu mereka!”
“Gua juga seneng.”
“Ih, kita bisa lebih deket dong?!”
“Iyaaa.”
Akhirnya di perjalanan, keduanya membicarakan tentang musik dan lagu-lagu yang mereka sukai. Mereka juga membicarakan hal-hal random di luar nalar. Tapi, mereka menikmati obrolan mereka. Ditemani oleh lagu-lagu yang terputar, tidak membuat keheningan di antara mereka. Sampai akhirnya mereka sampai di rumah Aira. Aira mengucapkan terima kasih pada Odey, lalu Odey pulang ke rumahnya dengan perasaan bahagia yang tidak bisa dijelaskan oleh kata-kata.