aireanora

“Terus habis itu gimana?” tanya Aira.

“Ayah tau, karena pas pulang, beliau sama Bunda lewat cafe tempat gue nge-band. Ayah marah pas gua sama adek sampai di rumah. Ayah juga banting gitar gua sampai patah. Gua di situ cuma bisa diem doang, gua hopeless banget pas itu. Gak tau harus ngapain karena Ayah marah banget. Akhirnya kita diem-dieman sebulan. Gua juga masih nekat nge-band. Sampai akhirnya kita ngeluarin album sendiri, banyak fans yang datang buat dukung kita, kita juga diundang ke beberapa event besar. Band gua lagi naik daun sampai sekarang. Terus Ayah nyamperin, beliau minta maaf ke gua. Ya ... akhirnya kita baikan deh. Ayah udah bisa nerima gua sebagai anggota band. Gua sebelumnya selalu mikir kalau jadi anak band itu bener-bener jelek di mata orang-orang, ya? Emang kayak anak yang gak punya tujuan? Padahal gua ikut band buat nyalurin bakat. Gua bisa ambil job atau kerjaan lainnya sambil nyambi nge-band. Gua juga selalu berusaha buat optimis kalau Ayah bakalan luluh dan ngebolehin gua nge-band.”

Odey bercerita sangat panjang, sedangkan Aira mendengarnya dengan baik. Gadis itu tidak melewatkan satu kalimat pun yang diucapkan Odey. Gadis itu juga mengusap punggung Odey ketika laki-laki itu berhenti berbicara, tidak sanggup untuk mengingat yang lalu.

“Jadi, lo harus tetep optimis dah tetep yakinin Mama lo. I’m sure you’ll succeed in getting her to trust you to become a writer. Gua juga yakin kalau nanti lo bakalan jadi penulis terkenal,” ujar Odey.

“Kenapa yakin banget gue bakalan jadi penulis terkenal? Tapi aamiin, sih,” tanya Aira diselingi kekehannya.

Odey tersenyum, “Just my feeling. But, I'm sure it will. You will become a famous writer.

Aira tersenyum, “Thanks, Odey. Gue harap setelah ini Mama gue gak bakal sobek karya gue lagi.”

Odey mengangguk, “Sama-sama. Semangat!”

Keduanya tersenyum sambil menatap satu sama lain.

“Oh iya, gak pulang? Pasti keluarga lo khawatir,” tanya Odey.

“Eh, lupa kalau gue keluar sendirian, hehehe. Ya udah deh, gue mau pulang sekarang,” balas Aira.

“Gua anter, ya?” tawar Odey.

Aira menggeleng dengan cepat, “Gak usah. Gue gapapa kok sendirian.”

“Beneran? Kalau gitu, gua temenin turun deh,” ucap Odey.

Kemudian keduanya turun untuk pulang. Mobil keduanya yang terparkir tidak jauh, Odey mengantar Aira sampai gadis itu berada di dalam mobilnya. Bahkan laki-laki itu belum pergi ketika Aira sudah menyalakan mesinnya.

Kemudian Aira membuka kaca mobilnya, ia tersenyum. “Makasih, ya! Gue pulang duluan.”

“Hati-hati di jalan, jangan ngebut.”

“Siap. Daaahhhh, Odey!”

Odey terkekeh, ia melambaikan tangannya. Kemudian ia menatap kepergian mobil Aira. Laki-laki itu segera berlari ke mobilnya dan mengikuti mobil Aira. Ia terlalu khawatir pada gadis yang sedang menyetir sendirian di depan mobilnya. Karena itu, Odey mengikutinya untuk memastikan Aira sampai di rumah dengan selamat. Dengan itu, Odey bisa pulang ke rumahnya dengan tenang.

Aira mendudukkan dirinya di tanah. Udara dinginnya malam tak ia hiraukan sama sekali, ia membiarkan tubuhnya kedinginan diterpa angin. Rambutnya yang terurai pun berterbangan.

“Lemah banget, masa gitu aja gue nangis. Kan udah biasa kayak gitu,” gumam Aira. Matanya menatap lurus ke atas langit.

“Kenapa gue gak boleh nulis? Padahal kan itu hobi gue. Cita-cita gue juga jadi penulis. Kenapa Mama gak ngebolehin gue nulis? Emang seburuk itu jadi penulis?”

Batinnya terus bertanya-tanya, mencari-cari jawaban entah sampai kapan. Pertanyaan yang sama selalu ia tanyakan ketika Mamanya mengetahui dirinya menulis lagi dan marah lagi kepadanya.

“Jadi penulis gak seburuk itu, kok.”

Aira terkejut ketika mendengar suara selain dirinya. Sampingnya yang kosong pun kini sudah terisi oleh seseorang yang duduk di sampingnya. Aira menolehkan kepalanya, ia mendapati Odey yang duduk di sampingnya. Keningnya mengkerut karena heran kenapa Odey bisa di sini juga. Ah, tapi, Aira ingat kalau ini adalah tempat umum. Jadi, wajar saja kalau Odey juga ada di sini.

“Lo dengerin gue ngomong daritadi?” tanya Aira.

Odey mengangguk, “Maaf kalau lancang. Gua tadi gak sengaja liat lo. Tadinya mau langsung nyamperin, tapi, kayaknya lo lagi ngomel gitu. Ya udah, gua diem dulu.”

“Ah ... Gue jadi malu,” ucap Aira sambil terkekeh.

Odey menolehkan kepalanya, “Kenapa harus malu? Gapapa kali, santai aja sama gua mah. Lagian gak ada salahnya buat ngeluh, gua juga gak komenin apa-apa soal itu. Karena itu hak lo mau mengeluh, semua orang berhak ngeluh. Iya, kan?”

Aira mengangguk, “Gue sedih tau.”

“Kenapa? Mind to share with me? I’m all ears.

Is that okay?

Odey mengangguk, “Go then.

Aira menceritakan semuanya dari awal permasalahan sampai puncaknya tadi di rumah. Odey hanya diam, telinganya setia mendengarkan cerita Aira dengan seksama. Tidak ada satu kalimat pun yang ia lewatkan. Pandangannya menatap ke arah Aira yang menundukkan kepalanya. Gadis itu hampir menangis. Bahkan ia sampai mendongak agar air matanya tidak jadi menetes. Odey terhenyak, rasanya ia membawa Aira ke dalam dekapannya setelah gadis itu selesai bercerita.

