aireanora

TW // VIOLENCE , KEKERASAN , BLOOD

Kailee berlari dengan cepat menyusul Rael yang sedang dikejar preman. Kalilo kebingungan melihat Kailee yang tiba-tiba lari, laki-laki itu hendak menyusul kekasihnya. Namun, Kailee berteriak, “Kamu di sana aja. Cepet panggil polisi terus nyusul aku!” Kalilo hanya mengangguk mengiyakan.

Kailee berbelok ke gang yang cukup sepi, ia bisa melihat Rael yang terpojokkan dengan tiga preman yang menghadangnya. Dengan berani, Kailee mendekat. Matanya melihat ada balok kayu di jalanan, ia langsung mengambilnya dan berjalan perlahan-lahan tanpa membuat suara agar mereka tidak menyadarinya.

“Mana janji lo mau bayar hutang?! Kita udah kasih waktu seminggu, lo juga belum bayar hutangnya. Mau sampai kapan menghindar terus?! Kita juga butuh duit!” ucap salah satu preman.

“Udah gue bilang, gue lagi gak pegang duit! Minta ke bokap gue, jangan ke gue. Dia yang punya hutang, kenapa kalian malah ngejar gue?!” teriak Rael dengan wajahnya yang ketakutan.

Preman itu tertawa, “Karena lo yang dijadiin jaminan hutang bokap lo! Cepet bayar!”

“UDAH GUE BILANG, GUE GAK PUNYA DUIT–”

“BERANI YA LO NGELAWAN KITA! AWAS AJA–”

Baru saja tangan preman itu terangkat untuk memukul Rael, Kailee langsung melayangkan balok kayu yang ia pegang ke bahunya. Preman itu terjatuh dan meringis kesakitan. Rael yang tidak merasakan pukulan apa pun langsung membuka matanya. Ia terkejut melihat Kailee yang berada di sini.

“Dasar bocah ingusan! Ngapain lo dateng ke sini?! Oh, mau jadi pahlawan, ya?”

“Diem lo laki-laki biadab! Beraninya nyakitin cewek. Laki bukan lo? Lo dikasih tangan tuh bukan buat mukul cewek, tolol!” seru Kailee dengan beraninya.

“Kurang ajar!” Preman itu maju untuk memukul Kailee. Tapi, Kailee dengan cepat menghindari serangan. Ia kembali melayangkan balok kayunya dan memukul salah satu preman itu.

Perkelahian pun terjadi, Kailee seorang gadis yang melawan tiga preman seorang diri. Sedangkan Rael hanya memperhatikan saja, tanpa berniat untuk membantu Kailee. Rael ketakutan. Ia tidak bisa membantu apa pun meski dirinya ingin sekali membantu Kailee. Tapi, rasa gengsinya lebih tinggi. Jadi, ia hanya diam saja.

Hingga ketika Kailee lengah, gadis itu terkena pukulan dari salah satu preman di pelipisnya. Kailee hampir tumbang karena kepalanya terasa pusing dan pelipisnya mengeluarkan darah. Rael berteriak terkejut. Ia baru saja akan menghampiri Kailee, namun, suara sirine membuat preman-preman itu kabur.

“Jangan lupa hutang lo!” ucap preman itu sebelum kabur.

Kailee memegang pelipisnya yang berdarah, rasa pusing menyerang dirinya. Suara langkah kaki semakin mendekat, Kailee tahu kalau itu adalah Kalilo.

“Kak, kenapa bisa kayak gini?! Kamu ngapain?!” tanya Kalilo, ia memegang kepala Kailee dengan hati-hati. Wajahnya terlihat khawatir.

“Aku gapapa, Kal,” ucap Kailee. Kemudian ia berdiri dibantu oleh Kalilo, Kailee menatap Rael yang menatapnya dengan raut khawatir. “Rael, lo gapapa?” tanya Kailee.

Rael mengangguk, “Pelipis kamu gimana, Kailee?”

Kailee terkekeh, “Nanti juga diobatin di rumah,” balasnya. Rael menggigit bibir bawahnya, Kailee berjalan mendekatinya Rael. Namun, baru beberapa langkah, Rael menyuruh Kailee untuk berhenti.

