aireanora

Anora duduk di depan Nathan dengan canggung, meski sedari tadi Nathan terus mengeluarkan gombalan dan melakukan flirting padanya. Tidak lama bertemu dengan laki-laki itu membuatnya menjadi canggung meski mereka masih terikat dalam sebuah hubungan.

“Kamu masih canggung sama aku?” tanya Nathan yang menyadari gelagat Anora.

Anora berdehem, “Iya, hehe. Maaf. Aku lama gak ketemu kamu, jadinya agak awkward.

Nathan terkekeh, “Gapapa. Tapi, sekarang harus terbiasa, ya? Aku udah di sini lagi, di samping kamu lagi.”

Anora menganggukkan kepalanya, “Oh iya, emang ini gak bakalan ketauan kalau kita ketemuan gini, Nath?”

I’m not sure, but I told my manager about everything,” jawab Nathan.

What if we get caught?” tanya Anora.

We just need to confirm it and publish our relationship?” Nathan berucap dengan alis yang dinaikkan sebelah.

“Gampang banget kamu ngomongnya!” seru Anora.

Nathan tertawa, “Emang kamu gak mau?”

“Ya, mau ....,” lirih Anora.

“Lagian kita yang jalanin hubungan, kita juga hampir lima tahun bareng. Meski aku sempet gak sama kamu selama beberapa tahun, maaf. They don’t need to interfere in our relationship because they don’t know about us. We just need to focus on our relationship only. So it’s okay if everyone finds out that we’re dating, okay? There’s no need to be afraid about anything. I will always be here with you,” ujar Nathan. Ia meraih tangan Anora yang berada di atas meja, mengusap punggung tangan sang kekasih dengan senyum di wajahnya.

Anora tersenyum, “Thank you. So, when do you want to explain?

Now. I’ll explain everything.

Nathan menyuruh Anora untuk mengaitkan tangannya di lengannya, ia tersenyum ketika Anora tampak tersipu malu. Tangannya yang kosong terulur untuk mengusap pipi kekasihnya. Kemudian keduanya masuk ke dalam restoran, mencari ruangan VIP yang sudah Nathan pesan.

Ketika masuk ke dalam, ruangannya tampak gelap. Membuat Anora merapatkan tubuhnya ke arah Nathan karena ia sedikit takut. Nathan terkekeh, ia menyuruh Anora untuk melihat ke depan. Ada banyak lilin di sana. Kemudian ada meja dan kursi yang sudah ditaburi bunga mawar merah. Bahkan langkah kaki mereka diiringi oleh tebaran bunga mawar merah dan juga lilin di setiap sisi.

“Ini kamu yang buat?” tanya Anora.

Nathan mengangguk, “Mhm, Jake sama Kevin juga bantu aku. They offered to help me plan all this.

It's very good, I like it.

Glad if you like it.” Nathan tersenyum. Ia memanggil pelayan untuk memberikan pesanan yang sudah Nathan bicarakan sejak awal.

Baked salmon dan spaghetti carbonara sudah ada di atas meja. Nathan dan Anora menikmati acara dinner mereka yang terkesan sangat romantis, meski pakaian mereka tidak formal. Nathan mengenakan celana panjang, kaos dilapisi oleh jaket, dia juga memakai topinya. Sedangkan Anora memakai celana panjang, crop top, dan sweater.

Memang seperti inilah yang Nathan mau. Tidak terlalu formal, yang terpenting hari ini akan menjadi hari yang berkesan untuk mereka berdua.

Have you finished eating?” tanya Nathan.

Anora menganggukkan kepalanya.

Okay, I'll give you another surprise. Just a little surprise,” ucap Nathan.

What surprise?

You can know after this.

Pelayan kembali datang dengan membawa kue, balon berwarna gold dan putih, lalu ada buket bunga. Anora tersenyum lebar, hatinya sangat senang hari ini.

Oh my God! Nath, kamu kenapa jago banget bikin aku seneng, sih?”

Nathan tertawa pelan, “Anything for you, I'll make you happy.

Anora memang ekspresi puppy eyes miliknya, “You touched me. I really love you.

I love you more, babe.

Nathan memberikan buket bunganya kepada Anora dengan cara bertekuk lutut. Alunan musik yang menjadi latar belakang keduanya menambah kesan romantis.

Happy first anniversary. Aku gak nyangka udah satu tahun kita bareng. Dari awal kita kenalan sampai sekarang, kamu selalu ada buat aku. I am so grateful to God that I can have you. I'm also grateful to have a boyfriend like you, it's a very beautiful gift from God. I am happy to be your lover for one year. Hopefully we can last a long time, be happy together, and be together forever until we are old. Even in the next life, I also hope that we become lovers. I love you sincerely. Thanks for being here with me. Sorry if I can't be a good boyfriend for you. Once again, happy anniversary, babe.

Nathan berdiri, ia melihat Anora yang sudah terisak. Lantas ia memeluk gadisnya dengan erat, serta memberikan kecupan berkali-kali di kepala kekasihnya.

Don't cry.

I am also grateful to have you, I am grateful to have met you. I'm happy you are my lover. You always treat me well, Nath. I also hope that we can be together forever. I also want in the next life, you to be my lover. Happy anniversary, my dear. I really love you.*”

Nathan melepaskan pelukannya. Ia tersenyum, mengusap pipi kekasihnya dengan lembut.

“Sayang, aku sayang banget sama kamu. Jangan nangis lagi,” ucap Nathan.

“Aku juga sayang sama kamu.”

Semua hadirin bertepuk tangan dengan meriah. Suasana di sana sangat menyenangkan dan juga meriah. Kailee tersenyum ke arah keluarganya dan juga Kalilo. Berjalan dengan hati-hati karena dirinya memakai high heels yang membuatnya susah berjalan.

Congratulations, anak Mama. Happy graduation, ya, nak. Mama bangga sama kamu,” ucap Amira sambil mengecup pipi anaknya.

“Makasih, Ma.”

“Selamat, anak Papa. Proud of you, nak,” ucap Irwan sembari menepuk bahu Kailee.

Kailee tersenyum, “Makasih, Pa!”

“Widih, adek gua udah lulus SMA aja. Congrats, adekku sayang,” ucap Jericho sembari merangkul bahu Kailee.

Congrats, dek. Bentar lagi lo kuliah, semangat dong. Nanti gua kasih hadiah pas di rumah,” ucap Raiel.

“Makasih, ya, Abang sama Kakak. Lo jangan lupa kasih gue hadiah!” ucap Kailee, menunjuk Jericho yang sedang menyengir.

