aireanora

Rael masuk ke dalam ruangan kepala sekolah dengan takut-takut, perasaannya semakin tidak enak ketika melihat seseorang di dalam sana dan Mamanya juga berada di dalam. Anne menatapnya tanpa senyuman, matanya mengawasi Rael yang mulai mendudukkan diri.

“Kenapa saya dipanggil ke sini, Pak?” tanya Rael.

“Kamu tau siapa mereka?”

Rael menatap tiga orang perempuan seusia dirinya yang duduk jauh darinya—sengaja dijauhkan agar Rael tidak melakukan hal-hal aneh—Rael meneguk ludahnya dengan susah payah. Ia melirik Anne yang menatapnya, kemudian menatap kepala sekolah yang menunggu jawaban darinya.

Gelengan pelan dari Rael membuat Anne menghela napas kasar.

“Jangan bohong, Rael. Kamu pasti kenal, kan? Saya tau kamu pasti sedang mencari-cari kalimat untuk mengelak. Tapi, kenyataannya adalah kalau kamu tau siapa mereka. Mereka korban bullying kamu, kamu melakukan itu kepada ketiga anak ini. Mau mengelak apa kamu?”

Rael terkejut, ia berusaha untuk mengontrol raut wajahnya. Bagaimana semuanya bisa terbongkar? Bahkan Mamanya hanya diam tanpa angkat bicara.

“S–saya gak ngelakuin apa-apa, Pak,” ucap Rael dengan gugup.

“Saya menyimpan beberapa bukti yang kuat, apa kamu masih akan mengelak setelah melihatnya?”

“Saya gak bersalah, Pak! Saya gak ngelakuin apa-apa sama mereka! Kalau mereka yang melapor, semua itu bohong. Saya gak ngelakuin apa pun.”

Sebuah video terputar di layar proyektor. Membuat Rael yang sedang melayangkan protesnya langsung terdiam, memperhatikan video itu dengan wajah terkejutnya dan detak jantungnya yang berdetak dengan kencang. Video itu ... Darimana video itu berasal? Rael sudah panas dingin. Semuanya sudah ketahuan. Hidupnya sebentar lagi sudah berakhir.

“Mau mengelak apa lagi, Rael? Buktinya sudah kuat.”

“I–itu bohong, Pak. Video itu palsu!” seru Rael yang nyaris teriak.

“Rael ....,” panggil Anne.

“Ma, Rael gak ngelakuin itu. Percaya sama Rael, ya, Ma?” ucap Rael dengan suara bergetar.

“Nak, bukti itu sudah jelas. Banyak sanksi juga. Kamu tidak bisa mengelaknya,” ujar Anne.

“Mama kok gitu, sih?! Mama gak dukung aku?! Harusnya Mama bela aku, bukan bela mereka!” teriak Rael murka.

“Itu sudah jelas, Rael. Buktinya sudah jelas! Mereka tidak bersalah, kamu yang bersalah. Kamu yang harus bertanggung jawab atas apa yang udah kamu lakuin sama mereka. Kamu harus terima hukuman yang nantinya akan diberikan ke kamu,” ucap Anne.

“Tapi, aku gak ngelakuin itu, Ma! Buat apa aku ngelakuin itu semua? Itu cuma editan, itu palsu. Mama tolong percaya sama aku,” ucap Rael sembari memohon. Kini ia sudah menangis terisak-isak.

“Maaf, nak ... Mama percaya kamu bisa bertanggung jawab. Karena Mama tidak pernah mengajarkan kamu untuk berbuat jahat,” ucap Anne. “Kamu harus bertanggung jawab atas apa yang udah kamu perbuat. Entah itu yang terbaik untuk ke depannya atau tidak, kamu harus menerimanya.”

“Untuk ananda Rael Aline, anda dinyatakan di-drop out dari sekolah ini.”

“Gak! Saya gak terima! Ini bukan saya! Video ini editan! Mama, bilangin ke dia, aku gak bersalah!” teriak Rael tidak terima.

“Kamu bersalah, Rael. Kamu pantas buat dapat ini. Kamu harus terima,” ujar Anne.

“Mama jahat!”

“Mama kecewa sama kamu, Rael.”

Rael yang mendengar itu langsung tambah menangis, dadanya sesak sekali, ia telah mengecewakan Mamanya. Satu-satunya orang yang selalu menjaganya dan merawatnya hingga ia tumbuh besar. Ia malah mengecewakannya. Rael keluar dari ruangan kepala sekolah sembari menangis. Beruntungnya ini sudah jam pelajaran, jadi, tidak ada satu pun yang akan melihatnya menangis.

Kailee dan keluarganya sudah datang ke restoran yang sudah dipesan oleh Anne, tantenya. Mereka memakai baju semi formal karena ini hanya makan malam biasa, seperti makan malam di rumah tapi versi mewah. Kailee menunggu tantenya yang katanya akan datang sedikit terlambat karena ada sedikit kendala.

15 menit kemudian, Anne datang. Tampak seorang diri, Kailee mengerutkan keningnya. Rael gak ikut? Batinnya. Anne tersenyum, ia menyapa Amira dan Irwan, orangtua Kailee. Ia juga menyapa Kailee, Raiel, dan Jericho.

“Maaf ya, saya lama karena tadi ada kendala sedikit,” ucap Anne.

“Gapapa, An. Anakmu gak diajak?” tanya Amira.

“Oh, dia lagi di mobil. Katanya mau benerin make-up dulu,” balas Anne. Tak lama kemudian, Rael datang dengan senyum kikuknya. Ia sedikit terkejut karena melihat Kailee berada di sini. Rael duduk di samping Anne, ia juga menyapa orangtua Kailee.

“Kamu tau kalau Kailee sepupu kamu, kan, nak?” tanya Anne.

Rael mengangguk pelan, “Tau kok, Ma.”