“Kailee, aku gak pernah minta bantuan ke kamu. Tapi, makasih banyak. Luka yang kamu dapetin itu, bukan salah aku. Itu salah kamu yang nekat lawan preman,” ucap Rael. “Aku gak butuh bantuan kamu, Kailee. Aku bisa lawan mereka. Harusnya tadi kamu gak usah datang.”

“Dih, lo udah dibantuin malah ngomong gitu. Maksud lo apa?!” seru Kalilo tidak terima.

Rael menatap keduanya bergantian, “Aku gak pernah minta bantuan kalian! Kalian juga kenapa harus ikut campur urusan aku? Dan kamu Kailee, gak usah sok-sokan nolongin aku kayak tadi. Kamu cuma kasihan sama aku, kan?!”

Kailee menggelengkan kepalanya, “Enggak. Gue emang tulus mau bantuin lo, kenapa lo bilang gitu?”

Rael berdecak, “Aku tau kamu itu kayak gimana. Pura-pura baik biar dilihat sebagai orang paling baik sama orang-orang, biar dapet pujian. Iya, kan?!”

“Bangsat–” Kalilo hampir saja maju untuk menampar Rael karena sudah keterlaluan. Namun, Kailee menahannya. Kalilo mendengus, ia menggeram marah. Tangannya terkepal di kedua sisi tubuhnya. Rael tidak tahu diri. Padahal kekasihnya sudah menyelamatkan dirinya dari preman-preman tadi. Jika saja Kailee tidak datang menyelamatkan Rael, pasti dia sudah babak belur di tangan preman tadi.

“Terserah lo deh, Rael. Lo mau ngomong apa aja tentang gue, gue gak peduli. Harusnya gue tau kalau sifat lo tuh kayak gini, kekanak-kanakan dan egois. Padahal gue beneran tulus nyelamatin lo. Percuma juga gue bilang kayak gini, pastinya lo gak bakal peduli dan tetep kayak gini terus. Susah ya ngomong sama lo, mending tadi gak usah gue tolongin biar lo habis di tangan mereka,” ujar Kailee dengan sarkas. Ia menarik lengan Kalilo untuk pergi dari sana. Baru beberapa langkah, Rael memanggilnya.

Rael menghampiri Kailee dan Kalilo, ia mendekati Kailee hingga tersisa satu langkah jarak antara keduanya. “Jangan bilang siapa pun tentang ini. Awas aja kalau kamu sampai sebarin hal ini ke anak-anak sekolahan, aku gak segan-segan buat nampar kamu,” ucapnya kemudian pergi dari sana.

“Cewek gila!” desis Kalilo. Ia menatap Kailee dan menggandeng lengan Kailee, mereka harus segera pergi dari sana dan mengobati luka Kailee.

Anora melangkahkan kakinya menuju lobby apartemen-nya. Hanya memakai celana pendek, kaos, dan rambutnya yang ia gerai. Wajahnya tidak dipoles apa-apa, terlihat natural. Anora menghela napas ketika melihat siluet punggung Nathan dari kejauhan. Anora melangkah mendekat, tangannya menenteng kotak berisi cupcake milik Kevin.

“Nath,” panggil Anora.

Merasa ada yang memanggilnya, Nathan membalikkan tubuhnya. Nathan tersenyum ketika melihat Anora di hadapannya, “Hai.”

“Nunggu lama, ya?” tanya Anora. Ia menyerahkan kotak yang ia bawa ke Nathan, Nathan menerimanya. Laki-laki itu memperhatikan kotak di tangannya. Aroma manis tercium meski cupcake-nya berada di dalam kotak yang tertutup.

Nathan menggeleng, “Enggak. Maybe only 10 minutes i waited.

“Itu lama, tau! Maaf, ya. Tadinya mau ganti baju dulu, soalnya aku kayak gembel. Tapi, kalau ganti baju dulu, nanti kamu nunggunya kelamaan,” ucap Anora dengan wajah cemberut.

Nathan tertawa, “Gapapa, Ra. Mau kamu datangnya selama apa pun, bakalan aku tungguin, kok.”