“Selama ini gue mikir, apa jadi penulis seburuk itu? Sampai Mama gak mau gue nulis. Padahal gue suka banget nulis, tapi Mama gak setuju. Gue sedih sama kecewa campur jadi satu.”

“Jadi penulis gak seburuk itu kok, Ai. Tapi, setiap orang tua pasti mau yang terbaik buat anaknya. Mungkin buat Mama lo, menulis itu gak keren dan gak bakal menjamin masa depan lo. Tapi, lo yang suka nulis, pasti bakal bisa merancang masa depan lo. Dari lo liat penulis terkenal yang ngeluarin beberapa karyanya, lo bisa belajar dari mereka. Banyak banget yang harus lo pelajari dari mereka tentunya. Tapi, salah satunya adalah lo yang harus bisa yakinin Mama lo. Mungkin dengan cara lo bikin buku atau menerbitkan karya lo? Siapa tau Mama lo bisa luluh. Pelan-pelan aja, Ai. Semua ada prosesnya kok. Gak ada yang instan. And one thing you should know, gua juga pernah ada di posisi lo.”

“Oh, ya? Kita sama gitu? Kalau lo gara-gara apa? Boleh cerita gak?”

Odey terkekeh, “Sebelumnya gua mau tanya sama lo.”

Aira menaikkan sebelah alisnya.

Can I?

What?

Hug you?

“Hah?”

I mean, gua mau ngasih lo pelukan karena lo udah keren banget sejauh ini. Mhm, apreasiasi? Ya gitu, lah.”

Aira terkekeh, “Sure. You can hug me. Hug me then. I need your hug, please ....

Odey tersenyum. Ia menarik Aira ke dalam pelukan hangatnya. Ia mengusap surai panjang milik Aira dengan lembut, meletakkan kepalanya di bahu Aira. Sementara Aira memeluk Odey dengan erat. Menghirup aroma tubuh Odey di bagian lehernya. Aroma yang membuatnya tenang, Aira menyukainya. Untuk pertama kalinya Odey memberikan dirinya pelukan terhangat.

“Gua bakalan cerita, lo senderan aja di bahu gua.”

“Modus, ya?”

“Iya.”

Lantas keduanya tertawa. Tanpa banyak bicara lagi, Aira segera menyandarkan kepalanya di bahu Odey. Odey tersenyum, ia menyandarkan kepalanya di kepala Aira. Kemudian dirinya mulai bercerita tentang masa kelamnya yang sungguh membekas di ingatannya.

Aira mendudukkan dirinya di tanah. Udara dinginnya malam tak ia hiraukan sama sekali, ia membiarkan tubuhnya kedinginan diterpa angin. Rambutnya yang terurai pun berterbangan.

“Lemah banget, masa gitu aja gue nangis. Kan udah biasa kayak gitu,” gumam Aira. Matanya menatap lurus ke atas langit.

“Kenapa gue gak boleh nulis? Padahal kan itu hobi gue. Cita-cita gue juga jadi penulis. Kenapa Mama gak ngebolehin gue nulis? Emang seburuk itu jadi penulis?”

Batinnya terus bertanya-tanya, mencari-cari jawaban entah sampai kapan. Pertanyaan yang sama selalu ia tanyakan ketika Mamanya mengetahui dirinya menulis lagi dan marah lagi kepadanya.

“Jadi penulis gak seburuk itu, kok.”

Aira terkejut ketika mendengar suara selain dirinya. Sampingnya yang kosong pun kini sudah terisi oleh seseorang yang duduk di sampingnya. Aira menolehkan kepalanya, ia mendapati Odey yang duduk di sampingnya. Keningnya mengkerut karena heran kenapa Odey bisa di sini juga. Ah, tapi, Aira ingat kalau ini adalah tempat umum. Jadi, wajar saja kalau Odey juga ada di sini.

“Lo dengerin gue ngomong daritadi?” tanya Aira.

Odey mengangguk, “Maaf kalau lancang. Gua tadi gak sengaja liat lo. Tadinya mau langsung nyamperin, tapi, kayaknya lo lagi ngomel gitu. Ya udah, gua diem dulu.”

“Ah ... Gue jadi malu,” ucap Aira sambil terkekeh.

Odey menolehkan kepalanya, “Kenapa harus malu? Gapapa kali, santai aja sama gua mah. Lagian gak ada salahnya buat ngeluh, gua juga gak komenin apa-apa soal itu. Karena itu hak lo mau mengeluh, semua orang berhak ngeluh. Iya, kan?”

Aira mengangguk, “Gue sedih tau.”

“Kenapa? Mind to share with me? I’m all in ears.

Is that okay?

Odey mengangguk, “Go then.

Aira menceritakan semuanya dari awal permasalahan sampai puncaknya tadi di rumah. Odey hanya diam, telinganya setia mendengarkan cerita Aira dengan seksama. Tidak ada satu kalimat pun yang ia lewatkan. Pandangannya menatap ke arah Aira yang menundukkan kepalanya. Gadis itu hampir menangis. Bahkan ia sampai mendongak agar air matanya tidak jadi menetes. Odey terhenyak, rasanya ia membawa Aira ke dalam dekapannya setelah gadis itu selesai bercerita.

“Selama ini gue mikir, apa jadi penulis seburuk itu? Sampai Mama gak mau gue nulis. Padahal gue suka banget nulis, tapi Mama gak setuju. Gue sedih sama kecewa campur jadi satu.”

“Jadi penulis gak seburuk itu kok, Ai. Tapi, setiap orang tua pasti mau yang terbaik buat anaknya. Mungkin buat Mama lo, menulis itu gak keren dan gak bakal menjamin masa depan lo. Tapi, lo yang suka nulis, pasti bakal bisa merancang masa depan lo. Dari lo liat penulis terkenal yang ngeluarin beberapa karyanya, lo bisa belajar dari mereka. Banyak banget yang harus lo pelajari dari mereka tentunya. Tapi, salah satunya adalah lo yang harus bisa yakinin Mama lo. Mungkin dengan cara lo bikin buku atau menerbitkan karya lo? Siapa tau Mama lo bisa luluh. Pelan-pelan aja, Ai. Semua ada prosesnya kok. Gak ada yang instan. And one thing you should know, gua juga pernah ada di posisi lo.”

“Oh, ya? Kita sama gitu? Kalau lo gara-gara apa? Boleh cerita gak?”