Raiel dan Jericho menatap Rael datar, karena mereka masih mengingat kejadian perkemahan sekolah Kailee. Rael dengan rencananya untuk membuat Kailee hilang. Keduanya masih mengingat jelas kejadian itu. Tebakan mereka selama ini benar. Rael benar-benar sepupu mereka, yang artinya mereka adalah keluarga.

“Oh, tau Kailee sepupu lu? Kalian di sekolah temenan, kan?” tanya Jericho sengit. Rael hanya mengangguk, dirinya merasa takut dengan tatapan Jericho yang mengintimidasi.

Raiel terkekeh sarkas, “Sepupu apaan yang berusaha buat nyelakain sepupunya? Aneh.”

Suasana mendadak canggung. Kailee merasa tidak enak, ia menyenggol lengan Raiel untuk diam, ia juga mendelik pada Jericho. Jericho hanya mengangkat kedua bahunya acuh.

“Nanti kita bicarakan. Sekarang kita makan malam dulu, ya. Sudah lama saya tidak merasakan makanan Indonesia,” ucap Anne yang memecah keheningan.

“Maafin anak saya, ya, Anne. Dia emang gitu anaknya,” kata Amira yang merasa tidak enak hati akibat ucapan anaknya.

Anne tersenyum, “Gapapa, mbak.”


Makan malam itu berjalan dengan baik. Meski Rael merasa risih karena Jericho dan Raiel terus menatapnya dengan galak, diam-diam ia memaki kedua kakak sepupunya itu. Sedangkan Kailee hanya diam. Gadis itu banyak mengobrol dengan Anne. Tertawa bebas. Anne tampak lebih dekat dengan keponakannya daripada anaknya sendiri, hal itu membuat Rael kesal.

“Ma, kapan kita pulang?” tanya Rael, menginterupsi percakapan Anne dan Kailee.

“Sebentar lagi, ya, nak. Mama masih mau ngobrol sama Kailee, kangen soalnya,” balas Anne sambil tersenyum. Ia mengusap kepala Rael.

“Mama lebih kangen Kailee daripada aku? Aku anak Mama! Kenapa Mama malah lebih kangen sama dia? Harusnya Mama habisin waktu sama aku, bukan sama Kailee!” ujar Rael dengan kesal.

“Rael, Mama gak ngajarin kamu buat ngomong kayak gitu. Gak sopan! Mama bisa kasih waktu buat kamu besok, seharian full juga Mama jabanin. Kamu gak perlu bilang begitu. Cepat minta maaf sama Kailee!” ucap Anne sambil menahan kekesalannya.

What am I sorry for? I’m not guilty,” ucap Rael lalu pergi dari sana. Mengindahkan panggilan sang Mama. Ia sudah terlanjur kesal, lebih baik dia pergi dari sana sebelum kekesalannya memuncak.

“Aduh, maaf, ya. Saya gak enak hati sama kalian, makan malam kita jadi gak berkesan. Nanti kapan-kapan kita ngobrol lebih banyak, ya, Kailee. Mbak, aku izin pulang, ya. Makanannya sudah saya bayar semua. Kalian pulangnya hati-hati, ya. Sekali lagi saya minta maaf,” ujar Anne.

“Iya, tante. Hati-hati di jalan,” kata Kailee.

“Duh, gapapa, dek. Mbak ngerti, kok. Wajar aja Rael kesal gitu, hahaha. Hati-hati di jalan, ya!” ucap Amira.

Setelah mereka berpamitan, Kailee dan keluarganya juga segera pulang. Saat berjalan ke arah mobil, di samping kanan-kiri Kailee adalah kedua kakaknya. Ia serasa diapit oleh mereka karena tubuh kakak-kakaknya yang besar.

“Temen lu tuh, dek, nyebelin amat,” bisik Jericho.

“Adek sepupu lo!” seru Kailee.

“Ih, najis.” Jericho bergidik.

Kailee tertawa melihatnya.

“Orang kayak gitu harusnya gak ada di kehidupan kita. Ganggu. Bikin susah aja,” ucap Raiel kemudian berjalan lebih cepat ke arah mobil.

Nathan sudah berada di apartment Anora. Kini ia menunggu di dekat ranjang Anora. Gadisnya masih tertidur. Nathan merasa sedih melihat keadaan Anora saat ini. Rasa bersalah di hatinya tak kunjung hilang. Karena rasa bersalah itu akan tetap ada. Nathan menggenggam tangan Anora dan mengusapnya. Ia menidurkan kepalanya dengan tangan Anora yang ia genggam dan ia bawa ke pipinya. Jarinya masih setia mengusap tangan Anora yang ia genggam.

Suara lenguhan membuat Nathan langsung menegakkan duduknya. Ia menatap Anora yang perlahan membuka matanya. Laki-laki itu tersenyum.

Anora membuka matanya perlahan dan melihat Nathan yang duduk di samping ranjangnya sambil tersenyum. Ia mengernyitkan keningnya, heran kenapa Nathan ada di sini. “Nathan?” panggil Anora dengan suara serak.

Nathan menganggukkan kepalanya, “Yes, it's me. Mau minum?” balas Nathan. Anora mengangguk. Nathan dengan sigap mengambil segelas air putih yang berada di atas nakas, ia membantu Anora duduk dan menuntun Anora untuk minum dengan hati-hati.

“Kok kamu di sini?” tanya Anora.

“Aku khawatir sama kamu. Kata Gavrian kamu demam, aku langsung ke sini,” balas Nathan. “And I'm sorry about that. Tadi aku diajak nonton sama temen, dia maksa aku karena dia udah beli tiketnya. Aku gak bisa nolak, Ra. Aku mau ngabarin kamu, tapi, HP-ku mati. Aku minta maaf sama kamu.”

“Gapapa, Nath. Aku cuma kesel aja karena nunggu kamu tanpa kabar. Aku takut kamu kenapa-napa. Taunya lagi nonton,” ucap Anora sambil terkekeh saat menyelesaikan ucapannya.