Ucapan Nathan sukses membuat Anora merasa salah tingkah. Jantungnya berdetak kencang, apalagi ketika melihat Nathan tersenyum ketika mengucapkannya. Anora meremas kaosnya, ia menggigit bibir bawahnya. Matanya melihat-lihat ke arah lain, asal tidak melihat ke arah Nathan.

“Hey, kok ngelamun?” Nathan menjentikkan jarinya di depan wajah Anora. Anora mengerjapkan matanya, ia menyengir.

“Ini mau langsung pulang? Atau mau mampir dulu? Eh– maksudnya, mau aku minum dulu atau apa gitu?” ucap Anora dengan gugup.

Nathan merasa gemas dengan tingkah Anora, ia tersenyum. Nathan menggeleng pelan, “Gak usah, Ra. Aku langsung balik aja. Next time kita bisa ngopi bareng atau ke mana aja deh, haha.”

Anora terkekeh, “Okay, hati-hati di jalan, ya. Kapan-kapan kita pergi jalan bareng.”

See you again?” Nathan menaikkan sebelah alisnya.

Anora meremas kaosnya karena merasa gugup, ia tersenyum. “See you, Nath.”

Nathan melambaikan tangannya, ia melangkahkan kakinya menjauh. Anora mengibaskan tangannya di depan wajahnya, wajahnya terasa panas. Entah karena salah tingkah atau karena hal lain. Anora membalikkan tubuhnya, ia terkejut melihat Nathan yang masih diam berdiri tak jauh darinya. Anora pikir, Nathan sudah pergi. Anora merasa malu, ia langsung berlari menuju lift. Nathan yang melihatnya hanya terkekeh gemas.

She's cute.

TW // bullying , violence , harshwords

Ruang musik milik Ncit School siang itu tampak gelap. Lampu yang berada di sana tidak ia nyalakan sebagai penerangan, ia biarkan gelap menguasai ruangan itu. Dirinya melangkah perlahan-lahan, mendekati piano yang berada di sana. Jari-jemarinya memencet knot piano hingga menghasilkan melodi. Terdengar menyeramkan, namun, baginya terdengar sangat indah. Jari-jemarinya berhenti menekan knot piano ketika mendengar suara pintu terbuka. Ia menegakkan tubuhnya. Tetap diam di sana, sementara langkah kaki perlahan-lahan mendekati dirinya.

Tuk ... Tuk ... Tuk ...

Kemudian ia membalikkan tubuhnya, bibirnya menyeringai. Di hadapannya ada seorang gadis berambut pendek, di tangannya terdapat gelang, ia menundukkan kepalanya.

“Uangku udah habis, nih. Kayaknya gak bakal cukup buat makan siang nanti. Apalagi bentar lagi bel istirahat ke-dua bunyi,” ucapnya. “Seperti biasa, uang kamu kasih ke aku.”

Tangannya terulur untuk memberikan selembar uang dua puluh ribu. Gadis itu mengernyitkan keningnya, “Cuma segini?! Uang kamu, kan, ada banyak. Kenapa cuma segini yang kamu kasih ke aku?!” serunya.

“A–aku cuma punya uang segitu ....”

“Kemarin aku lihat kamu habis belanja barang mahal, loh. Bermerk pula. Yakin, uang kamu cuma segini? Atau kamu nyembunyiin uang kamu, ya?” katanya.

“Kak, berhenti! Uang aku ya uang aku! Aku capek setiap hari harus ngasih uang aku ke kamu. Sampai Mama, Papa aku nanya ke aku, aku dimarahin sama mereka karena selalu ambil uang tabungan aku. Kakak bisa cari uang sendiri. Uang bisa datang kalau kakak mau cari!”

“Kamu pikir cari uang itu gampang?! Pandangan aku di orang-orang itu anak orang kaya! Kamu tau, kan, kalau sebenarnya aku itu kayak gimana? Terus kenapa kamu berani ngelawan gini? Atau kamu emang udah punya orang yang jagain kamu, hah?!” sentaknya. Suaranya terdengar pelan, namun, sangat menyeramkan.

“Nggak gitu, Kak. Sadar, Kak, yang kamu lakuin ini jahat. Kamu nampar aku, mukul aku. Sakit, Kak ....”