Odey terkekeh, “Sebelumnya gua mau tanya sama lo.”

Aira menaikkan sebelah alisnya.

Can I?

What?

Hug you?

“Hah?”

I mean, gua mau ngasih lo pelukan karena lo udah keren banget sejauh ini. Mhm, apreasiasi? Ya gitu, lah.”

Aira terkekeh, “Sure. You can hug me. Hug me then. I need your hug, please ....

Odey tersenyum. Ia menarik Aira ke dalam pelukan hangatnya. Ia mengusap surai panjang milik Aira dengan lembut, meletakkan kepalanya di bahu Aira. Sementara Aira memeluk Odey dengan erat. Menghirup aroma tubuh Odey di bagian lehernya. Aroma yang membuatnya tenang, Aira menyukainya. Untuk pertama kalinya Odey memberikan dirinya pelukan terhangat.

“Gua bakalan cerita, lo senderan aja di bahu gua.”

“Modus, ya?”

“Iya.”

Lantas keduanya tertawa. Tanpa banyak bicara lagi, Aira segera menyandarkan kepalanya di bahu Odey. Odey tersenyum, ia menyandarkan kepalanya di kepala Aira. Kemudian dirinya mulai bercerita tentang masa kelamnya yang sungguh membekas di ingatannya.

Aira mendudukkan dirinya di tanah. Udara dinginnya malam tak ia hiraukan sama sekali, ia membiarkan tubuhnya kedinginan diterpa angin. Rambutnya yang terurai pun berterbangan.

“Lemah banget, masa gitu aja gue nangis. Kan udah biasa kayak gitu,” gumam Aira. Matanya menatap lurus ke atas langit.

“Kenapa gue gak boleh nulis? Padahal kan itu hobi gue. Cita-cita gue juga jadi penulis. Kenapa Mama gak ngebolehin gue nulis? Emang seburuk itu jadi penulis?”

Batinnya terus bertanya-tanya, mencari-cari jawaban entah sampai kapan. Pertanyaan yang sama selalu ia tanyakan ketika Mamanya mengetahui dirinya menulis lagi dan marah lagi kepadanya.

“Jadi penulis gak seburuk itu, kok.”

Aira terkejut ketika mendengar suara selain dirinya. Sampingnya yang kosong pun kini sudah terisi oleh seseorang yang duduk di sampingnya. Aira menolehkan kepalanya, ia mendapati Odey yang duduk di sampingnya. Keningnya mengkerut karena heran kenapa Odey bisa di sini juga. Ah, tapi, Aira ingat kalau ini adalah tempat umum. Jadi, wajar saja kalau Odey juga ada di sini.

“Lo dengerin gue ngomong daritadi?” tanya Aira.

Odey mengangguk, “Maaf kalau lancang. Gua tadi gak sengaja liat lo. Tadinya mau langsung nyamperin, tapi, kayaknya lo lagi ngomel gitu. Ya udah, gua diem dulu.”

“Ah ... Gue jadi malu,” ucap Aira sambil terkekeh.

Odey menolehkan kepalanya, “Kenapa harus malu? Gapapa kali, santai aja sama gua mah. Lagian gak ada salahnya buat ngeluh, gua juga gak komenin apa-apa soal itu. Karena itu hak lo mau mengeluh, semua orang berhak ngeluh. Iya, kan?”

Aira mengangguk, “Gue sedih tau.”

“Kenapa? Mind to share with me? I’m all ears.

Is that okay?

Odey mengangguk, “Go then.

Aira menceritakan semuanya dari awal permasalahan sampai puncaknya tadi di rumah. Odey hanya diam, telinganya setia mendengarkan cerita Aira dengan seksama. Tidak ada satu kalimat pun yang ia lewatkan. Pandangannya menatap ke arah Aira yang menundukkan kepalanya. Gadis itu hampir menangis. Bahkan ia sampai mendongak agar air matanya tidak jadi menetes. Odey terhenyak, rasanya ia membawa Aira ke dalam dekapannya setelah gadis itu selesai bercerita.

“Selama ini gue mikir, apa jadi penulis seburuk itu? Sampai Mama gak mau gue nulis. Padahal gue suka banget nulis, tapi Mama gak setuju. Gue sedih sama kecewa campur jadi satu.”

“Jadi penulis gak seburuk itu kok, Ai. Tapi, setiap orang tua pasti mau yang terbaik buat anaknya. Mungkin buat Mama lo, menulis itu gak keren dan gak bakal menjamin masa depan lo. Tapi, lo yang suka nulis, pasti bakal bisa merancang masa depan lo. Dari lo liat penulis terkenal yang ngeluarin beberapa karyanya, lo bisa belajar dari mereka. Banyak banget yang harus lo pelajari dari mereka tentunya. Tapi, salah satunya adalah lo yang harus bisa yakinin Mama lo. Mungkin dengan cara lo bikin buku atau menerbitkan karya lo? Siapa tau Mama lo bisa luluh. Pelan-pelan aja, Ai. Semua ada prosesnya kok. Gak ada yang instan. And one thing you should know, gua juga pernah ada di posisi lo.”

“Oh, ya? Kita sama gitu? Kalau lo gara-gara apa? Boleh cerita gak?”

Odey terkekeh, “Sebelumnya gua mau tanya sama lo.”

Aira menaikkan sebelah alisnya.

Can I?

What?

Hug you?

“Hah?”

I mean, gua mau ngasih lo pelukan karena lo udah keren banget sejauh ini. Mhm, apreasiasi? Ya gitu, lah.”

Aira terkekeh, “Sure. You can hug me. Hug me then. I need your hug, please ....

Odey tersenyum. Ia menarik Aira ke dalam pelukan hangatnya. Ia mengusap surai panjang milik Aira dengan lembut, meletakkan kepalanya di bahu Aira. Sementara Aira memeluk Odey dengan erat. Menghirup aroma tubuh Odey di bagian lehernya. Aroma yang membuatnya tenang, Aira menyukainya. Untuk pertama kalinya Odey memberikan dirinya pelukan terhangat.

“Gua bakalan cerita, lo senderan aja di bahu gua.”

“Modus, ya?”

“Iya.”

Lantas keduanya tertawa. Tanpa banyak bicara lagi, Aira segera menyandarkan kepalanya di bahu Odey. Odey tersenyum, ia menyandarkan kepalanya di kepala Aira. Kemudian dirinya mulai bercerita tentang masa kelamnya yang sungguh membekas di ingatannya.