Nathan menundukkan kepalanya, “Maaf.”

“Astaga, gapapa, Nathan. Jangan minta maaf,” kata Anora. “Asal kamu gak ngulangin lagi.”

Nathan mendongakkan kepalanya, “I promise I won't do it again, sayang.”

Anora tersenyum, “Peluk dong. Aku pengen dipeluk pacarku.”

Nathan tertawa, “Kamu tambah manja ya kalau sakit. Sini, aku peluk.”

Nathan menarik Anora ke dalam pelukannya. Laki-laki itu merengkuh tubuh gadisnya dan mengusap kepalanya dengan lembut. Anora memeluk tubuh Nathan dengan erat, menyenderkan kepalanya di dada bidang Nathan. Kepalanya sedikit pusing, membuat Anora ingin kembali tidur. Nathan menyamankan posisi keduanya setelah mendengar dengkuran halus dari Anora. Nathan tersenyum, ia mengecup pelan kepala Anora.

“Aku udah block nomernya,” ucap Kalilo. Ia meletakkan ponselnya di sampingnya kemudian beringsut mendekat ke arah Kailee yang tiduran di ujung ranjang sambil menatap laptopnya yang menampilkan sebuah kartun, tangannya sibuk menyuapkan popcorn ke dalam mulutnya.

Kailee menolehkan kepalanya, “Hahaha, kenapa?”

“Habisnya dia berisik banget, ganggu mulu. Mana tadi spam chat gara-gara aku tinggalin,” ucap Kalilo sambil cemberut.

Kailee tertawa, ia mencubit pipi Kalilo dengan gemas. “Kamu tuh kalau dibilangin jangan ngeyel. Jangan ninggalin dia, pasti dia bakalan ngomel-ngomel.”

“Tapi, kamu juga nyuruh aku buat kabur,” ucap Kalilo.

“Iya, sih. Lagian kamu bilang takut, ya aku suruh kabur, lah,” kata Kailee.

Kalilo menyengir, “Habisnya aku kayak dikejar rentenir,” katanya. Sontak Kailee tertawa mendengarnya.

Hush, gak boleh gitu!” tegur Kailee. Kalilo hanya tertawa.

Laki-laki itu menumpukan kepalanya di punggung sang kekasih, membuat Kailee keberatan karena beban di punggungnya. Berulang kali Kailee menyuruh Kalilo untuk menyingkir, tapi, Kalilo malah memeluk perutnya dengan erat. Malahan Kalilo sudah tertidur dengan kepala yang masih berada di punggungnya. Mau tidak mau, Kailee harus berbalik badan dengan hati-hati. Sekarang kepala Kalilo berada di perutnya.

“Kalilo, pindahin dulu kepala kamu. Jangan di perut aku,” bisik Kailee.

“Mhmmm.”

Kalilo bergumam. Ia memindahkan posisi tidurnya dengan mata yang terpejam. Sekarang kepalanya sudah sejajar dengan kepala Kailee, namun, tangannya tidak melepaskan pelukannya. Malahan semakin erat, membuat Kailee tidak bisa bergerak. Kailee tersenyum gemas melihat wajah Kalilo yang sedang tertidur pulas.

Ini adalah sebuah laporan; dari saya, untuk yang pertama kalinya, kepada semesta dan semua orang yang membacanya.

Beberapa bulan yang lalu, saya sudah berniat untuk tidak jatuh hati lagi setelah saya merelakan seseorang pergi, karena saya lelah berada di status yang tidak jelas. Lalu saya bertemu orang baru. Teman saya tahu kalau dia adalah orang baik. He’s friendly, smart, good at playing guitar. I like him. Tapi, setelah itu, semuanya sama saja. Saya dan dia berteman, lalu kemudian, we’re strangers again.

Saya cukup dibuat patah hati dan sangat amat sedih. Tapi, saya pikir-pikir, tidak ada gunanya bersedih karena orang yang sudah menjadi asing lagi seperti dulu. Apalagi setelah itu, kita benar-benar tidak ada interaksi sama sekali. Pernah saat itu hanya berinteraksi sekali, perihal dia yang ingin mengirimkan saya makanan. Kemudian, sudah, begitu saja. Kita kembali tidak mengobrol.

Selang beberapa lama, saya sadar kalau masih ada dia yang awalnya menjadi teman saya. Dia ... Baik, baik sekali. Dia hebat, dia keren, dia berbakat, dia jago membuat saya salah tingkah. Padahal dia hanya melakukan hal kecil, tapi, saya tetap salah tingkah.

Dari situ, saya menaruh hati padanya. Dengan harapan, setelah ini hati saya tidak dipatahkan. Saya amat sangat bahagia dengannya. Kami berteman baru sebentar, dekat juga bulan yang lalu. Namun, ternyata saya salah. Saya harus melihat dia menyukai orang lain dan menyaksikan dia yang sedang salah tingkah karena orang lain. Saya hanya bisa pura-pura mendukungnya, padahal hati saya sudah kacau hancur berkeping-keping.

Tapi, setelah saya melewati semua itu. Saya berhasil membuat dirinya menjadi milik saya. Awalnya saya berpikir kalau saya tidak mempunyai kesempatan karena dia pernah bilang kalau dia tidak sedang menyukai siapa-siapa. Tapi, sekarang dia menjadi milik saya. Entah sampai kapan. Namun, saya beruntung sekali. Saya merasa menjadi manusia paling bahagia saat itu. Saya seperti orang gila karena teringat ketika dia memberikan saya pilihan untuk menjadi pacarnya. Saya harus menjawab ‘ya’ atau ‘tidak’. Saya senang sekali. Saya benar-benar memiliki kesempatan untuk memilikinya.

Harsa Adjikala.

A name that fits him perfectly.