“Aku gak bakalan ngelakuin itu kalau kamu mau nurutin aku!” teriaknya. Kemudian ia melangkah mendekat untuk menjambak rambut gadis di depannya, membuat ia merintih kesakitan. Memohon untuk dilepaskan cengkraman tangannya dari rambutnya.

“Aku udah nurutin semua yang kamu mau, aku juga harus bikin Kak Kailee celaka karena kamu!”

“Aku udah kasih balasan yang setimpal buat kamu, apa kamu gak puas?!” teriaknya.

“Lepasin, Kak! Iblis!”

Ia melepaskan cengkeramannya dan mendorong gadis itu sampai tersungkur, kemudian ia berjongkok di dekatnya. “Ingat, ya, gara-gara keluarga kamu, keluarga aku jadi jatuh miskin! Kamu harus ganti rugi hidup aku! Hidup aku sengsara gara-gara kamu. Kamu jahat! Kamu lebih jahat dari aku, ngerti?”

Ceklek

Ia menengokkan kepalanya ketika mendengar suara pintu akan terbuka, dengan cepat ia bersembunyi di balik piano yang bisa menutupi dirinya. Matanya mengintip untuk melihat siapa yang datang. Itu Kailee. Kailee nampak terkejut melihat orang itu tersungkur di lantai, dengan luka di pipinya yang tadi ia lukai secara diam-diam.

“Kenapa bisa kayak gini? Siapa yang lakuin ini semua? Ayo, aku bantu obatin luka kamu,” ucap Kailee. Ia baru saja akan membantu gadis itu berdiri, namun, gadis itu langsung menepisnya.

“Gak perlu, Kak. Aku gapapa, makasih, ya. Aku keluar dulu.”

Kailee mengerutkan keningnya, ia melihat ke sekelilingnya. Memastikan apakah ada orang lain di sini. Namun, Kailee tidak melihat siapa pun. Kailee melangkahkan kakinya, berniat untuk keluar dari ruang musik. Ia berhenti di depan pintu, lalu, kembali melihat ke dalam. Barulah setelah itu Kailee menutup kembali ruang musik.

Kalilo turun dari motornya dengan terburu-buru ketika sudah berada di depan rumah Kailee. Ia mengetuk pintu beberapa kali. Jantungnya berdetak dengan kencang karena ia merasa takut kalau Kailee akan marah dengan dirinya. Salahnya juga karena sudah membohongi Kailee, padahal Kalilo tidak pernah berbohong pada Kailee. Kalilo menyalahkan Rael yang membuat keadaan seperti ini.

Suara pintu terbuka membuat Kalilo mengalihkan pandangannya, ada Jericho berdiri di ambang pintu. Rambutnya yang panjang terlihat acak-acakan. Kalilo tersenyum menyapa kakak kedua Kailee.

“Bang, kak Kailee ada?” tanya Kalilo.

Jericho mengangguk, “ada, lah. Kan dia belum masuk sekolah. Ngapain lo di sini?”

“Mau ketemu kak Kailee,” kata Kalilo sambil mengusap tengkuknya.

Jericho membulatkan mulutnya, ia mengajak Kalilo untuk masuk ke dalam rumah. Keduanya berjalan ke arah ruang tamu, kemudian Jericho berbalik menghadap Kalilo. “Kailee kayaknya masih mandi, tungguin aja. Udah bilang mau ke sini, kan?”

Kalilo mengangguk, “udah bilang, kok.”

“Ya udah, tungguin aja. Gua masih ada tugas kuliah. Lo kalau mau minum, ambil sendiri di dapur, ya. Anggap aja kayak rumah lo sendiri,” ujar Jericho.

Kalilo mengangguk sambil tersenyum kikuk. Jericho kembali ke kamarnya yang berada di lantai atas, sama dengan kamar Kailee. Kalilo menunggu Kailee sembari memainkan jari-jarinya. Hingga beberapa menit kemudian, ia mendengar suara langkah kaki yang menuruni tangga. Kalilo berdiri ketika melihat Kailee yang sedang menuruni tangga satu persatu.

“Kamu udah lama nunggunya?” tanya Kailee.

“Emm, lumayan. Mungkin sekitar 20 menit,” balas Kalilo.