Jericho mendengus, “Iya, buset. Ntar gua kasih hadiahnya ke lo.”

“Oke. Singkirin tangan lo! Gue mau nyamperin pacar gue,” kata Kailee.

“Buset dah. Iye dah iye, sono samperin pacar lu.” Jericho melepaskan rangkulannya di bahu Kailee.

Kailee berjalan beberapa langkah untuk menghampiri Kalilo. Laki-laki tersenyum, meraih pinggang Kailee dan merangkulnya agar lebih dekat dengan dirinya.

Congratulations, babe,” bisik Kalilo.

Kailee tersenyum, “Makasih, Ilo!”

“Bunga sama hadiahnya masih di mobil aku. Nanti pulangnya sama aku, ya? Kita rayain berdua,” ucap Kalilo.

Kailee mengangguk, “Boleh. Nanti aku bilang ke Mama sama Papa.”

Kalilo tersenyum. Ia menundukkan kepalanya, melihat ke arah kaki Kailee. Ia meringis melihat high heels yang dipakai Kailee. Kemudian ia kembali mendongak, menatap kekasihnya yang sedang membalas sapaan orang-orang yang melewati keduanya.

“Sayang, kaki kamu sakit gak pakai itu? Gak mau ganti jadi sneaker aja?” tanya Kalilo.

“Pegel, sih. Tapi, aku gak bawa sepatu,” jawab Kailee.

“Aku bawa buat jaga-jaga. Aku ambil dulu, ya? Nanti aku balik lagi ke sini. Kamu tunggu sebentar,” ucap Kalilo. Tanpa berlama-lama ia langsung keluar dan pergi ke parkiran untuk mengambil sepatu yang sengaja ia bawa untuk dipakai Kailee.

Tak berselang lama, Kalilo kembali dengan sepasang sepatu di tangannya. Ia menyuruh Kailee untuk berganti dan memasukkan high heels yang tadi Kailee pakai ke dalam paper bag.

“Mau foto-foto gak? Kita foto berdua,” tawar Kalilo.

Kailee mengangguk dengan cepat, “Mau! Ayo, kita foto berdua buat kenang-kenangan.”

Kalilo terkekeh, “Gemes banget, sih. Aku cari orang dulu buat fotoin kita, yaa.”

“Eh, gak usah. Suruh Kak Jericho aja.”

“Yakin dia mau?”

“Mau, lah! Kak Jericho, cepetan ke sini! Fotoin kita berdua.”

“Ya elah, jadi tukang foto dadakan. Cepetan sana pose,” ujar Jericho sembari mengangkat kamera yang ia bawa.

Kalilo tertawa, sedangkan Kailee hanya menjulurkan lidahnya. Keduanya mulai berpose dan berfoto-foto bersama. Beberapa foto yang mereka ambil bersama, cukup membuat tangan Jericho pegal. Setelah berfoto-foto, Kailee bergantian foto dengan teman-temannya. Acara itu dimulai sampai siang hari. Sesuai dengan perkataan Kalilo, dia dan Kailee pulang bersama untuk merayakan kelulusan Kailee.

Kailee terbangun dari tidurnya dengan badan yang pegal-pegal karena ia ketiduran di meja belajarnya. Jericho membangunkannya dengan tidak santainya, membuat badannya hampir limbung dari kursinya. Kailee mengerjapkan matanya, kemudian gadis itu mendengus melihat Jericho yang menyengir di sampingnya.

“Santai aja, sih!” seru Kailee.

Jericho menyengir, “Lu belajar buat ujian sampai ketiduran di meja belajar. Noh, HP lu udah gua cas soalnya baterainya habis.”

Kailee mengerutkan keningnya, “Hah? Ujian apa?”

“Ujian sekolah, lah? Kan dua bulan lagi lu bakalan ujian. Lu tuh udah kelas dua belas,” balas Jericho.

“Bercanda ya lo?! Gue masih kelas sebelas, anjir!”

“Hah? Ngigo kali lu. Jelas-jelas lu udah kelas dua belas, anjir. Liat aja buku sekolah lu,” ujar Jericho.

Kailee sontak melihat buku-bukunya. Benar saja bukunya tertulis kelas dua belas, bukan kelas sebelas. Kailee merasakan detak jantungnya berpacu dengan cepat.

Gak mungkin, kan, ini cuma mimpi doang? Mimpi gue sepanjang itu?” batin Kailee.

“Udah percaya lu?” tanya Jericho.

“Sumpah, ya, gue tuh mimpi masih kelas sebelas. Dan gue ada trauma karena ada kejadian mengerikan di sekolah. Gue hampir aja kena pisaunya Rael. Rael pindah ke London, kan?” jelas Kailee menggebu-gebu.

Jericho terperangah, ia mendudukkan Kailee di kasur. “Sadar, bego! Itu cuma mimpi doang. Trauma sama kejadian apaan? Selama ini gak ada kejadian apa-apa, anjir. Gak usah halu! Rael juga siapa, anjir? Lu bangun tidur jadi aneh dah.”

“Apaan, sih? Masa lu gak kenal Rael? Rael tuh sepupu kita, dia anaknya tante Anne,” ucap Kailee.

“Hah?! Makin menjadi-jadi halunya, ya Tuhan. Tante Anne baru nikah beberapa bulan yang lalu. Gila aja udah punya anak seumuran lu?!”

“Tapi, emang bener, kok! Dia seumuran sama gue. Dia juga pindah ke London sama tante Anne, dan tante Anne juga cerai sama suaminya!”

“Udah ah, mending lu mandi aja sana!”

“Tapi, Kak—”

Ceklek

“Ada apaan ribut-ribut?” tanya Raiel di ambang pintu.

Jericho menunjuk Kailee, “Adek lo, nih, bangun-bangun udah halu aja. Katanya kita punya sepupu namanya Rael, katanya dia anaknya tante Anne dan pindah ke London karena ada kejadian mengerikan. Aneh-aneh aja adek lu, Bang.”

“Ish, nyebelin lo! Padahal itu beneran,” decak Kailee.

Raiel menghela napasnya, “Itu mimpi doang, Dek. Mending lo mandi sana, terus turun ke bawah buat sarapan. Ini udah jam sepuluh, lu baru bangun, ck.”

“Ya udah, gue mandi dulu. Badan gue pegel. Sana lo semua keluar dari kamar gue,” ucap Kailee.

“Gila lu,” sungut Jericho kemudian melangkahkan kakinya keluar dari kamar sang adik.

Raiel hanya menggeleng melihat kelakuan keduanya. Sudah sering melihat adik-adiknya bertengkar karena masalah sepele. Kadang kepalanya sampai mau pecah mendengar perdebatan keduanya.