Aira berjalan ke arah ruang keluarga. Dia menghembuskan napas beratnya, tangannya meremas kaos yang ia pakai. Entah apa yang akan dibicarakan oleh Mamanya kali ini, Aira sudah muak. Gadis itu muak mendengarkan ucapan-ucapan Mamanya ketika wanita itu menemukan sesuatu di kamarnya. Padahal Papanya mendukungnya. Namun, Mamanya menentang dirinya dengan keras.

Aira berdiri di samping sofa, melihat wajah Mamanya yang nampak marah. Di sampingnya ada Papanya yang sedang menenangkan dan membujuk Mamanya.

“Ma ....”

Melanie mendongakkan kepalanya, menatap anak sulungnya dengan tatapan kecewa. Ia berdiri, di susul oleh Fadrian yang ikut berdiri. Melanie mendekati Aira, di tangannya menggenggam beberapa kertas yang sudah kusut karena diremas olehnya.

“Mama bilang apa ke kamu, Kak? Kenapa masih aja kamu ulangin?!” ucap Melanie sembari mengangkat kertas-kertas yang ia pegang.

Aira hanya menundukkan kepalanya mendengar ucapan Mamanya. Untuk saat ini ia tidak berani membantah. Aira hanya dia mendengar kalimat demi kalimat yang dilontarkan oleh Mamanya selama ini.

“Buat apa kamu nulis cerita gak jelas di kertas ini? Mama berulang kali bilang ke kamu, kamu gak perlu nulis gituan. Mama minta kamu buat berhenti, tapi, kamu tetep lanjutin hobi kamu yang gak berguna ini! Kenapa kamu gak lakuin hobi lain? Apa menulis bakalan bikin masa depan kamu terjamin? Apa dengan uang hasil kamu menjual buku-buku milik kamu itu bikin masa depan kamu terurus?”

Melanie menatap anaknya yang hanya diam sambil menundukkan kepalanya. Sementara Fadrian mengusap bahunya dan menyuruhnya untuk berhenti mencampuri hobi anak mereka. Namun, Melanie adalah wanita keras kepala. Ia tidak akan berhenti dan tidak akan pernah berhenti mengingatkan anaknya untuk berhenti melakukan hobi yang menurutnya tidak berguna.

“Sudah, Ma ... Kalau itu pilihan Aira, kita dukung dia aja. Jangan seperti ini. Kita tidak bisa mengatur hobi dan kesenangan seorang anak,” ucap Fadrian.

“Belain aja terus, kamu kan emang gak peduli sama masa depan anak-anak kita,” sentak Melanie.

“Bukan begitu ... Aku mempedulikan masa depan mereka, tapi, tidak dengan mengatur kesenangan mereka seperti ini. Kecuali mereka sudah melewati batas. Sekarang kamu yang kelewatan batas dalam mengatur kesenangan mereka. Gak baik, Ma. Kita harusnya dukung Aira,” ujar Fadrian.

“Ah, udahlah. Kamu selalu aja bilang kayak gitu! Aku mau Aira jadi anak sukses dengan pekerjaan dia yang layak nantinya.”

“Menjadi penulis itu juga kerjaan yang layak, Ma ... Kamu tidak seharusnya ngomong kayak gitu.”

Aira mendengarkan perdebatan Mamanya dengan Papanya. Dadanya memanas mendengarkan suara keduanya, ia sudah tidak bisa menahannya lagi. Mamanya tidak mau dirinya menjadi penulis, padahal itu adalah cita-citanya. Aira juga sangat menyukai menulis beberapa cerita di kertas. Namun, kertas itu berada di tangan Mamanya dan hampir robek.

“Ma!” teriakan Aira menghentikan perdebatan keduanya.

“Aku udah muak dengerin Mama yang gak pernah setuju sama hobi aku, Mama selalu menentang itu. Padahal itu hobi aku, Ma. Aku suka nulis, aku suka mengarang cerita, aku suka apa yang aku lakuin. Itu semua adalah kesenangan aku. Tapi, kenapa Mama gak pernah dukung aku? Ma, jadi penulis itu gak seburuk yang Mama pikirkan. Aku juga mulai menulis dengan bertahap, aku juga mau masa depan aku terjamin dan bikin Mama sama Papa bangga sama buku hasil karyaku nanti. Ma, apa Mama pernah mikirin perasaan aku selama Mama marahin aku karena Mama berhasil nemu kertas yang isinya tulisan aku? Aku sakit hati, Ma. Mama gak pernah dukung aku, Mama gak pernah perasaan aku. Aku juga kecewa sama Mama. Mama selalu robek kertas itu. Sekarang aku udah muak! Aku capek! Aku gak mau lagi dengerin omongan Mama. Terserah Mama mau ngomong apa, aku gak peduli. Aku bakalan tetep lakuin apa yang aku mau! Mama gak punya hak buat ngatur hobi dan cita-cita aku, Ma. Aku capek dengerin Mama ngomong kayak gitu.”

Aira mulai meneteskan air matanya. Ia terisak-isak, bahunya bergetar. Benji yang berada di gazebo pun mendengarkan semuanya, ia juga mendengar suara tangis kakaknya. Benji hanya bisa memeluk Miyu karena kakaknya tidak mengizinkan dia untuk menemaninya.

“Miyu, kakak kasian ... Gua mau meluk dia, tapi, tadi dia gak ngebolehin gua nemenin dia,” gumamnya. Tangannya mengusap bulu-bulu halus milik Miyu.

“Nak ....” Fadrian menatap Aira dengan tatapan sedih, ia tidak tega melihat anaknya menangis seperti ini. Apalagi Melanie yang terhenyak melihat anak sulungnya menangis terisak-isak seperti ini di hadapannya.

“Nak, maksud Mama bukan seperti itu—”

“Apalagi, Ma? Mama mau ngomong apalagi? Mama mau mengelak?”

“Nak ....”

“Aku capek. Terserah Mama mau bakar kertasnya atau dirobek atau dibuang sekalian, aku gak peduli. Aku butuh waktu buat sendiri. Aku harap Mama cepet sadar kalau menjadi penulis gak seburuk itu,” ucap Aira kemudian pergi dari ruang keluarga. Ia mengotak-atik ponselnya dan keluar dari rumahnya. Gadis itu berlari ke depan komplek perumahan untuk mencari ojek. Aira yang hanya memakai celana panjang dan juga kaos hanya bisa menahan dingin dari udara malam yang menerpa kulitnya. Ia akan pergi ke bukit yang biasanya ia kunjungi ketika dirinya dalam suasana hati yang tidak baik. Ia butuh waktu untuk dirinya sendiri setelah menahannya beberapa lama.