Entah sampai kapan kita akan bersama. Tapi, ingat, kalau saya beruntung memiliki kamu, saya senang bertemu kamu, saya senang bisa menjadi milik kamu, saya senang menghabiskan waktu bersama kamu. Intinya saya senang dan bahagia karena ada kamu.

Maybe we won't be together much longer or maybe just for a little while. But, I'm glad to meet you. Nice to meet you, Harsa Adjikala. Every second that we pass, I’ll always remember forever. Remember that I love you so much from here. I hope you’re always happy.

Laporan yang pertama, sudah selesai.

Nathan memberhentikan mobilnya di salah satu restoran. Ia turun dari mobil dan berlari kecil memutari mobilnya dan berhenti di depan pintu samping kemudi, ia membukakan pintu untuk Anora. Anora yang diperlakukan demikian pun merasa salah tingkah. Nathan tersenyum, ia menggandeng Anora masuk ke dalam restoran.

Di dalam restoran yang nuansanya sangat romantis, dengan orang-orang yang berada di panggung kecil yang ada di sana sedang memainkan alat musik. Anora suka suasana seperti ini. Membuat hatinya tenang dan membuat dirinya seperti berada di sebuah novel.

“Suka, gak?” tanya Nathan ketika mereka berdua sudah duduk di salah satu meja yang dekat dengan panggung.

Anora mengangguk, “Suka banget! Kamu ngapain ngajak aku ke sini?”

Brunch with you, sama ada hal lain yang spesial buat kamu nanti,” balas Nathan.

Anora mengerutkan keningnya ketika mendengar penuturan Nathan, “Hal spesial apa?” tanyanya penasaran.

You will know later,” ucap Nathan sambil tersenyum miring. Anora mendengus, Nathan tertawa melihatnya. “Pilih makanan yang kamu mau, oke? Bebas, apa aja.” Anora menganggukkan kepalanya.

Setelah memesan beberapa menu untuk brunch keduanya, mereka menunggu sambil mengobrol banyak hal. Sampai akhirnya pesanan mereka sudah datang, keduanya segera menghabiskan makanannya. Tidak butuh waktu lama untuk mereka berdua menghabiskan makanan. Sekarang keduanya sedang berdiam diri sambil menikmati alunan musik yang berada di sana.

Nathan berdehem membuat Anora mengalihkan pandangannya, Nathan mendekatkan dirinya pada Anora. Laki-laki itu merasa gugup karena sebentar lagi hal spesial yang tadi ia katakan akan segera ia tunjukkan.

I will show you that special thing, I hope you like it. And I hope this makes you memorable,” ucap Nathan dan beranjak dari duduknya.

Are you going to sing up there?” tanya Anora, matanya melirik ke panggung kecil di depan mereka.

Nathan mengangguk, “You wait here and watch me sing.” Kemudian ia pergi menghampiri pelayan, meminta izin untuk bernyanyi di atas panggung sana selama beberapa menit ke depan. Setelah berbincang-bincang, Nathan segera pergi ke panggung.

Laki-laki itu tersenyum ke arah Anora yang memperhatikannya. Meski dia merasa gugup, Nathan berusaha untuk meminimalisir detak jantungnya agar tidak berdetak dengan kencang.

Hello Ma'am, Sir. Sorry for interrupting your time. I'm here to sing a song, especially for the girl sitting up front,” ucap Nathan. “I hope you all enjoy it, thank you.” Semua orang yang berada di sana bertepuk tangan, termasuk Anora. Gadis itu menahan dirinya untuk tidak berteriak.

Suara alunan musik mulai terdengar, Nathan memegang mic yang berada di depannya. Pandangannya menatap lurus ke Anora. Keduanya saling berpandangan dengan debaran jantung yang menggelora. Lampu yang tadinya terang menjadi redup dan hanya menyinari Nathan yang berada di atas panggung. Hingga akhirnya Nathan mulai bernyanyi.

Since I've known you babe You brought a light for me But taste of your sincerity Build me a world to believe

Hati Anora menghangat mendengar suara Nathan yang selalu enak didengar. Lagu ini adalah lagu kesukaan Nathan. Laki-laki itu selalu memutar lagu ini ketika mereka sedang bersama. Anora tidak pernah lupa lirik setiap lirik yang ada di lagu ini. Gadis itu bahkan hafal betul lirik lagunya karena Nathan selalu memutarnya berkali-kali setiap mereka bertemu.

But still there's a doubt In you for loving me Though deep down inside You'll see what's in me

Lirik ini yang selalu Anora ingat, ia tersenyum ketika Nathan menyanyikan bagian ini. Gadis itu juga ikut bernyanyi tanpa suara.

Hingga akhirnya lirik yang selalu Nathan lafalkan setiap malam di kamarnya pun datang, Nathan menyanyikannya sambil menatap Anora dengan senyuman di wajahnya.

Be my lady Be the one And good things will come To our hearts You're my lady You're my one Give me a chance to show you love

Nathan menyanyikan lagu itu sampai akhir. Semuanya bertepuk tangan ketika Nathan menyelesaikan lagu yang ia nyanyikan. Ia membungkuk dan mengucapkan terima kasih. Oh, belum selesai sampai di sana, Nathan kembali bersuara.

It's not over yet, I want to say something to someone I really love.

The days that I spend with you feel real and beautiful, I love my days that are always with you. Even when I see your smile one day, I feel my world is only for you. Some of the moments that we did together, are stored neatly in my memory. Even the feelings that are growing every day, make me confused. I always think, do I deserve you? Do I deserve to be the only one for you? Do I deserve a girl like you?

You're the only one who makes me happy besides my parents and my friends. Hey, after all this, have you fallen in love with me? Since I'm so in love with you, I think this is the right time.

“Anora, the prettiest girl after Mama, how do you feel about me? Did I manage to make you fall in love? That song was for you. So, do you want to be my lady? Be the only one? I promise I will make you feel the beauty of love and feel more happiness than this. Would you?”