“Aneh banget dah,” gumam Kailee sebelum masuk ke dalam kamar mandi.

Kailee, Kalilo, Jericho, dan Anne turun dari mobil. Mereka turun di depan sebuah gedung besar yang sebagian besar temboknya berwarna krem. Kailee menatap gedung di depannya dalam diam. Ia menolehkan kepalanya ketika Kalilo memanggilnya.

“Kenapa ngelamun? Kamu takut?” tanya Kalilo.

Kailee menggelengkan kepalanya, “Enggak. Aku cuma lagi liat-liat gedungnya aja. Bagus, ya ....”

Kalilo mengangguk, “Iya, bagus. Di sini fasilitasnya lengkap dan terjamin. Makanya tante Anne masukin dia ke sini.”

“Rael baik-baik di sini?”

Kalilo menerawang ke depan, “Maybe yes.

“Lo gak perlu takut, dek. Ada gua sama Kalilo yang jagain lu,” ucap Jericho.

Kailee terkekeh, “Lebay lo.”

“Yeee, dibilangin juga malah kayak gitu. Dasar!” sungut Jericho. Kalilo tertawa melihat interaksi keduanya.

“Ayo, anak-anak. Kita masuk ke dalam,” ajak tante Anne setelah berbincang dengan pengurus asrama ini.

Asrama Cynosure.

Kailee membaca palang bertuliskan nama asrama itu ketika masuk ke dalam. Letaknya berada di dekat pintu masuk. Ia berjalan di samping Kalilo. Tangannya meremat tas selempangnya, jantungnya berdetak tak karuan. Gadis itu menarik napas dan membuangnya perlahan-lahan agar tenang.


Kini mereka menunggu di ruangan kepala pengurus asrama. Menunggu Rael yang sedang dipanggil oleh salah satu pengurus di sana. Tidak lama kemudian, pintu terbuka. Kailee menoleh ke arah pintu. Pengurus itu sudah kembali, di belakangnya ada seseorang yang belum menunjukkan dirinya.

Ketika keduanya masuk, Kailee tersenyum kaku ketika melihat Rael yang terkejut mendapati dirinya berada di hadapannya.

“Mama ....,” lirih Rael.

“Apa kabar, nak? Kamu baik?” tanya Anne.

Rael mengangguk, ia mengalihkan pandangannya ke Kailee. Anne yang tersadar langsung tersenyum.

“Kailee mau ketemu kamu. Ayo, kamu sapa dia,” ujar Anne.

“Hai, Rael!” sapa Kailee.

Rael tersenyum, “Hai.”

“Gimana kabar kamu?” tanya Kailee.

“Aku baik, Kailee. Kamu sendiri gimana?” tanya Rael.

“Gue baik juga.”

“Kailee, soal waktu itu, aku bener-bener minta maaf sama kamu. Aku nyesel banget ngelakuin itu semua. Aku minta maaf sama kamu. Apalagi aku sampe bikin trauma, aku minta maaf sama kamu,” ucap Rael sambil menangis.

“Eh, gapapa, Rael. Gue udah maafin lo, kok. Asalkan lo juga berubah dan gak ngulangin hal yang sama. Jadiin itu semua pelajaran buat diri lo sendiri,” ujar Kailee.

“Aku gak pantes buat dimaafin, Kailee. Aku udah jahat banget sama kamu. Aku gak pantes berdiri di hadapan kamu, harusnya aku gak muncul di depan kamu sampai kapan pun.”

Jericho, Kalilo, dan Anne hanya menyimak keduanya. Kepala pengurus dan pengurus lainnya sudah keluar dari ruangan. Membiarkan mereka memliki waktu untuk berbincang tanpa adanya orang lain di sini.

“Jangan ngomong gitu, Rael. Sefatal apa pun kesalahan lo, masih bisa dimaafin. Tapi, itu semua tergantung setiap orang yang mau maafin lo apa enggak. Gue udah maafin lo, meski lo yang bikin gue trauma. Cuma gue gak bisa aja kalau temenan lagi sama lo. Maaf, Rael. Tapi, lo gak pantes buat jadi temen gue. Semua yang udah lo lakuin itu jahat dan masih berbekas di ingatan gue. Gue harap setelah ini lo sadar dan berubah jadi baik, ya. Jangan sampai lo mengulangi kesalahan yang sama.”

“Aku bakal jadiin kejadian itu sebagai pelajaran, aku gak akan ngelakuin itu lagi karena aku bener-bener nyesel. Aku juga sadar kalau kamu sama yang lain sebenernya tulus temenan sama aku. Aku bener-bener jahat dan gak tau diri, Kai. Setelah ini semoga kamu hidup bahagia, ya. Jangan pernah ketemu aku lagi. Aku gak akan muncul di hadapan kamu dan pergi jauh dari sini,” ucap Rael.

“Lo juga harus bahagia ya habis ini. Yakin deh, kebahagiaan bakal dateng ke lo kalau lo nunggu dengan sabar,” ucap Kailee sambil tersenyum.

Rael mengangguk, “Iya, Kailee. Makasih, ya.”

Kailee tersenyum. Keduanya berpelukan untuk beberapa menit. Rael sudah berhenti menangis dan tersenyum ketika memeluk Kailee cukup lama.

“Udah, nih? Pulang, yuk? Ntar lu dicariin bang Raiel,” ucap Jericho.

“Sabar, bang. Masih lepas kangen, tuh,” sahut Kalilo.

Anne tertawa, “Rael, kamu harus balik lagi, kan? Mama pamit pulang, ya. Nanti Mama ke sini lagi. Mungkin besok atau lusa atau minggu depan, ya?”

Rael mengangguk, “Iya, Ma. Hati-hati di jalan, ya. Rael sayang Mama.” Rael memeluk Anne dengan erat.

“Mama juga sayang Rael.”

Kalilo datang ke kelas Kailee dengan segelas es jeruk sesuai dengan keinginan Kailee. Ia duduk di depan Kailee, membalikkan kursi menghadap ke arah kekasihnya. Tak berselang lama, Sachi dan Adira juga datang. Mereka bertiga–termasuk Ella–memisahkan diri ke meja seberang. Membiarkan Kailee berduaan dengan Kalilo.

“Makanannya udah habis?” tanya Kalilo.

Kailee mengangguk menjawab pertanyaan Kalilo.

“Kamu gak makan?” tanya Kailee.

“Tadi aku udah makan di kantin. Aku beli mie kuah sama es teh, enak banget!” bales Kalilo dengan antusias.