“Mau minum, gak? Aku ambilin dulu. Atau udah gak haus gara-gara habis minum di Janjiw sama Rael?” Kailee terkekeh. Dia tidak berkata serius, hanya bercanda karena Kalilo sudah berbohong.

Kalilo memasang raut sedih, ia menghampiri Kailee dan menggenggam tangannya. “Enggak gitu, kak. Aku kan gak berniat bohong ke kamu, aku minta maaf. Jangan gitu, ih.”

Kailee tertawa, “bercanda. Aku ambil minum dulu, ya. Kamu ke kamar aku aja.” Kalilo mengangguk, ia pergi ke kamar Kailee. Sementara itu Kailee pergi ke dapur untuk mengambil dua gelas lemon tea untuk dirinya dan Kalilo.


“Kamu mau jelasin apa?” tanya Kalilo.

“Tadi tuh aku mau pulang, aku udah seneng banget mau ke rumah kamu. Tapi, dia nahan aku. Katanya dia gak ada yang jemput, terus nyuruh aku buat nganterin dia pulang. Padahal aku udah nolak dia, dia maksa aku terus. Apalagi dia bilang kalau dia bakalan chat kamu buat bilang kalau aku bentak dia, ya aku gak mau kamu salah paham terus marah ke aku. Ya, meski sekarang kamu marah ke aku karena aku bohong. Aku minta maaf, kak. Aku gak ada alasan lain buat bilang ke kamu, maaf ....,” jelas Kalilo. Ia menundukkan kepalanya, tidak berani menatap Kailee.

Kailee mengangguk-anggukkan kepalanya, ia mengulurkan tangannya untuk mengusap kepala Kalilo. “Kalau kamu jelasin kayak gini, aku gak bakalan marah, Ilo. Angkat dong kepala kamu. Laki-laki, bukan? Harus gentle, dong,” ucapnya.

Kalilo mengangkat kepalanya, matanya memerah karena menahan tangis. Kailee langsung terperanjat, “kok kamu malah nangis?!” tanyanya panik.

Kalilo langsung menangis, ia memeluk Kailee dengan erat. “Maafin aku,” ucap Kalilo disela-sela isak tangisnya.

Kailee terkekeh, “gapapa, Ilo. Jangan nangis, ih. Aku gak marah, kok.”

“Huaaaaa.”

Ssshhhh. Jangan nangis, ya. Cup, cup, cup.” Kailee mengusap punggung Kalilo, Kailee merasa seperti memiliki bayi besar yang suka menangis seperti Kalilo sekarang ini.

Kalilo mengeratkan pelukannya pada Kailee, bahkan ia tidak mau mengangkat kepalanya karena merasa malu dengan Kailee. Apalagi sekarang wajahnya memerah, Kailee hanya bisa tertawa melihat tingkah laku Kalilo yang seperti bayi.

Di balik pintu kamar Kailee, ada Jericho yang melihat keduanya berpelukan. “Jomblo gini amat,” ucapnya kemudian masuk ke dalam kamarnya.

Semuanya sudah pasrah karena tidak segera menemukan Kailee. Kalilo sudah hampir menangis karena ini sudah hampir pukul 2 pagi, tapi, mereka belum menemukan Kailee. Kalilo sempat menolak untuk kembali ke tempat perkemahan karena tidak menemukan Kailee, ia tetap lanjut berjalan untuk mencari Kailee. Ia tidak bisa membiarkan Kailee sendirian. Hingga akhirnya ia melihat baju yang mirip dengan pakaian Kailee kemarin, ia langsung berteriak memanggil orang-orang dan berjalan ke arah tempat yang dilihatnya.

Dilihatnya Kailee yang tertidur atau mungkin pingsan di dekat pohon. Kalilo langsung berjongkok, tangisannya langsung pecah melihat baju Kailee yang kotor dan terdapat beberapa luka. Kalilo menepuk pelan pipi Kailee. Kailee mengerjapkan matanya, ia langsung menangis dan memeluk Kalilo dengan erat. Tubuhnya kembali bergetar. Kalilo memeluk Kailee dengan erat dan menenangkannya.

I'm here, kak. Jangan nangis lagi. Kamu udah sama aku lagi,” bisik Kalilo.

“Ilo, aku takut. Aku mau pulang ....,” ucap Kailee disela-sela isak tangisnya.