Anora sangat terkejut. Jantungnya tambah berdetak dengan kencang. Semua orang bersorak, bersiul, dan bertepuk tangan. Nathan turun dari panggung dan menghampiri Anora yang masih terdiam. Gadis itu masih memproses semuanya.

Hey, what's your answer?” tanya Nathan, ia menggenggam tangan Anora dengan lembut. Jarinya mengusap punggung tangan Anora, tak lupa dengan senyuman di wajahnya.

You made me fall in love when we first met. So, my answer is yes, Nath,” balas Anora sambil tersenyum.

Nathan bersorak, “She said yes!” teriaknya yang membuat semua orang bersorak senang dan bertepuk tangan.

Thank you, Ra. I promise I won't break your heart, I will make you happy and feel loved,” ucap Nathan.

Anora tersenyum mendengarnya. Nathan menarik Anora ke dalam pelukannya, Anora membalas pelukan Nathan dengan erat. Hari ini adalah hari paling bahagia dan berkesan untuk keduanya. Hari yang tidak akan pernah mereka lupakan.

“Kalilo, aku kayaknya pulang ke rumah pembantu aku deh. Nanti aku kasih tau arah jalannya,” ucap Rael.

Kalilo hanya mengangguk. Keduanya segera keluar dari area sekolahan. Rael memberitahu arah jalan menuju ‘rumah pembantunya’ yang tempatnya tidak jauh dari sekolah. Motor Kalilo berhenti di salah satu rumah yang pernah Kailee datangi saat itu. Kalilo turun dari motornya setelah Rael turun dari motornya. Gadis itu mengajaknya untuk masuk ke dalam rumah yang tidak terlalu besar.

Di dalamnya sangat bersih, bahkan perabotannya tertata dengan rapi. Kalilo duduk di sofa yang berada di sana, matanya mengelilingi ruangan itu. Berharap ada salah satu petunjuk yang bisa ia gunakan nantinya.

“Bentar, ya. Aku mau ganti baju dulu. Jangan salah paham, aku bawa beberapa bajuku di rumah pembantu aku,” ucap Rael dengan penjelasan. Padahal Kalilo tidak meminta penjelasan darinya.

Setelah itu Rael pergi dari hadapan Kalilo. Kalilo bingung, kenapa tidak ada pembantu seperti yang dikatakan oleh Rael. Padahal, kan, katanya ini rumah pembantunya. Aneh. Kalilo berdiri dari duduknya, kemudian ia mengelilingi ruangan itu. Matanya tertuju pada salah satu bingkai foto yang berada di samping lemari. Kakinya melangkah mendekat untuk melihat lebih jelas.

Keningnya mengernyit ketika melihat perempuan dewasa yang berada di foto itu. Kalilo merasa kalau dia pernah bertemu dengan perempuan itu. Tapi, ia lupa bagaimana detail kejadiannya. Yang pasti, Kalilo pernah bertemu dengannya di rumah Kailee ketika Kailee mengajaknya makan malam bersama keluarga besarnya. Saat itu adalah pertama kalinya Kalilo dikenalkan ke keluarga besar Kailee.

Kalilo buru-buru mengambil ponselnya dan memfotonya, kemudian ia kembali duduk ke tempat semula sebelum Rael datang. Tidak lama kemudian setelah ia mendudukkan diri, Rael datang dengan senyum sumringah.

“Pembantu lo mana?” tanya Kalilo.

Rael tampak panik ketika Kalilo berkata demikian, “Eh, kayaknya dia lagi pergi ke supermarket. I–iya, ke supermarket.”

“Jadi, di sini cuma ada kita?” tanya Kalilo.

Rael mengangguk.

“Ya udah, gua pulang aja. Gak enak kalau cuma berduaan,” ucap Kalilo. Gua gak mau disangka anak nakal, batinnya.

“Aku anter sampai ke depan, ya. Maaf, aku gak nyiapin minuman buat kamu,” ucap Rael.

“Gapapa, gua juga gak haus,” balas Kalilo. Ia melangkahkan kakinya keluar dari rumah milik pembantu Rael.

Kalilo berpamitan pada Rael, setelah itu ia pergi dari sana. Di sepanjang perjalanan, Kalilo masih memikirkan perempuan yang berada di foto tadi. Hingga ketika dirinya berhenti di lampu merah, ia baru ingat siapa perempuan itu. Kalilo bingung, perempuan kecil di foto itu Rael atau anak dari pembantunya? Dan perempuan dewasa itu adalah pembantu Rael atau ....? Kalilo mendengus, ia langsung melajukan motornya ketika lampu sudah berubah menjadi warna hijau. Ternyata memikirkan ini semua membuat dirinya pening. Rasanya Kalilo ingin cepat-cepat sampai ke rumah.

Saat ini Anora dan Nathan sedang berjalan-jalan di sekitar taman. Ya, di sini lah mereka. Tadi keduanya sempat bingung akan pergi ke mana, akhirnya Nathan memutuskan untuk mengajak Anora ke taman yang tidak jauh dari kampus Anora. Keduanya duduk di atas rerumputan sembari menghirup udara segar sore hari. Tidak ada percakapan apa pun di antara keduanya. Hanya ada suara orang-orang yang mengobrol dan deru angin yang menyapa telinga keduanya.

1 menit.

3 menit.

5 menit.

“Nath.”

“Ra.”

Keduanya berucap bersamaan, kemudian mereka berdua tertawa.

“Haha, kamu duluan deh,” ucap Nathan mempersilakan Anora untuk berbicara terlebih dahulu.

“Gapapa, sih. Cuma tadi ngerasa sepi soalnya diem aja ....,” ucap Anora sambil memainkan tali sepatunya.

Nathan terkekeh, “Sekarang ngobrol, yuk? Ngobrolin apa aja deh.”

Anora bergumam tidak jelas, ia masih memainkan tali sepatunya. Tidak menatap Nathan sama sekali. Sedangkan Nathan, laki-laki itu memperhatikan gerak-gerik Anora.