Kailee terkekeh mendengarnya, “Jam segini udah makan mie aja. Gak baik, loh!”

Kalilo mengerucutkan bibirnya, “Habisnya aku lagi pengen makan mie dari kemarin. Baru sempet makan mie hari ini deh.”

“Tapi, gak sepagi ini juga, Kalilooo. Kan bisa nanti jam istirahat ke-dua,” ucap Kailee. Ia tidak berniat mengomeli atau memarahi Kalilo, dia hanya memberitahu saja kalau makan mie pagi-pagi itu tidak sehat. Apalagi setelah itu Kailee melihat wajah Kalilo yang nampak menyesal.

“Iyaaa, maaf,” ucap Kalilo sambil menundukkan kepalanya.

“Aku gak marah atau ngomel, kok. Cuma ngasih tau aja,” ujar Kailee.

“Kamu kayak marah gitu.”

“Enggak, Kalilo. Aku cuma ngasih tau aja. Aku gak marah, oke?”

“Beneran?”

Kailee menganggukkan kepalanya sambil tertawa. Tangannya terulur untuk mengusak surai milik Kalilo. Kemudian ia menarik segelas es jeruk dan meminumnya. Kalilo hanya menatap pergerakan kekasihnya.

“Oh iya ....” Kailee menggantung ucapannya, membuat Kalilo penasaran. “Rael beneran pindah ke asrama? Dia gak di sini?” tanya Kailee.

Kalilo mengerutkan keningnya, “Dia udah pindah ke asrama, kok. Waktu itu Mama kamu nemenin tante Anne buat nganter dia ke asrama.”

Kailee terdiam mendengar jawaban Kalilo.

“Kenapa emangnya?” tanya Kalilo.

“Aku ... Tadi liat bayangan dia lewat di depan kelas aku. Kirain dia gak beneran pindah dan kalian boongin aku,” ucap Kailee dengan terbata-bata.

“Hah? Kak, listen to me, dia beneran udah pindah ke asrama. Dan selama kamu belajar di rumah 5 bulan itu, dia juga ditahan di penjara. Habis itu dia pindah ke asrama. Jadi, gak mungkin kalau dia ada di sini. Itu cuma halusinasi kamu doang, oke?” ujar Kalilo sambil menggenggam tangan Kailee dan mengusapnya.

“Kalau dia balik lagi, gimana?”

“Gak akan. Dia gak akan balik lagi dan nyakitin kamu lagi, kak. I promise,” ucap Kalilo menenangkan Kailee.

I won’t let her come back and hurt you, batinnya.

Nathan memasukkan password apartment Anora dengan terburu-buru. Tangannya menggenggam paper bag berisi cake yang baru ia beli. Setelah terbuka, Nathan langsung masuk ke dalam. Laki-laki itu masuk ke dalam Anora, melihat isi kamarnya yang terlihat berantakan. Nathan melihat Anora yang duduk di dekat ranjangnya sambil menelungkupkan kepalanya di atas kakinya yang ditekuk.

Nathan mengisyaratkan Mimi untuk keluar, ia juga memberikan salah satu paper bag untuk Mimi. Setelah Mimi berpamitan, Nathan mendekati Anora. Ia meletakkan tasnya di lantai, kemudian duduk di samping kekasihnya.

Dilihatnya bahu yang bergetar itu, Nathan menjadi tidak tega. Ia menepuk bahu Anora dan mengusapnya, “Hey,” sapanya dengan suara pelan.

Anora mendongakkan kepalanya. Wajahnya sudah berantakan. Rambutnya yang terlihat acak-acakan—tapi masih terlihat cantik di mata Nathan—, hidungnya yang memerah, dan matanya yang sudah bengkak. Anora sedikit terkejut melihat Nathan di sampingnya. Gadis itu langsung memeluk kekasihnya, kembali menangis di pelukan sang lelaki. Nathan mengusap rambut Anora dan menepuk punggung Anora, memberikan kata-kata penenang untuk gadis yang berada di dekapannya.

Hey, it's okay. You can cry as much as you want. Kamu berhak nangis,” bisiknya.

“N–nath, nilai presentasi aku ... Aku gak dapet nilainya. File-nya dihapus, aku gak tau kenapa dia ngelakuin itu. Aku gak ada salah sama dia.” Anora bercerita sambil terisak-isak. Sedangkan Nathan hanya diam, mendengarkan dengan seksama. Tangannya masih setiap mengusap rambut Anora.

“Padahal nilai itu penting. Aku kecewa sama diriku sendiri. Aku begadang buat bikin file itu, tapi, malah dihapus sama dia.”

“Kapan dia hapus file-nya? Waktu kamu di kelas?” tanya Nathan.

Anora menggeleng, “Waktu itu aku lagi ke toilet. Terus ada yang bilang ke aku kalau dia hapus file presentasi aku. Kita juga sempet berantem tadi.”

Is he a boy or a girl?” tanya Nathan.

“Emm, boy,” jawab Anora.

What?! Why would he do that to a girl? Isn't he a loser? Dia ngelakuin itu semua biar dia gak sendirian dapet nilai jelek. Orang kayak gitu harus dapet pelajaran, sayang. He must be punished,” omel Nathan. Ia tak terima jika orang yang melakukannya adalah seorang laki-laki. Laki-laki mana yang bersikap cupu dan melakukan itu semua pada kekasihnya? Jelas Nathan tidak terima.

“Jangan marah ....,” lirih Anora. Gadis itu tau kalau kekasihnya sedang marah.

Who doesn't get mad when someone makes my girl cry?” ucap Nathan dengan ketus.

“Aku gak kenapa-napa, cuma sedih aja karena gak dapet nilai,” ucap Anora meyakinkan Nathan.

“Tapi, kamu nangis, sayang. Aku gak tega liat kamu nangis gini. Seenggaknya aku harus bilang ke dia, lah,” ujar Nathan.

You don't need to do that, Nath. I can handle it alone. Aku bisa minta dosenku buat kasih kesempatan, aku bisa kerjain ulang, terus presentasi di depan kelas, habis itu semua masalah selesai. Gak ada yang perlu diperpanjang,” ujar Anora.

“Terserah,” ucap Nathan. Ia mengusap pipi Anora yang basah. Kemudian dirinya berdiri, “Aku beliin cake buat kamu. Dimakan, ya?” Nathan menunjuk paper bag di atas kursi dekat meja belajar Anora.

“Kamu mau ke mana?” tanya Anora yang melihat Nathan berjalan ke arah pintu kamarnya.

Nathan menolehkan kepalanya, “Aku mau bikin hot chocolate buat kamu.”