Setelah selesai menonton film yang dipilih Aira, keduanya keluar dari bioskop. Aira tidak berhenti mengoceh tentang film yang mereka tonton tadi. Bahkan gadis itu menceritakan part paling mengesankan di film itu. Odey hanya diam mendengarkan Aira bercerita. Laki-laki itu menahan senyumnya ketika melihat raut wajah Aira.

“Pokoknya film-nya seru banget! Gue kasih rate sembilan per sepuluh deh,” ucap Aira.

“Kalau seru, kenapa cuma dikasih sembilan doang?” tanya Odey.

“Soalnya kesempurnaan hanya milik Tuhan,” balas Aira.

Odey terkekeh, “Habis ini mau ke mana?”

Aira mengedarkan pandangannya, kemudian ia mendengar suara yang memalukan dari perutnya. Ia menatap Odey yang menertawakan dirinya. Aira mendengus.

Dasar perut malu-maluin, gak bisa diajak kerja sama!

“Udah laper tuh, mau makan?” tanya Odey setelah selesai mentertawakan gadis di sebelahnya.

Aira meringis kemudian menganggukkan kepalanya, “Mau. Gue udah laper banget. Tadi makan popcorn doang mah gak puas.”

Odey mengangguk, “Ya udah, ayo, kita cari makan dulu. Mau makan apa?”

“Marugame aja gimana? Pengen banget makan itu,” usul Aira.

“Boleh.” Odey mengiyakan usulan Aira. Keduanya segera mencari restoran merugame di sana dan memesan makanan untuk makan siang menjelang sore mereka.


“Lo bayarin gue mulu. Sekarang gantian gue yang bayarin deh!” ucap Aira.

“Gak usah, Aiii. Gua aja yang bayarin. Santai ajaa,” kata Odey.

Aira yang berjalan di depan Odey pun berhenti berjalan dan membalikkan tubuhnya, Odey juga ikut berhenti. Ia sedikit menunduk untuk menatap wajah Aira yang cemberut.

“Gue gak enak sama lo, lah! Masa lo bayarin mulu,” sungut Aira.

Odey terkekeh, “Ya gapapa. Kan nanti juga bakalan gua bayarin terus.”

“Hah?” Aira menatap Odey kebingungan.

Odey memejamkan matanya, ia meremas celananya. Jantungnya mendadak berdetak dengan kencang.

“Odey!” Aira menggoyangkan lengan Odey, laki-laki itu sontak membuka matanya. “Kok lo malah merem, sih? Maksudnya tadi apa?” tanya Aira.

Odey menggeleng pelan, “Bukan apa-apa, Ai.”

“Ih, apaan—”

“Mau main, gak? Yuk, kita ke Timezone aja. Kali ini lo bayarin koinnya deh,” sela Odey. Ia menarik lengan Aira perlahan agar lengan Aira tidak memerah karena ia tarik.

Aira hanya diam mengikuti langkah Odey. Dia tersenyum. Padahal Aira tau apa maksud ucapan Odey, hanya saja ia pura-pura tidak paham. Ah, Odey itu sangat gengsi apa bagaimana. Laki-laki itu tidak mau menjelaskan ucapannya. Mungkin malu, itu yang ada di pikiran Aira saat ini. Matanya menatap punggung di depannya dan tangannya yang sekarang digandeng oleh Odey. Entah kenapa ia malah salah tingkah, Aira merasakan wajahnya yang memanas. Ia langsung mengibas wajahnya dengan sebelah tangannya.

“Apaan anying, masa gue salting,” gumam Aira.

Keduanya masuk ke dalam cafe yang terkenal di Jakarta. Ini bukan pertama kalinya Aira datang ke sini, karena gadis itu sering datang ke sini bersama teman-temannya. Odey membawanya duduk di pojok, katanya sih biar kena AC.

“Lo tau cafe ini? Gue sering ke sini sama temen-temen gue,” tanya Aira.

Odey mengangguk, “Gua juga kadang ke sini.”

“Sendirian?”

“Iya, kadang sama temen-temen gua.”

Keduanya memesan minuman dan makanan ringan untuk teman mengobrol. Aira dan Odey berbincang sembari menunggu pesanan mereka datang. Banyak sekali topik yang mengalir di antara keduanya. Bahkan mereka tidak kehabisan topik sama sekali.

“Lo suka matcha gak?” tanya Aira ketika pesanan mereka datang. Ia memotong croissant miliknya dan melahapnya.

“Gak terlalu suka. Tapi, adek gua suka banget sama matcha,” jawab Odey.

“Lo punya adek?!” tanya Aira dengan antusias.

Odey menganggukkan kepalanya, “Punya dua adek. Satunya laki-laki udah kelas dua SMA, satunya perempuan kelas dua SMP.”

“Gue juga punya adek laki-laki, dia juga kelas dua SMA!”

“Oh, ya? Lucu dong. Pasti kalian akur.”

“Akur apanya?! Kita sering berantem tuh. Soalnya kadang dia nyebelin, meski gue yang banyak nyebelinnya.”

”Gitu-gitu lo sayang sama dia, kan?” Odey terkekeh.

Aira mengangguk, “Iya, sih.”

“Gua juga suka berantem sama adek gua yang laki-laki, dia nyebelin banget soalnya. Sukanya ngeledek gua, mana dia suka ngerepotin gua. Gitu-gitu gua juga sayang sama dia. Apalagi sama si bungsu. Dia anaknya gak pernah ngajak berantem, tapi, kalau sama Abang keduanya pasti berantem mulu.” Odey menceritakan tentang kedua adiknya sambil sesekali melirik Aira untuk melihat wajah gadis di depannya.

“Lucu banget! Kapan-kapan gue boleh ketemu gak?” tanya Aira.

Kenapa ini kesannya kayak kita udah deket banget, ya? Gapapa lah, gua seneng. Batin Odey.

“Boleh, kapan-kapan gua ajak ketemuan sama mereka deh.”

Yeay!

Odey tersenyum. Ia meminum kopinya perlahan. Sedangkan Aira, ia membenarkan posisi duduknya. Bersiap untuk mengatakan sesuatu pada Odey.