Sshhh, aku di sini. Nanti kita pulang,” ucap Kalilo.

“Tolong bantu Kailee berdiri atau gendong saja, kita kembali ke tempat perkemahan.”

Kalilo menggendong Kailee yang masih menangis. Adira, Ella, dan Sachi mengikutinya dari belakang. Mereka juga khawatir ketika melihat kondisi Kailee yang jauh dari kata baik-baik saja.


“Kai, lo panas?! Tubuh lo panas,” seru Sachi ketika mereka sudah di tenda.

Kailee hanya diam, kepalanya terasa pusing sejak tadi. Ia tidak bisa berkata-kata.

“Lo bawa obat, gak?” tanya Ella yang dibalas gelengan oleh Kailee.

“Kak, kamu sakit? Bentar, aku bilang ke gurunya dulu,” ucap Kalilo.

Kalilo sangat marah kali ini. Dia benar-benar marah karena Rael sudah membuat Kailee seperti ini. Andai saja Rael bukan perempuan, ia akan memukulnya karena sudah membuat kekasihnya sakit dan terluka. Sampai kapanpun Kalilo tidak akan memaafkan Rael, entah Rael berlutut padanya atau memohon-mohon, ia tetap tidak akan memaafkannya.

Karena keadaan Kailee yang tidak memungkinkan untuk melanjutkan kegiatan di pagi nanti, akhirnya guru-guru memanggil keluarga Kailee untuk menjemput gadis itu ke rumah sakit. Kailee harus dirawat karena gadis itu malah demam. Kalilo juga ikut pulang karena ia tidak mau bergabung lagi dengan acara perkemahan ini. Ia memilih untuk menemani Kailee sampai pulih daripada harus berada di perkemahan dengan keadaan khawatir akan kondisi Kailee.

“Kak, aku di sini. Bentar lagi kita sampai di rumah sakit, jangan takut,” bisik Kalilo.

Raiel dan Jericho selaku kakak Kailee menjemput adiknya. Mereka langsung bergegas ketika mendapat kabar buruk tentang adiknya. Apalagi tahu siapa pelaku yang membuat adiknya seperti ini. Mereka langsung marah dan membawa Kailee ke rumah sakit. Adiknya tidak pantas diperlakukan seperti ini.

Semuanya sudah kembali ke tempat perkemahan, kecuali satu orang. Kalilo sedari tadi mencari-cari Kailee di kelompok gadis itu. Namun, ia tak kunjung menemukannya. Kalilo merasa panik, perasaannya juga tidak enak. Ia bertanya pada teman sekelompoknya, tidak ada satu orangpun yang tahu. Hingga akhirnya Kalilo mengangkat tangannya dan berkata kalau Kailee tidak ada. Suasana yang tadinya hening langsung ricuh. Apalagi teman-teman Kailee yang baru sadar kalau Kailee tidak ada bersama mereka. Mereka langsung menatap Rael yang memasang wajah tidak bersalah.

“Katanya Kailee bakal nyusul kita?! Mana orangnya?! Lo sengaja, ya?!” bentak Adira.

“Apaan, sih? Aku juga gak tau Kailee di mana. Tadi dia ada sama aku,” elak Rael.

“Kalau tadi dia ada sama lo, kenapa sekarang dia nggak ada?!” tanya Ella.

“Ya mana aku tau,” balas Rael cuek.

“Lo bener-bener, ya!” Sachi baru saja maju selangkah untuk menampar Rael, tapi, Ella langsung menahan dirinya.

“Lo jahat banget, sih?! Kailee ada salah apa sama lo? Kenapa lo malah biarin dia sendirian dan ninggalin dia?!” seru Sachi.

“Gue udah curiga, sih. Tadi dia nyuruh kita cepet-cepet, apalagi tadi dia baliknya cepet banget. Lo sengaja, kan?” ujar Adira.

“Sengaja apanya, sih? Aku aja gak tau kalau ternyata Kailee gak ada sama aku. Kok kalian nyalahin aku, sih?!” seru Rael tidak terima.

“Ya, karena lo duluan yang mulai, anjing!” Akhirnya Sachi lepas kendali. Ia sudah sangat merasa emosi dengan Rael. Apalagi Rael memasang wajah tidak bersalah dan pura-pura tidak tahu. Padahal dia yang menyebabkan semuanya terjadi.