Anora menganggukkan kepalanya, ia membiarkan Nathan pergi ke dapurnya. Gadis itu meraih paper bag yang ada di atas kursi. Di dalamnya ada tiramisu cake. Anora tersenyum melihatnya. Setidaknya ia masih memiliki Nathan yang bisa membuat mood-nya membaik.

Anora agak gugup ketika dirinya dan Nathan sudah duduk di depan laptop. Nathan terkekeh, ia mengusap kepala Anora dengan lembut. Anora menatap Nathan, tangannya meraih tangan kekasihnya yang mengusap kepalanya kemudian menggenggam tangannya dengan erat.

It’s okay, sayang. Gak perlu takut, ya? Cuma ngobrol biasa, kok,” bisik Nathan. Anora hanya mengangguk.

Tak berselang lama, Anya sudah bergabung ke dalam room zoom yang dibuat Nathan. Anora dan Nathan tersenyum ketika melihat Anya. Anora memuji Anya yang tampak sangat cantik dengan dress dan wajahnya masih terlihat sangat muda.

Halo, anak-anak. Nunggu lama, ya?

“Enggak kok, tante.”

Panggil Mama aja, ya, Anora. Biar kayak Nael.

Anora menganggukkan kepalanya. Ia tersenyum ketika mengetahui kalau Nathan dipanggil Nael oleh Mamanya. Lucu sekali.

“Mama gaya banget pakai dress kayak gitu. Kayak anak muda aja,” ucap Nathan.

Suka-suka Mama dong! Ini dibeliin Papa kamu, loh. Cantik, kan?

“Cantik banget, Ma. Cocok dipakai sama Mama, kok,” puji Anora.

“Kamu jangan puji Mama, nanti besar kepala,” sahut Nathan sambil tertawa.

“Gak boleh gitu dong, Nath. Kamu suka banget godain Mama kamu?”

Nathan terkekeh, “Lucu aja liat reaksinya.”

Emang Nael itu suka godain Mama, kadang Mama sampai ngambek. Terus dia bujuk Mama pakai cokelat kesukaan Mama. Emang dia jago banget luluhin hati Mama.

“Soalnya diajari Papa,” ucap Nathan.

Haduh, iya deh iya. Mama mau ngobrol sama Anora, kamu pergi sana.

“Anaknya gak mau ditinggal, Ma. Liat nih, tanganku dipegangin terus.” Nathan mengangkat tangannya yang digenggam oleh Anora. Membuat Anora mendengus malu, ia langsung melepaskan genggamannya.

Dasar anak muda, lucu banget deh kalian.

“Iya dong,” ucap Nathan sambil terkekeh. Ia kembali menarik tangan Anora dan menggenggamnya kembali.

Nael gimana, nak? Dia bandel gak pas sama kamu? Pasti dia suka langgar larangan kamu, ya? Dia tuh susah banget dibilangin, anaknya ngeyel banget. Dia juga malesan, tidurnya pas subuh mulu. Padahal dia ada kuliah.

“Nathan baik kok, Ma. Dia gak bandel sama sekali, dia malah nurut sama omongan aku, kok. Cuma kadang begadang diem-diem, sampai paginya bangun telat. Aku selalu suruh dia makan tiga kali sehari, aku juga suruh dia tidur cepet. Untungnya sekarang dia tidur di bawah jam dua belas, kecuali kalau ada tugas doang.”

Walah, ternyata nurut sama pacarnya. Jagain dia, ya, nak. Kalau nakal, jewer aja telinganya. Marahin aja kalau bandel. Dia tuh kalau sakit suka manja.

“Ma, gak perlu dibilangin semua, lah ....,” rengek Nathan.

Anora terkekeh, “Siap, Ma! Aku gak pernah liat dia manja pas sakit, sih. Untungnya dia gak pernah sakit selama pacaran sama aku. Dia gak sakit pun udah manja sama aku, Ma. Kayak sekarang, nih.”

Nathan terlihat menyembunyikan wajahnya di punggung Anora, tangannya melingkar di pinggang Anora. Nathan menggesekkan hidungnya ke punggung Anora, kemudian mengerang ketika Mamanya berkata kalau dirinya seperti bayi yang manja pada ibunya. Sedangkan Anora hanya tertawa.

Kamu suka bikin cookies? Kamu bisa masak? Wah, pantesan Nathan kelihatan lebih seger di sana. Kamu suruh dia makan sayur-sayuran, ya.

“Aku bisa bikin cookies, Ma. Kadang aku bikin kalau pengen aja. Nathan juga aku suruh makan sayuran, apalagi kalau dia ke sini, pas banget aku kadang bikin salad sayur atau buah gitu.”

Makasih banyak, ya, nak ... Kamu menjaga Nathan banget di sana. Nathan beruntung ketemu perempuan yang bisa jaga dan rawat dia di sama, apalagi sekarang dia jauh sama Mamanya. Jadi, gak ada yang bisa dipeluk dia. Ajak dia ngobrol atau main gitu biar gak pusing karena kuliah, ya ... Nathan tuh anaknya kalau gak diajak ngobrol ya gak bakalan mau ngomongin hal-hal yang terjadi ke dia. Di sini juga dia main sama temen-temennya, sih. Apalagi di sama ada Jake sama Kevin, katanya juga ada Gavrian, ya? Jagain dia, ya, nak Anora. Mama titip Nathan ke kamu.

“Iya, Ma. Aku pasti bakalan jagain dia, rawat dia, kasih dia pelukan, ajak dia ngobrol, ajak dia main. Karena dia juga bawel banget kalau sama aku. Aku juga sering ngajak dia jalan-jalan. Semua perintah Mama pasti aku lakuin, kok. Mama gak usah khawatir, ya. Nathan aman sama aku.”

Terima kasih banyak, ya, nak. Nathan, kamu jangan bikin Anora nangis, ya! Awas aja kalau kamu bikin dia nangis. Jangan marah-marah ke dia, jangan kasar ke dia, jangan main tangan sama perempuan. Kalau ada masalah bicarakan baik-baik. Jangan sakiti dia.

“Iya, Mama,” balas Nathan. Suaranya teredam karena wajahnya masih bersembunyi di punggung Anora.

“Nathan, ih! Cepet bangun dulu, gak sopan kayak gitu. Duduk yang bener, dong. Itu Mama ngomong ke kamu,” omel Anora.

Nathan kembali ke posisi duduknya, ia menyengir. “Kamu ngomel-ngomel mulu.”

“Ya kamu tuh jangan jadi bayi dulu, masih ada Mama,” ucap Anora.