“Eh iya, sejak subuh tadi, gue resmi jadi Heliour!” seru Aira sambil bertepuk tangan.

Odey ikut bertepuk tangan, “Keren. Lo suka siapa?”

Suka gua, lah. Batin Odey dengan percaya diri.

“Gibran!”

Yah, pupus deh rasa percaya dirinya.

“Dia keren banget! Apalagi pas main gitarnya kemarin, duhhhh ... Nge-fans berat deh gue sama dia! Mana dia juga ganteng banget, kemarin dia sempet dadah ke gue tauuuu. Baik banget ya dia? Pasti dia friendly banget, kan?”

Odey mendengarkan dengan seksama kalimat demi kalimat yang diucapkan oleh Aira tentang temannya, Gibran. Sejujurnya Odey merasa kesal, entah hanya kesal atau cemburu karena Aira malah suka pada temannya. Tapi, Odey juga tidak memiliki hak untuk mengatur Aira untuk suka pada siapa.

“Gila yaaa, kapan-kapan gue mau ketemu sama dia deh! Mau foto bareng sama dia.”

“Jangan.”

“Eh? Emangnya kenapa? Ada larangan sama manager, ya?” tanya Aira heran.

“Enggak— Aduh, ya pokoknya jangan deh, Ai,” ucap Odey.

“Kenapa, sih? Kasih alasannya dong,” tanya Aira.

“Dia jelek.”

“Bau. Dia gak pake parfum kayak gua.”

“Gibran mandinya seminggu tiga kali doang.”

“Dia nyebelin, suka gangguin juga. Dia suka galau tuh, jangan mau sama dia.”

“Pokoknya jangan sama dia! Gak recommend banget nge-fans sama dia.”

Aira yang mendengarnya pun tertawa. Odey yang mendengar Aira tertawa pun keheranan. Kenapa gadis itu tertawa? Ah, rupanya Odey salah berbicara. Odey memejamkan matanya dan merutuki dirinya sendiri.

“Hahaha, aduh— Lo cemburu karena gue nge-fans nya sama Gibran? Ya ampun, Odey ... Padahal gue cuma nge-fans sama Gibran doang, loh.”

“Enggak.”

“Enggak apa?” tanya Aira sambil menaikkan kedua alisnya. Odey hanya diam tanpa menjawab pertanyaan Aira. Aira terkekeh, “Lagian lo juga keren kok! Gue juga bakalan dukung semuanya kali, termasuk lo. Cuma ya gitu, gue lebih condong ke Gibran aja.”

Odey menghela napasnya, “Terserah lo aja, sih. Lo mau nge-fans sama siapa aja juga gapapa.”

“Terus yang tadi tuh apa dong?”

“Bukan apa-apa, lupain aja.”

“Harusnya tadi gue rekam, sih.”

“Aiiiii.”

Aira tertawa, ia memegangi perutnya karena lelah tertawa. Odey yang tadinya cemberut langsung tersenyum ketika melihat Aira tertawa. Gadis itu tambah terlihat cantik ketika tertawa. Odey suka ketika Aira tertawa. Suara tawanya itu indah. Odey suka.

Setelah Helioz selesai tampil, Aira dan teman-temannya menjauhi panggung sambil terengah-engah karena sesak berdiri di antara banyaknya orang-orang yang datang. Ketiganya duduk di atas rumput sambil minum minuman mereka yang tersisa sedikit dan tidak dingin lagi.

“Capek, anying,” kata Ale.

“Kan lo yang ngajak ke sini,” sahut Eileen.

Ale menyengir, “Tapi, seru, kan? Gak bakal nyesel dateng ke sini.”

“Iya, sih, gak nyesel. Tapi, capek anying berdiri mulu daritadi,” ucap Aira menggerutu.

“Latihan militer berdiri berjam-jam,” kata Ale.

“Mana ada kayak gitu, bego!” seru Eileen sambil menyentil dahi Ale.

“Anjing!”

Tiba-tiba dari arah samping, Odey yang baru turun dari panggung pun menghampiri Aira dan teman-temannya. Ketiganya terkejut melihat Odey yang berdiri di sebelah Aira, apalagi Aira yang terlihat sangat terkejut. Pasalnya saat di panggung tadi, Odey terus-terusan menatapnya. Membuat dirinya salah tingkah. Untungnya Aira bisa menutupinya dengan cara pura-pura menikmati lagu-lagu mereka.

“Mau ngajak Aira ngomong sebentar, boleh gak?” tanya Odey.

Eileen mengangguk, “Boleh.”

“Anter pulang sekalian juga boleh,” sahut Ale.

Aira sontak mendelik ke arah Ale, sedangkan Ale hanya menyengir tanpa dosa.

Odey terkekeh, “Iya, nanti gua anterin pulang.”

“Eh, gak—”

Ucapan Aira terpotong karena Odey menyelanya, “Ayo, Ai.” Tangannya terulur untuk membantu Aira berdiri.

Aira meraih tangan Odey dan berdiri dari duduknya. Keduanya menjauhi Ale dan Eileen. Mereka berjalan ke sekitar belakang panggung, bertemu dengan teman-teman Odey yang tidak ia ketahui siapa namanya. Tentunya Aira hanya diam saja ketika Odey mengobrol dengan teman-temannya, entah apa yang mereka bicarakan.

“Oh, ini cewek lu, Dey?” tanya salah satunya yang berambut pirang. Tadi Odey memanggilnya dengan sebutan Bang Rusel. Mungkin ia yang tertua di sini.

Aira yang mendengarnya sontak menatap Odey, Odey yang ditatap hanya tertawa kecil.

“Bukan, Bang,” jawab Odey. “Gua balik duluan dah, mau ngomong dulu sama dia.”

“Anter pulang loh anak orang, jangan lu tinggalin.”

“Santai. Yuk, Ai.” Odey menarik lengan Aira dengan perlahan, membawanya keluar dari backstage.

“Ini kita mau ke mana?” tanya Aira.

“Jalan-jalan bentar deh. Gapapa, kan?” jawab Odey.

Aira mengangguk pelan, “Asal pulangnya gak sampai subuh. Nanti dimarahin orang tua gue.”

Odey terkekeh, “Siap.”

By the way, ini almamater lo. Kemarin gue mau balikin ke lo, tapi, gue gak ketemu lo di kampus.” Aira memberikan almamater yang dipegangnya kepada sang pemilik.

Thanks, almamaternya jadi wangi,” ucap Odey. Ia memasukkan almamaternya ke dalam tasnya.