“Kamu kepikiran gak nanti kalau udah selesai kuliah, kita bakalan ketemu lagi, gak?” tanya Anora setelah lama berdiam.

“Iya, i guess? Kalau gak ketemu lagi, aku cari kamu sampai ketemu,” balas Nathan.

Anora tertawa, “Kalau gak ketemu, gimana?”

“Ya, pokoknya aku cari terus sampai ketemu. Kalau gak ketemu, aku suruh Kevin buat nyariin kamu juga,” ucap Nathan.

Anora mengerutkan keningnya, “Kok Kevin?” Ia menaruh atensinya pada Nathan.

Nathan menaikkan sebelah alisnya, “Karena dia kenal deket sama kamu. Pasti bakalan ketemu kalau aku nyuruh dia buat nyari kamu.”

“Aku maunya kamu yang nyari,” ucap Anora.

Nathan tertawa, tangannya terulur untuk mencubit pipi Anora hingga sang empu cemberut. “Ya udah, aku yang cari sampai ketemu. Kalau gak ketemu, aku bakalan terus cari tanpa bantuan siapa-siapa.”

Anora tersenyum lebar. Gadis itu duduk dengan tegak, rambutnya berterbangan karena tertiup angin. Namun, ia enggan untuk mengikat rambutnya dan membiarkan rambutnya terbang tertiup angin.

“Kamu butuh pelukan gak, Ra?” tanya Nathan.

“Hah?!”

“Kenapa?” tanya Nathan yang melihat raut terkejut di wajah Anora.

Anora menggelengkan kepalanya, “Aku ... kaget aja, sih. Tiba-tiba banget kamu nanyain kayak gitu.”

Nathan lagi-lagi tertawa, entah sudah ke berapa kalinya ia tertawa. Ia mendekatkan tubuhnya ke Anora, kemudian menatap Anora dari samping. “Maybe you feel tired, I can hug you anyway. Whenever you want, I can hug you.

Can I hug you now?” tanya Anora.

Nathan menganggukkan kepalanya, “Sure. Come here.

Anora langsung memeluk Nathan yang sudah membuka kedua tangannya. Gadis itu menenggelamkan kepalanya di bahu Nathan, menghirup aroma tubuh Nathan yang memabukkan. Anora melingkarkan kedua tangannya di leher Nathan. Sedangkan Nathan, ia memeluk pinggang Anora dengan erat. Ia menumpukan kepalanya di bahu Anora, menghirup aroma vanilla dari rambut Anora.

Keduanya saling memeluk satu sama lain selama beberapa menit. Menghiraukan beberapa pasang mata yang menatap keduanya. Mereka tidak peduli. Mereka hanya ingin memeluk satu sama lain dengan waktu yang lama. Sampai matahari tenggelam mungkin mereka akan sanggup melakukannya.

Tak berselang lama, Anora melepas pelukannya. Wajahnya berubah menjadi memerah. Ia menundukkan kepalanya, membuat rambutnya menutupi wajahnya. Nathan terkekeh, ia merasa gemas dengan Anora. Laki-laki itu mengusap kepala Anora dengan lembut.

“Makan, yuk? Kita cari tempat makan di sekitar sini,” ajak Nathan. “Or do you want to eat something?

“Mau McD,” jawab Anora.

Okay, let's go find it. I think my girl is hungry,” ucap Nathan. Ia membantu Anora untuk berdiri, kemudian ia mengambil alih tas Anora untuk ia bawa. Padahal Anora sudah melarangnya, tapi, Nathan tetep kekeuh.

Keduanya kembali ke mobil Nathan dan pergi mencari McD yang dekat di daerah sana. Di sepanjang perjalanan keduanya mengobrol agar suasana tidak sunyi. Meski Anora merasa gugup, ia mati-matian untuk tidak memperlihatkannya. Laki-laki di sampingnya tampak santai setelah mengucapkan ‘my girl’ padahal Anora merasa kalau hatinya kacau. Bisa-bisanya Nathan membuat dirinya selalu salah tingkah.

Anora dan teman-temannya sedang mengelilingi British Museum. Akhirnya mereka memiliki waktu luang untuk pergi jalan-jalan bersama, karena biasanya mereka sibuk dengan urusan kuliah. Mereka hanya memiliki waktu luang sesekali, terkadang jadwal mereka bertabrakan. Jadi, kalau mereka ingin jalan-jalan bersama, maka harus menyesuaikan jadwal satu sama lain agar bisa pergi dengan formasi lengkap.

Stop foto-foto, gua capek fotoin,” keluh Gavrian ketika Mimi menyuruhnya untuk mengambil fotonya lagi.

Anora tertawa mendengarnya, “Gapapa kali, Gav. Buat kenangan.”

Did you say 'it's okay'? I'm tired! I'm not a photographer,” ucap Gavrian dengan wajah muramnya.

One more, please?” pinta Mimi sambil memasang puppy eyes andalannya. Gavrian memutar bola matanya jengah, kemudian mengambil kamera dari tangan Mimi. Mimi bersorak senang, ia berjalan ke arah lain untuk dijadikan objek foto dirinya. Kemudian ia berpose dan Gavrian memfotokan dirinya dengan kamera milik Jean.

Anora melirik Jean yang hanya diam sambil memperhatikan beberapa art yang dipajang di sini. Anora berjalan mendekati Jean, ia merangkul bahu Jean dan tersenyum ketika Jean menoleh ke arahnya. “What are you doing?” tanya Jean sambil menatap lengan Anora yang berada di bahunya.

“Ngerangkul lo, lah. Daritadi lo diem mulu. Ngomong, dong,” balas Anora.

“Males,” kata Jean. Anora mendengus. Sahabat masa kecilnya ini memang jarang berbicara. Jean hanya berbicara seperlunya. Katanya buang-buang tenaga saja, padahal menurut Anora, berbicara tidak membuang banyak tenaga.