“Gapapa, dong. Mama juga diem aja tuh. Aku tuh pengen peluk kamu, babe,” ucap Nathan.

Wajah Anora memerah malu. Bisa-bisanya Nathan bertingkah seperti ini di depan Mamanya. Anora tidak habis pikir dengan Nathan, entah dirinya sengaja atau tidak, Anora yang salah tingkah. Nathan terkekeh melihat wajah gadisnya yang memerah.

Cute.” Tanpa aba-aba, Nathan langsung mencium pipi Anora di depan Mamanya.

“Nathan!” seru Anora.

Waduh, anak muda ... Mending Mama udahin aja, ah. Mama gak mau ganggu orang pacaran.

“Mama, gak gituuuu. Nathan ih nyebelin banget!” rengek Anora.

Gapapa, nak. Mama juga mau dinner sama Papanya Nael.

“Bilang anaknya pacaran mulu, tapi Mama sama Papa juga pacaran,” sindir Nathan.

Suka-suka Mama, lah! Ya udah ya, Mama tutup dulu. Nael, ingat kata Mama tadi.

“Iya, Mamaaa. I listened to everything you said and I will always remember it. I promise,” ucap Nathan.

Ya udah, Mama tutup, ya. Dadah, anak-anakku!

“Dadah, Mamaaa!” ucap Anora dan Nathan dengan serentak.

Nathan mengernyitkan keningnya ketika melihat Anora yang merangkul Jean. Keduanya berjalan bersama, sesekali keduanya hampir limbung. Entah apa yang terjadi pada Jean sehingga Anora harus merangkul Jean seperti itu. Nathan akui kalau dirinya cemburu. Siapa yang tidak cemburu melihat kekasihnya merangkul laki-laki lain? Ya, meski Nathan tau kalau Jean adalah sahabat Anora. Tapi, tetap saja terbesit rasa cemburu ketika melihat kedekatan keduanya.

Sementara itu Anora menghela napasnya, dia sudah tidak kuat lagi membopong tubuh Jean. “Lu bangun, dong! Capek banget gue bopong lu, ya Tuhan. Awas aja kalau sadar, gue tonjok lu karena udah nyusahin gue.” Anora menggerutu sepanjang perjalanan.

Langkahnya terhenti ketika Jean mengatakan sesuatu yang membuat dirinya terkejut. Bahkan ia hampir melepaskan rangkulan keduanya.

“Ra, I love you. I’ve had a crush on you since before you dated Nathan. I know that we’re friends, but this damn feeling suddenly came. I’m sorry for having these feelings, I shouldn’t have more feelings for you. You know my heart hurts when I see you dating Nathan. But I’m happy when I see your smile when you’re with him. I hope you’re happy with him,” racau Jean.

“Jean ....?” lirih Anora dengan sisa keterkejutannya.

Jean berdehem, “Anora? Ngapain lo di sini? Lo mau bawa gua ke mana? Kepala gua pusing.”

You're drunk, Je. I’ll take you to your apartment,” balas Anora. “Badan lo berat,” cicitnya.

Sorry,” gumam Jean. Ia baru saja akan melepas tangannya dari bahu Anora, tapi, Anora menahannya.

“Nanti lo jatuh kalau jalan sendiri,” kata Anora.

“Gav mana?” tanya Jean.

“Dia udah ke atas sama Mimi, sekarang tinggal lo doang, nih. Katanya pusing? Cepet jalan,” ujar Anora.

Anora menolehkan kepalanya, melihat Jean yang wajahnya sudah memerah. Jean memiringkan kepalanya. Jika seseorang melihatnya, maka mereka akan salah paham dengan posisi keduanya. Anora langsung memalingkan wajahnya dan melanjutkan langkahnya.

Baru saja keduanya akan memasuki lift, seseorang ada yang memanggil nama Anora. Dan Anora jelas mengenali suara itu. Anora menghentikan langkahnya. Ia menengok ke belakang dan terkejut melihat Nathan yang berdiri tak jauh darinya dan Jean.

Nathan menatap Anora dengan datar, wajahnya tanpa ekspresi. Ia melihat kejadian beberapa detik yang lalu, ia juga mendengar Jean yang confess secara tidak langsung pada kekasihnya.

“Kamu ngapain di sini? Sejak kapan kamu di sini, Nath?” tanya Anora terkejut.

“Daritadi, aku nungguin kamu. Aku baru buka HP dan baru tau kalau kamu pergi sama Mimi, katanya kamu nyusul Jean sama Gav?” balas Nathan.

Anora mengangguk, “Iya, ini Jean mabuk.”

And what just happened? I see and hear everything,” tanya Nathan dengan nada suaranya yang terdengar dingin.

“H–hah? You heard everything?” tanya Anora yang dibalas anggukan oleh Nathan.

And when Jean will kiss you?” ucap Nathan sambil terkekeh sarkas.

Mata Anora membulat, ia langsung menggeleng dengan cepat. “Ini gak yang kayak kamu pikirin, Nath. He didn’t kiss me. We just look at each other,” jelasnya.

He just confessed to you, why did you just leave him here?” tanya Nathan.

And let him sleep in the lobby? No. I'm not that bad to leave him here,” balas Anora.

“Kamu tau gak kalau selama beberapa hari ini kamu selalu sama Jean? Kamu juga selalu nyebut nama Jean setiap aku nanyain kamu lagi apa, sama siapa. And that fucking name you mentioned,” ujar Nathan. “Kamu akhir-akhir ini sama dia, kan? Aku sibuk bukan berarti kamu bisa sama dia terus, Ra. Aku masih bisa luangkan waktu buat kamu, kok.”

“Nath ....,” lirih Anora. “You know that we are friends. I’m not only with Jean, I’m also with Gavrian and Mimi or other friends,” jelas Anora. Matanya sudah berkaca-kaca, rasa kesalnya juga tiba-tiba datang. Hanya masalah sepele, namun, Nathan sangat keras kepala.

I know that you two are friends. I don’t like it when you’re near him. Yes, I’m jealous. And just now he confessed to you, I don’t want to see you close to him anymore,” ucap Nathan.

“Nath, aku lagi capek banget hari ini. Aku juga mau anter Jean ke apartemennya, terus kamu dateng buat ngajak aku berantem. Aku capek. Nanti dulu berantemnya, aku harus jaga temen aku, Nath. We'll talk about this later. Atau kamu mau ikut aku?” ujar Anora.

Nathan menggeleng, “We talk on the phone or in chat. Take good care of your friends. I’ll go home, Ra. See you.” Nathan tersenyum sedikit, ia membalikkan tubuhnya dan meninggalkan Anora yang sudah menangis diam-diam.