“Jahat banget lo! Harusnya lo yang ditinggal di dalem biar temenan sama kunti,” sahut Ella.

“Sudah, anak-anak. Tolong tenang sebentar. Jangan ricuh! Kita cari Kailee bersama-sama, kita akan mencari dia sampai ketemu. Begini saja, beberapa orang kembali masuk ke dalam, sisanya tetap di sini. Jangan ke mana-mana dan jangan buat kericuhan.”

“Bu, saya mau ikut!” teriak Kalilo.

“Baik, Kalilo ikut kami. Yang lain tetap di sini.”

“Gua gak akan pernah maafin lo, Rael. Lo udah keterlaluan,” bisik Kalilo pada Rael ketika keduanya berdiri bersebelahan.

Kalilo melangkahkan kakinya, masuk ke dalam rombongan yang akan mencari Kailee. Termasuk Adira, Ella, dan Sachi yang ikut mencari sahabat mereka. Tersisa Rael sendirian. Ia tertawa puas dalam hati. Meskipun orang-orang menyalahkan dirinya, dia sangat senang bisa membuat Kailee terjebak di dalam hutan sendirian. Jahat memang. Tapi, ini semua yang ia mau. Rael ingin Kailee tersiksa.


Kailee sudah menangis sedari tadi. Ia merasa ketakutan karena ia seorang diri di tengah hutan yang sangat gelap. Ia menjadi merasa takut karena banyak pikiran buruk yang menghampiri pikirannya. Kailee sudah kalang kabut, dirinya menjadi panik, tubuhnya gemetar. Di sini tidak ada sinyal, ponselnya juga tidak akan berguna di saat seperti ini. Kailee hanya bisa menangis.

“Kalilo ....”

“Mama, Papa ... Tolongin Kailee.”

“Abang ... Kakak ....”

“Ya Tuhan ....”

Tangan dan kakinya sudah terluka karena tadi ia terjatuh dan berakhir terkena ranting yang tajam, Kailee menangis sejadi-jadinya. Ia sadar kalau semua ini adalah bagian rencana Rael. Kailee bersumpah kalau setelah ini ia tidak akan memaafkan Rael. Dia tidak akan membiarkan Rael masuk ke dalam grupnya lagi. Ini semua sudah keterlaluan.


“Kak Kailee, kamu di mana,” gumam Kalilo. Ia sudah sangat khawatir dengan Kailee. Dia tahu kalau Kailee tidak bisa sendirian, Kailee akan gemetar kalau dia pergi sendiri, apalagi di tempat gelap seperti ini.

“Sepertinya kita harus mengikuti petunjuk tadi, siapa tahu Kailee mengikuti petunjuknya.”

“Petunjuknya sudah dirubah, Pak.”

“Siapa yang merubahnya?”

“Rael, lah. Siapa lagi kalau bukan dia, Pak,” sahut Ella dengan emosi.

“Ya sudah, kita coba cari lagi.”


Kailee mengecek jam di ponselnya, sudah menunjukkan pukul 1 pagi. Kailee semakin menangis karena suasananya tambah gelap dan menyeramkan. Kailee menyenderkan dirinya di pohon, ia sudah lelah menangis. Kakinya juga terluka, ia tidak sanggup berjalan lagi.

“Tolong ....”

“Abang ... Kakak ....”

“Kalilo ....”

Kailee memejamkan matanya. Ia lelah, haus, lapar, semuanya menjadi satu. Kailee sudah berjalan dengan jarak yang jauh dan menentu arah, ia kelelahan. Sekarang ia hanya bisa berharap orang-orang segera menemukan dirinya dan pagi segera datang agar ia bisa pulang.

Semua orang duduk melingkar di sekitar api unggun yang menyala di tengah kegelapan. Udara yang dingin malam ini bisa dihangatkan dengan panas dari api unggun. Kailee dan Kalilo duduk bersebelahan, mereka berdua berbincang sambil sesekali tertawa karena hal lucu.

“Kamu tadi kok bisa basah kuyup?” tanya Kalilo.

“Biasa,” balas Kailee.