Anora memperhatikan sekitar, hingga maniknya tidak sengaja melihat seseorang yang selalu membuatnya tidak bisa tidur setiap malam karena selalu datang ke pikirannya. Anora mengerjapkan matanya berulang kali, “It's really him,” gumamnya.

Jean melihat Anora yang diam sambil memperhatikan seseorang, ia mengikuti arah pandang Anora. Ia memasang smirk di wajahnya, “Is that Nathan?” tanyanya.

I think yes, mukanya mirip,” balas Anora.

Hingga ‘Nathan’ mengalihkan pandangannya dan menatap Anora, keduanya saling berpandangan beberapa detik. Anora tersadar, ia tersenyum canggung ke arahnya. Itu benar-benar Nathan, Anora tidak salah lihat dan tidak salah menebak. Nathan tersenyum, ia mengajak Jake untuk menghampiri Anora yang berdiri mematung di tempat tadi. Anora merasa detak jantungnya bisa didengar orang lain karena detak jantungnya sangat cepat. Apalagi ketika Nathan tersenyum ke arahnya, rasanya kakinya berubah menjadi jelly.

Hi, Anora. We meet again,” sapa Nathan sambil tersenyum.

Hi, Nath.” Anora tersenyum, ia menatap Jake dengan alisnya yang terangkat sebelah. “Is he your friend?” tanyanya.

Nathan mengangguk, “His name is Jake, he is also from Indonesia.” Ia menyikut lengan Jake untuk berjabat tangan dengan Anora.

Jake tersenyum, ia mengepalkan tangannya dan mengajak Anora untuk high five dengannya. “Nice to meet you, Anora.”

Anora tersenyum, “Nice to meet you!

Mimi dan Gavrian datang setelah selesai berfoto-foto—lebih tepatnya Mimi yang berfoto. Anora mengenalkan teman-temannya pada Nathan dan Jake. Anora baru tahu kalau Nathan dan Gavrian berteman ketika SMA. Makanya Anora terkejut ketika Gavrian dan Nathan cepat akrab, ternyata mereka teman lama.

Nathan mengajak Anora untuk berkeliling, sementara Jake ikut dengan teman-teman Anora. Awalnya Jake menolak karena mereka baru berkenalan, namun, Gavrian bilang tidak apa-apa. Nathan bersorak senang karena bisa mengajak Anora berkeliling dengannya, berdua.

“Mau tukeran akun Instagram, gak?” tanya Nathan.

“Boleh, yuk! Anoralyss ya nama akunku,” kata Anora. Nathan mengangguk, jari-jemarinya mencari nama akun milik Anora. Ketika menemukannya, ia langsung menekan tombol follow. “Udah aku follback, Nath. By the way, your Instagram feeds are so cool.

Thank you, Ra. Yours is cool too,” ucap Nathan. “And also beautiful,” lanjutnya dengan suara pelan.

“Kamu ngomong sesuatu?” tanya Anora.

Nathan tersentak, ia menggeleng dengan senyum canggung di wajahnya. “Eh, enggak, kok.” Anora menganggukkan kepalanya, ia baru saja mengangkat ponselnya untuk memfoto objek di depannya. Tapi, tiba-tiba Nathan berkata, “Wanna take a photo together?

TW // BULLYING , VIOLENCE, BLOOD, HARSHWORDS

Kailee menghentikan langkahnya ketika mendengar suara dari ruang musik. Ruangan itu tampak dari gelap. Kailee mengerutkan keningnya, ia penasaran dengan apa yang terjadi di dalam sana. Apakah ulah Rael lagi atau orang lain. Kailee melangkahkan kakinya ke arah ruang musik. Tangannya terulur untuk membuka kenop pintu secara perlahan. Matanya membulat ketika melihat seorang gadis yang pernah ia lihat waktu lalu. Gadis itu tersungkur di lantai dengan kondisi berantakan dan menangis. Kailee langsung masuk dan menghampiri gadis itu.

Brak

Tiba-tiba pintu tertutup, Kailee terkejut karena suaranya sangat kencang. Ia menatap gadis itu dengan khawatir, “Lo gapapa?” tanyanya. Gadis itu menggeleng pelan. Kailee melirik name tag gadis itu. Tertulis nama Amara Jeanne di name tag gadis itu. Akhirnya Kailee tahu siapa namanya, karena selama ini Kailee selalu mencari-cari identitasnya.

Suara tawa seseorang entah dari mana asalnya membuat keduanya merinding. Kailee tahu kalau ini adalah suara tawa Rael. Kailee menatap ke sekeliling, hingga ada bayangan seseorang maju perlahan. Melihatkan dirinya di hadapan keduanya. Kailee berdiri dari posisi jongkoknya. Ia menatap Rael dengan tajam.

“Lo apain lagi Amara? Kali ini apa yang lo lakuin lagi ke dia, Rael?! Lo gak puas udah ambil paksa uang dia? Lo juga udah bully dia, lo mukul dia, lo nampar dia. Itu semua gak cukup buat lo?! Gila ya lo!” seru Kailee.

Rael terkejut karena Kailee tahu semua apa yang ia lakukan selama ini. Namun, beberapa detik kemudian ia terkekeh sinis. “Apa masalahnya buat kamu, Kailee? Kamu gak ada urusannya sama sekali. Jadi, berhenti ikut campur dan stop jadi jagoan!”

“Gue gak ikut campur dan gak jadi jagoan, gue cuma membela yang benar. Gue gak mau lo ngelakuin hal yang seharusnya gak lo lakuin. Tapi, lo udah lakuin, Rael. Lo harus sadar! Lo itu salah, lo gak seharusnya kayak gini. Lo ngelakuin ini tuh gak ada untungnya,” ucap Kailee.