Nathan salah paham dan keras kepala. Hubungan mereka sekarang tidak baik-baik saja.

TW // blood , silet , harshwords , family problem , attempt to harm , murder.

Setelah berdiam diri bermenit-menit di bawah tangga, Kailee akhirnya membuka pintu rooftop. Teman-temannya sudah berjaga-jaga di sekitar bawah rooftop. Kailee mengedarkan pandangannya. Ia menemukan Rael yang berdiri di ujung pembatas rooftop, gadis itu melangkahkan kakinya untuk lebih dekat dengan Rael.

Rael yang menyadari ada suara langkah kaki langsung membalikkan tubuhnya. Wajahnya sudah dibuat menyedihkan dengan air mata di sudut matanya. Bahkan hidungnya yang memerah karena blush on agar membantu aktingnya. Rael mulai adegan terisak-isak, ia segera memeluk Kailee, kemudian lanjut menangis.

Kailee yang terkejut hanya bisa menepuk punggung Rael, menenangkan sepupunya yamg sedang menangis. Kemudian Rael menjauhkan diri dari Kailee.

“Kailee, aku nyesel banget. Aku minta maaf sama kamu, aku gak tau harus gimana lagi. Aku di drop out dari sekolah. Aku malu sama orang-orang,” ucap Rael.

“Sabar, ya—”

Ucapan Kailee terpotong karena Rael yang kembali bersuara, “Siapa, sih, yang nyebar video-nya? Pasti dia mau aku hancur dan bikin aku malu,” ucapnya. Kailee tertegun dengan ucapan Rael. Ia meremas rok sekolahnya dengan perasaan gelisah.

“Kamu tau, Kailee?” tanya Rael.

Kailee menggeleng pelan, “Enggak. Gue gak—”

Lagi-lagi ucapan Kailee terpotong.

“Masa gak tau? Bukannya kamu yang videoin?” tanya Rael.

Kailee mengernyitkan keningnya. Dari mana Rael tau? Kailee menatap Rael dengan was-was. Gadis di depannya mulai menghapus air mata bohongan, kemudian ia bertepuk tangan. Pandangan Rael tak lepas dari Kailee yang juga menatapnya.

“Keren banget kamu, Kailee. Ini, kan, yang kamu mau? Kamu mau hancurin aku, kamu mau bikin aku malu. Makanya kamu lakuin berbagai cara buat jatuhin aku, sampai aku dikeluarin dari sekolah. Kamu seneng, kan?” cerca Rael.

“Maksud lo? Gue lakuin ini karena lo emang pantes buat dapetin ini, Rael. Ini semua karma lo!” seru Kailee.

Rael tertawa, “Karma? Mungkin kamu yang bakal dapet karmanya setelah ini, Kailee.”

“Dih, gak usah ngelantur lo! Lo yang berbuat salah, lo yang harus nanggung karmanya. Gue di sini cuma mau menguak kejelekan lo selama ini. Kelakuan lo yang menindas orang-orang yang gak bersalah dan merampas paksa uang mereka cuma buat kesenangan lo doang. Lo mikir, gak? Kalau lo itu jahat? Lo bahkan lebih dari jahat, Rael. Lo brengsek. Lo egois. Harusnya kalau lo punya otak, lo bisa mikir apa karma yang bakalan lo dapetin setelah lakuin ini,” ujar Kailee.

“Lo itu gak tau apa-apa tentang gue, Kailee. Lo gak usah sok tau. Lo juga gak perlu sampai kayak gini juga kali. Sampah,” balas Rael sengit.

“Sampah? Terus lo apa? Rongsokan? Ngaca deh, Rael. Gue kayak gini bukannya mau jatuhin lo. Enggak. Gue mau lo sadar! Tapi, kayaknya lo disadarin pake cara apa pun juga gak bakalan sadar, iya, kan? Dan satu lagi, gue tau semua tentang lo,” ucap Kailee. Tatapannya menajam, seakan-akan siap menerkam Rael kapan pun.

“Ini semua salah lo, Kailee! Lo juga harus ngerasain hal yang sama kayak gue. Gak adil kalau cuma gue doang yang ngerasain ini, lo juga harus ngerasain!” teriak Rael.

Suara Rael terdengar sampai ke luar. Kalilo yang terkejut mendengarnya pun ingin menaiki tangga dan menghampiri Kailee, namun, Abi menahan tangannya. Menyuruh Kalilo untuk tetap di sini. Sekarang bukan waktunya mereka muncul menyelamatkan Kailee. Mereka harus menjalankan rencana awal. Kalilo menghembuskan napasnya kasar, ia sangat khawatir dengan Kailee.

“Lo harus ngerasain gimana hidup gue yang sengsara, sedih, menyakitkan. Semuanya! Lo juga harus ngerasain apa yang gue rasain!”

Rael mendekati Kailee secara perlahan-lahan, membuat Kailee memundurkan langkahnya perlahan-lahan pula.

“Semua orang selalu ngomongin lo. Bahkan Mama juga lebih milih ngobrol sama lo, padahal beliau baru aja datang ke sini. Tapi, dia lebih milih lo daripada anaknya yang jelas-jelas duduk di sampingnya. Dunia selalu tentang lo, Kailee! Gak adil.”

Rael semakin mendekatkan dirinya, wajahnya sudah berantakan, dipenuhi oleh air mata sungguhan. Kailee hanya diam mendengarkan semua unek-unek Rael yang mungkin ia pendam sendirian.

“Gue iri sama lo yang punya keluarga utuh, keluarga lo harmonis. Lo punya dua kakak, orangtua lengkap. Hidup lo juga bahagia. Lo punya temen-temen yang baik, lo punya pacar yang baik juga, lo beruntung banget, Kailee. Gue juga mau ngerasain itu semua! Tapi, kenapa seolah-olah dunia gak bolehin gue buat ngerasain hal yang sama?”

Kailee terdiam.

“Mama sama Papa cerai, Mama ninggalin gue sama Papa karena Papa yang maksa, gue tinggal di rumah sendirian sama Papa dan kadang Papa mukul gue. Gue juga pengen punya keluarga utuh. Gue butuh kasih sayang mereka, tapi, gue gak dapetin itu semua, Kailee. Gue gak seberuntung lo.”