“Iya, lah! Kan gue cuci.”

“Gimana tadi? Seru gak? Are you having fun?

“Seruuuuu banget! Gue kira bosenin, karena gue jarang dateng ke festival musik kayak gini. Ternyata seru banget! Bisa nyanyi rame-rame. Penampilan band lo tadi juga keren banget! Gue gak pernah dengerin lagu-lagu kalian, sih. Tapi, lagu-lagu kalian tadi bagus-bagus,” ucap Aira dengan antusias. Matanya berbinar-binar. Odey yang melihatnya pun tersenyum.

“Lo paling suka lagu yang mana?” tanya Odey.

“Yang liriknya, ‘When I look at you, I see your pretty eyes. Then I fell in love.’ Nah, yang liriknya itu! Gue gak tau judulnya apaa huhuhu,” ucap Aira. Ia bernyanyi sesuai dengan nada yang ia dengar tadi.

Odey terdiam. Lagu itu adalah lagu yang ia buat. Lirik demi lirik yang tulis terinsipirasi dari seseorang yang selama ini ia kagumi. Ya, lagu itu spesial untuk seseorang. Meski bukan dia yang menyanyikan lagu itu, lagu itu sudah atas hak cipta namanya. Odey diam-diam tersenyum ketika Aira menyanyikan sepenggal lirik lagunya.

“Odey? Kok lo diem aja, sih?” Suara Aira membuyarkan lamunan Odey, laki-laki itu langsung tergagap.

“Oh, itu judulnya ‘Your eyes.’ Lo suka lagunya? Cari aja di Spotify, lagunya udah masuk di sana sama semua aplikasi buat dengerin musik,” ujar Odey. “Dengerin lagu-lagu yang lain juga, yang ada di albumnya.”

Aira mengangguk, “Oke! Nanti gue dengerin full satu album.”

Odey tertawa, “Makasih, ya. Lo nambah pendengar lagu-lagu kita, hahaha.”

Aira ikut tertawa, “Gue baru pemula, nih. Gue juga mau jadi Heliour deh, biar kayak temen gue. Nanti gue dengerin lagu-lagu Helioz!”

“Wah, boleh tuh. Nanti kalau kita ada tour, lo harus dateng, ya?”

“Mau, dong! Helioz belum tour, ya?”

“Sayangnya belum. Kita belum kayak penyanyi atau band lainnya. Tapi, pasti suatu saat nanti kita bakalan tour ke kota-kota.”

“Pastinya, dong! Gue yakin banget kalian bisa melambung tinggi dan dikenal satu negara Indonesia, sekalian ke negara lainnya juga! Terus nanti kalian adain tour deh. Gue bakalan maju paling depan!”

“Hahaha, aamiin. Makasih banyak, ya, Ai. Semoga aja terwujud.”

“Aamiin!”

“Eh, udah hampir jam setengah dua. Mau pulang sekarang? Gue anterin deh.”

“Loh, iya. Aduh, mana adek gue daritadi nelpon gue.”

Sorry, gua kelamaan ngajak lo ngobrol.”

No, it’s okay. Gue udah ngabarin dia, kok!”

“Gua anter lo pulang,” ucap Odey.

Aira yang sedang mengetik sesuatu di ponselnya pun langsung menoleh ke Odey, “Eh? Emangnya gapapa?”

Odey mengangguk, “Gapapa. Gua gak akan biarin perempuan pulang sendirian, apalagi ini udah jam segini. Gak baik perempuan pulang sendiri. Jadi, mending gua anter aja sampai rumah. Gak bakalan ada lecet atau luka deh.”

Aira tersenyum, “Lo ... love language-nya act of service, ya?”

“Kemarin gua ngecek sih iya, sama physical touch,” balas Odey.

“Wah, gila. Kayaknya gue harus kabur dari lo.”

Odey menaikkan sebelah alisnya, “Kenapa?”

“Soalnya lo bahaya banget!”

Sontak keduanya tertawa tanpa menghiraukan orang-orang di sekitar mereka yang masih berlalu-lalang.

“Jadi, mau gak gua anter pulang? Eh, gak ada penolakan deng. Ayo, gua anter.”

“Lo tau rumah gue?”

“Ya nanti lo kasih tau arahnya dong, Airaaaaa.”

“Hahahaha, oke! Yuk, yuk, yuk!”

Aira berjalan di samping Odey. Laki-laki itu menggenggam tangannya tanpa sadar. Meski sudah larut, orang-orang di sana belum pulang. Masih ada yang menata beberapa alat-alat dan kabel. Aira mendekat ke Odey ketika orang-orang berjalan ke arahnya. Takut kalau nanti ia tertabrak atau jatuh karena kesenggol.

Keduanya sudah berada di dalam mobil. Mobil milik Odey yang tadi ia bawa ke sini bersama Kaleo, ia meminta Kaleo untuk pulang bersama yang lain agar ia bisa mengantar Aira pulang dengan mobilnya.

“Kalau lo bosen, setel aja lagunya,” ucap Odey sembari memundurkan mobilnya.

“Boleh?” tanya Aira yang dibalas anggukan kepala dari Odey.

Lagu It’s Not Living (If It’s Not With You) milik the1975 terputar. Aira menyandarkan punggungnya pada kursi sembari menikmati lagunya.

“Lo suka the1975?” tanya Odey.

Aira mengangguk dengan antusias, “Suka banget! Lo juga suka?”

Odey menganggukkan kepalanya.

“Gue juga suka Joji, Lauv, The Weeknd. Kalau lo?”

“Sama. Gua juga suka lagu-lagu mereka. Kayaknya kita samaan deh?”

“Wah, gila! Gue baru nemu orang yang taste music-nya sama kayak gue. Seru banget deh nanti bisa ngomongin lagu-lagu mereka!”

“Gua juga seneng.”

“Ih, kita bisa lebih deket dong?!”

“Iyaaa.”

Akhirnya di perjalanan, keduanya membicarakan tentang musik dan lagu-lagu yang mereka sukai. Mereka juga membicarakan hal-hal random di luar nalar. Tapi, mereka menikmati obrolan mereka. Ditemani oleh lagu-lagu yang terputar, tidak membuat keheningan di antara mereka. Sampai akhirnya mereka sampai di rumah Aira. Aira mengucapkan terima kasih pada Odey, lalu Odey pulang ke rumahnya dengan perasaan bahagia yang tidak bisa dijelaskan oleh kata-kata.