“Ada! Aku punya keuntungan sendiri,” kata Rael. “Kamu mau tau apa keuntungannya?” Rael menatap Kailee dengan sorot mata yang sulit dijelaskan, kemudian ia menatap Amara. “Aku bisa beli apa pun meski terbatas, tapi, aku bisa beli semuanya yang aku pengen. Aku juga bisa melampiaskan semua amarah aku. Semua rasa amarahku yang aku tahan dari rumah, bisa aku lampiaskan ke dia. Aku bisa lakuin semua yang aku mau, Kailee. Kamu gak tau apa-apa tentang aku, kan? Jadi, jangan ikut campur. Karena kamu juga salah satu penyebabnya.”

Kailee mengernyitkan keningnya, ia tidak mengerti dengan pikiran Rael saat ini. Dia penyebabnya? Kailee tidak pernah merasa kalau ia melakukan suatu kejahatan terhadap Rael.

“Kamu cantik, kamu disukai banyak orang, kamu kaya raya, kamu punya banyak uang, kamu punya keluarga yang harmonis, kamu juga punya pacar yang penyayang kayak Kalilo. Hidup kamu serba kecukupan, Kailee. Aku iri sama kamu. Semenjak Papa aku bangkrut karena Papa dia berhenti kerja sama dengan perasaan Papa aku, perusahaan Papa aku jadi bangkrut! Sekarang aku gak punya apa-apa. Aku gak bisa bebas beli barang-barang yang aku pengen, aku gak bisa foya-foya, aku gak bisa ngelakuin apa pun yang aku mau kayak dulu. Aku benci hidup aku yang sekarang. Gara-gara Amara, hidup aku berantakan!” Rael mengatakannya dengan jelas, raut wajahnya yang tanpa ekspresi, sorot matanya yang tidak menunjukkan adanya kehidupan. Kailee tertegun mendengarnya. Semua yang Rael lakukan karena rasa iri dan kehidupannya yang berubah total sejak perusahaan Papanya bangkrut. Kailee merasa kalau Rael memiliki beberapa faktor seperti tekanan di rumah, mentalnya, fisik, dan batinnya.

“Aku harus apa, Kailee? Aku mau kayak dulu. Mama aku juga pergi ninggalin aku berdua sama Papa. Mama gak pernah peduli sama kita padahal di sana dia hidup bahagia, dia gak pernah mikirin anaknya sama sekali. Mama jahat! Aku pengen ikut Mama, tapi, dia gak pernah izinin aku buat ikut dia.”

“Rael–”

“Kailee, aku mau jadi kamu. Gimana caranya? Hahaha, bahkan aku selalu ngelakuin apa pun yang bisa aku lakuin agar bisa kayak kamu.”

“Rael, lo salah. Semua yang lo lakuin itu salah. Berhenti ngelakuin hal kayak gini. Itu cuma bikin lo capek dan sakit, Ra. Berhenti. Jangan nyakitin diri sendiri dan orang lain,” ujar Kailee.

“Gak mau! Aku udah enak hidup kayak gini. Lagipula Papa gak akan peduli kalau aku ngelakuin kejahatan.”

“Rael–”

“DIEM, ANJING. GUE GAK BUTUH SARAN DARI LO! LO JAHAT, KAILEE. LO REBUT SEMUANYA DAN BIKIN DIRI LO SEMPURNA. GUE JUGA MAU SEMPURNA KAYAK LO! ANJING. GUE BENCI SAMA LO, BANGSAT! GUE BAKALAN HANCURIN HIDUP LO, KAILEE!” Tiba-tiba Rael berteriak, membuat Kailee dan Amara terkejut.

Rael melangkahkan kakinya mendekati Kailee. Tangannya terulur dan mengarahkan tangannya ke leher Kailee, “Bangsat, lo harus mati! Gue benci liat lo! Brengsek.”

“Rael!” seru Kailee, ia terbatuk karena Rael mencekiknya dengan kuat. Amara berusaha untuk bangun, ia menarik lengan Rael agar Rael melepaskan cekikannya. Rael langsung mendorong Amara dan membuat gadis itu jatuh.

Beberapa detik kemudian, Rael melepaskan cekikannya. Wajahnya berubah menjadi panik. Ia menatap Kailee dan Amara bergantian, kemudian ia menatap kedua tangannya. Kailee menghirup napas sebanyak mungkin, ia menatap Rael yang menjadi panik. Kailee mendekati Rael, namun, Rael langsung mundur beberapa langkah.

“Kailee, maaf ... Maaf, aku gak bermaksud–”

“Rael, tenangin diri lo. Gue gapapa. Jangan gitu lagi, Ra. Stop ngelukain diri lo sendiri,” ucap Kailee.

Rael menggeleng dengan kuat, ia menutup kedua telinganya. Matanya berair. Gadis itu menangis. Rael menggigit kukunya, kemudian ia menatap pintu. Kailee yang melihat gelagat Rael pun kebingungan. Rael melangkahkan kakinya ke arah pintu dan membukanya, kemudian ia pergi tanpa berkata-kata.

“Lo gapapa? Mau gue obatin dulu, gak?” tanya Kailee pada Amara.

Amara menggeleng, “Gak usah, Kak. Aku gapapa. Leher Kak Kailee, gimana? Itu lehernya merah.”

Kailee meraba lehernya yang terasa sakit, ia hanya tersenyum. “Gue gapapa, Amara. Gue bantu buat obatin luka lo, ya? Sekalian kita ngobrol.”

“Kak, gue takut ....,” lirih Amara kemudian menangis.

“Tenang aja, Ra. Kita urus bareng-bareng. Asal lo mau bantu gue. Gimana?” tawar Kailee yang kemudian diangguki oleh Amara. Keduanya keluar dari ruang musik dan pergi ke UKS. Bel masuk sudah berbunyi sejak tadi, mungkin Kailee akan menyuruh teman-temannya mengizinkan dirinya untuk tidak ikut mata pelajaran. Ia harus berbicara dengan Amara untuk saat ini.