“Rael, ini semua bukan salah gue. Ini salah hati lo yang terlalu iri sama kehidupan orang lain! Lo salah. Tuhan kasih porsi bahagia sama sedih buat umatnya masing-masing secara seimbang. Lo pikir gue gak pernah sedih karena punya keluarga utuh? Gak, Rael. Punya keluarga utuh juga kadang bikin gue sedih. Gue juga punya masalah sama keluarga gue sendiri. Gue gak selamanya hidup bahagia kayak yang lo omongin, Rael. Lo salah besar. Hapus rasa iri lo, gue yakin lo bisa dapetin itu semua nanti. Lo gak boleh kayak gini, yang ada lo malah nambahin penyakit hati,” ucap Kailee dengan hati-hati. Ia tidak mau menyakiti hati Rael dan menyinggungnya.

“Tapi, dunia selalu berputar ke lo, Kailee. Semua orang ngomongin lo. Kailee, Kailee, Kailee. Semuanya aja nama lo yang disebut!” seru Rael.

“Rael—” Kailee tercekat ketika punggungnya sudah menyentuh tembok dan Rael berdiri beberapa langkah di depannya.

“Oke, gue minta maaf sama lo karena udah bikin lo kayak gini. Gue gak ada bermaksud kayak gini karena ini bukan sepenuhnya salah gue. Kalau lo maunya gue minta maaf sama lo. Gue minta maaf, Rael. Berhenti kayak gini, ya? Lo jahat buat diri lo sendiri, buat orang lain juga.” Kailee berucap sembari menatap Rael dengan iba. Tangannya menggenggam rok sekolahnya dengan kuat. Ada sedikit perasaan takut di hatinya.

“Anjing lo, Kailee. Gue harap lo gak ada di dunia ini! Gue muak sama lo!” teriak Rael.

“Dan lo gak usah sok-sokan bilang kayak gitu sama gue. Gue gak butuh permintaan maaf dari lo, anjing! Gue benci sama lo!” teriak Rael.

Kemudian tanpa aba-aba, Rael mendekati Kailee dan berusaha untuk mencekiknya. Untungnya Kailee bisa menghindar dengan mudah.

“RAEL!”

Teriak Kailee membuat Kalilo panik, ia menyuruh Agam dan Sachi untuk memanggil polisi. Kemudian ia menyuruh Adira dan Abi untuk melaporkan pada guru. Kini tersisa Kalilo dan Dika. Sementara Ella menunggu dari seberang rooftop, menunggu di bawah sembari berjinjit untuk melihat keadaan. Namun, nihil, ia tidak bisa melihat dengan jelas.

Ella membulatkan matanya ketika melihat Rael yang berusaha mencekik Kailee, mereka berada di dekat pembatas. Jika melangkah lebih jauh, hal fatal akan terjadi. Dengan terburu-buru, Ella menelpon Kalilo dan memberitahunya. Kalilo langsung menaiki tangga, disusul oleh Dika.

Pintu rooftop yang dikunci—entah sejak kapan—berusaha untuk didobrak oleh Kalilo dan Dika. Rael yang mendengarnya, menatap pintu dan Kailee bergantian.

“Lo ngajak siapa ke sini?!” tanya Rael.

“G–gue gak ngajak siapa-siapa,” balas Kailee.

“Bohong! Gue udah suruh lo buat dateng sendirian, anjing. Dan lo nekat ngajak temen-temen lo?” teriak Rael.

“Enggak, Rael. Gue dateng sendirian!” balas Kailee.

“Mati aja lo, Kailee. Gue muak liat lo terus-terusan. Gue muak!” teriak Rael.

Ia mengeluarkan silet dari saku seragam sekolahnya. Kailee yang melihatnya sontak membulatkan matanya.

“Jangan gila lo, Rael! Sadar, Rael! Lo gak seharusnya kayak gini, anjing!” teriak Kailee. Ia takut setengah mati. Ia takut hidupnya akan berakhir begitu saja di sini. Kailee tidak mau. Ia belum siap meninggalkan dunia selamanya.

Brak brak brak

Rael, buka pintunya, bangsat!” teriak Kalilo.

“Pacar lo mau nyelamatin lo ternyata. Katanya gak ngajak siapa-siapa?” Rael berdecih. Ia mendekati Kailee dengan silet di tangannya.

“Rael, gue mohon sama lo. Buang silet itu jauh-jauh,” pinta Kailee sambil menahan tangis.

“Gak semudah itu, Kailee. Hidup gue berantakan, gue juga mau hidup lo berantakan. Atau gue mau hidup orang-orang terdekat lo sengsara karena lo gak ada. Dengan begitu, gue bisa menikmati hidup gue,” kata Rael.

I hate you, Kailee. Selamat tinggal, i guess? Hehe.” Rael terkekeh.

Brak

Pintu berhasil didobrak. Kalilo mendelikkan matanya, ia langsung buru-buru berlari ke arah Kailee dan Rael.

“Kak Kailee!”

“Akkhhh.”

Kalilo mendorong Rael hingga terjatuh dan menarik Kailee ke pelukannya. Lengan Kailee lebih dahulu terkena silet dan menyebabkan luka yang cukup dalam di lengannya. Kailee meringis kesakitan, ia menangis dengan kencang di pelukan Kalilo karena rasanya sesakit itu.

Dika mengikat Rael dengan tali. Rael memberontak untuk dilepaskan, gadis itu berteriak seperti orang gila.

“Lepasin gue, brengsek!” teriak Rael.

“Anjing lo, Rael. Lo jahat, anjing. Manusia bukan lo? Gak punya hati, gak punya otak. Bangsat, hidup sana lo di neraka! Tempat itu pantes buat lo, bangsat. Setelah ini lo bakalan hidup sengsara di penjara!” teriak Kalilo murka.

Kalilo merobek seragamnya dan menutupi lengan Kailee yang luka dengan robekan seragamnya. Kailee menahan perih. Lukanya harus segera dijahit, dirinya sudah tidak bisa menahan terlalu lama.

Hingga sirine polisi terdengar. Rael terlihat ketakutan. Apa lagi ketika derap langkah banyak orang yang menuju ke rooftop membuat Rael panik. Ia bergerak-gerak agar ikatannya terlepas. Namun, semuanya percuma. Polisi sudah datang dan menyodorkan pistol agar Rael diam tak berkutik.

“Rael Aline ditangkap atas dugaan bullying dan mencelakai orang dengan benda tajam.”

Beberapa polisi segera melepaskan talinya dan memborgol tangan Rael, kemudian membawanya keluar dari rooftop dengan Rael yang masih memberontak.

“Awas aja lo, Kailee!” teriak Rael.

Kailee meneguk ludahnya, kepalanya terasa sangat pening. Hingga pandangannya menjadi buram, Kailee tumbang dan terjatuh di pelukan Kalilo. Kalilo yang panik langsung menyuruh Dika untuk memanggil ambulans.