Anora duduk di dekat Nathan dengan degup jantung yang berdetak kencang. Tangannya sudah berkeringat dingin. Ia tersenyum ke arah Mama dan Papa Nathan. Mereka sangat baik, menyambut Anora dengan kehangatan. Anya mengajak Anora mengobrol seputar memasak, baju, dan hal-hal berbau perempuan. Gabrian juga mengajak Anora berbincang tentang Nathan. Mereka juga menunjukkan album masa kecil Nathan. Semua foto-foto Nathan saat bayi dan balita ada di sana. Mereka merangkapnya menjadi sebuah memori di album foto.

“Nael tuh dulu bandel banget. Kalau disuruh jangan lari, dia bakalan lari makin kenceng. Dia juga suka jahilin temennya sampai nangis, terus Mama yang gelagapan deh. Dianya malah ketawa-ketawa aja,” ucap Anya.

Anora tertawa, “Sebandel itu, Ma? Terus apa lagi?”

“Dia kalau ngompol gak mau ngaku, padahal jelas-jelas itu kasurnya dan dia tidur sendirian. Katanya kucing yang pipis di kasurnya.”

Anora tergelak mendengar cerita Nathan yang berumur lima tahun. Nathan juga tertawa kecil mengingat masa kecilnya. Ya, seperti kata Mamanya, dia sangat bandel dan nakal saat masih kecil.

“Tapi, gitu-gitu dia suka bantuin Papa berkebun. Dia juga bantuin Mamanya masak,” sahut Gabrian. “Tapi, harus dikasih upah,” lanjutnya kemudian tertawa. Anya dan Anora pun ikut tertawa.

“Bercanda, Nael kalau bantuin tuh ikhlas. Gak pernah minta imbalan uang atau apa pun,” ucap Gabrian.

“Nael kan baik, jadinya gak minta imbalan,” sahut Nathan.

“Eh, pernah tuh sekali pas kamu nemenin Papa dinner bisnis. Kamu minta dibeliin mobil-mobilan pulangnya, katanya karena kamu udah nemenin Papa,” kata Gabrian.

“Kan cuma sekali, Pa. Habis itu enggak,” ucap Nathan sambil cemberut.

“Kamu cemberut gitu apa gak malu sama pacarmu?” tanya Anya.

“Ngapain malu? Biasanya juga kayak gitu ke Anora,” jawab Nathan. Ia menyandarkan kepalanya di bahu Anora dan memainkan jari-jari tangan Anora.

Anora tersenyum canggung. Nathan ini berani sekali bertingkah seperti ini di depan orang tuanya. Rasanya ia ingin memukul Nathan detik itu juga karena Anora malu.

“Walah, ternyata dia juga manja sama kamu, ya, nak?” tanya Anya ke Anora.

Anora mengangguk, “Nathan suka ngambek, Ma. Dia juga suka ngadu ke aku, haha.”

“Kapan aku ngadu ke kamu?” tanya Nathan dengan alis bertautan.

“Waktu es krim kamu jatuh gara-gara kaget denger kucing berantem, terus kamu ngadu ke aku. Muka kamu tuh cemberut gitu, terus—”

“Sayang, jangan dilanjutin, ih! Malu.”

“Ngapain malu? Kan mereka orang tua kamu, gapapa dong.”

“Tetep aja malu.”

Anya dan Gabrian hanya tertawa melihat keduanya. Ternyata anak laki-laki satu-satunya bisa menjadi anak manja, bawel, dan suka ngambek sama perempuan yang tak lain adalah kekasihnya. Dua puluh tiga tahun mereka melihat anaknya tumbuh menjadi anak yang baik dan pintar, kini anaknya sudah memiliki rumah lain selain keluarganya sendiri.

“Nathan, maaf. Aku gak tau kalau kamu lagi lewatin masa sulit kamu. Tapi, aku gak bisa nyalahin kamu sepenuhnya. Kamu pergi tiba-tiba dan gak kasih kabar atau kejelasan ke aku, kamu biarin aku nyariin kamu dan nunggu kamu selama ini. Bahkan di saat kayak gitu, kamu pasti butuh aku. But, you never told me. I feel guilty for not understanding you,” ujar Anora dengan nada lirih.

You don’t have to feel that way, because it’s all my fault,” ucap Nathan.

“Terus Papa kamu sekarang gimana? Is he okay now?” tanya Anora.

I can't say he's completely fine. But, he's fine,” jawab Nathan. “Papa masih jalanin perawatan karena kondisinya yang kapan aja bisa jadi memburuk, aku sama Mama harus waspada dan ngawasin Papa. Meski aku gak setiap saat ngawasin Papa karena aku juga harus kerja.”

“Kenapa kamu bisa jadi model?” tanya Anora. “Maksudku, kamu kan pengen jadi CEO?”

Nathan terkekeh, “Papa dulu dukung aku sepenuhnya buat jadi CEO dan gantiin dia. Tapi, waktu itu Papa bilang kalau beliau pengen aku jadi model biar foto aku ada di mana-mana. Beliau pengen liat aku jadi model terkenal dan sukses. And, yeah, aku gak bisa nolak permintaan Papa. Akhirnya aku join agensi, dilatih jadi model kecil-kecilan. Terus lama-lama banyak yang nawarin aku buat jadi model di beberapa brand. Papa seneng liat aku tumbuh. He said that I grew up well.

And he’s right. You grew up well, you became a good man, protected women, and treated everyone well. I’m proud of you.

“Anora ....,” lirih Nathan. “Thank you. Dan maaf juga.”

“Berhenti bilang maaf, ih!” seru Anora.

“Kan aku merasa bersalah, Raaa. I left you alone,” kata Nathan.

But, now that you’re here with me.” Anora menarik kedua sudut bibirnya membentuk senyuman.

Nathan tersenyum, ia mendekatkan dirinya dan memeluk Anora dengan erat. Mencium pucuk kepala gadisnya dengan penuh rasa sayang. Tangannya mengusap kepala Anora dengan lembut.

“Sekarang kita baikan, kan?”

“Emang kita berantem?”

“Enggak, sih. Tapi, kamu awkward sama aku.”

“Gak usah diingetin!”

“Hahaha, sekarang kita balik kayak dulu, nih? I miss you so bad.

“Iyaaa, kita balik kayak dulu lagi. I miss you more, Nath.”

I love you, my prettiest girl.

I love you more.