Kalilo mendengus, “berulah mulu sih dia. Padahal lagi kemah juga, apalagi di tempat kayak gini.”

Kailee tertawa, “udah biasa. Dia mana mikirin tempat kalau mau ngelakuin rencananya.”

“Tapi, kamu gapapa, kan? Kamu gak kedinginan? Nanti kalau kamu tiba-tiba drop, gimana?” tanya Kalilo khawatir.

“Aku gapapa, Ilo. Tadi cuma agak kesel dikit,” balas Kailee. Wajahnya cemberut karena mengingat kejadian tadi.

“Kok keselnya dikit doang? Harusnya yang banyak, dong,” ucap Kalilo.

“Gak boleh gitu, dong,” ucap Kailee sambil tertawa.

Kalilo terkekeh, “kamu mau sosis bakar? Tuh, lagi pada bakar-bakaran.”

Kailee menggeleng, “aku udah kenyang.”

“Emang kamu makan apa?” tanya Kalilo.

“Makan cinta kamu, HAHAHA,” balas Kailee lalu tertawa.

Kalilo terkekeh, ia mencubit pelan pipi Kailee. “Bisa aja kamu, kak. Aku ambilin deh, ya? Kita makan bareng. Harus isi perut dulu sebelum jurit malam nanti.”

Kailee mengangguk, “ya udah deh.”

Kalilo bangkit dari duduknya dan pergi ke arah orang-orang yang sedang membakar sosis dan jagung, ia mengambil beberapa tusuk. Kemudian kembali lagi ke tempat tadi. Kalilo memberikannya pada Kailee, Kailee juga menyuruhnya untuk ikut makan bersamanya.


Murid-murid sudah berbaris sesuai kelompok. Sekarang satu kelompok berisi dua kelompok perempuan dan laki-laki yang digabungkan menjadi satu. Mereka akan melakukan jurit malam, tentunya ada beberapa tanda yang sudah dijadikan alat petunjuk untuk mereka.

“Aku gak sabar banget mau jurit malam!” seru Rael.

“Gak sabar amat lo? Mau ketemu kunti, ya?” ucap Ella.

Adira tertawa, “parah lu, El.”

“Hehe, iya,” balas Rael.

“Beneran temennya, nih,” gumam Sachi yang dapat didengar oleh Kailee. Kailee hanya tertawa pelan.

“Anak-anak, kami sudah memberi tanda sebagai petunjuk kalian jalan pulang. Nanti ada beberapa pos, kalian akan melakukan misi yang diberikan oleh penjaga pos. Ada 6 pos yang harus kalian lewati, tentunya dengan misi yang berbeda. Karena ini sudah jam 10 malam, maka diusahakan jam 12 malam sudah selesai. Karena besok masih ada kegiatan lainnya. Diharapkan kalian untuk tenang, jaga sikap, jangan berpisah dengan anggota kelompoknya. Ada 10 orang di setiap kelompok, ingat baik-baik anggota kelompoknya. Jangan sampai hilang! Sebelum itu, mari kita berdoa terlebih dahulu.”

Setelah berdoa, satu-persatu kelompok mulai masuk ke dalam hutan dan mengikuti petunjuk yang akan mengarahkan mereka ke setiap pos yang sudah mereka siapkan. Hingga akhirnya sekarang giliran kelompok Kailee. Mereka mulai berjalan masuk ke dalam hutan dan saling berdempetan, mereka takut terpisah dari kelompok. Apalagi tidak ada penerangan sama sekali, mereka hanya membawa senter dan ponsel.

“Ih, Adira! Jangan nakut-nakutin, dong!” seru Rael.

“Gue diem aja, anjir!” balas Adira.

“Diem deh kalian, mending kita cari posnya ada di mana.”

“Ini kenapa gelap banget, sih?!” seru Ella ketakutan.

“Namanya juga hutan,” sahut Kailee.

“Berisik, cepetan lanjut jalan.”

“Banyak banget nyamuknya.”

“Eh, guys. Maaf, aku tiba-tiba kebelet pipis. Boleh berhenti dulu, gak?” ucap Rael.

“Yang bener aja lu tiba-tiba kebelet?!” seru Sachi.

“Aku kan gak tau, lagian ini juga tiba-tiba. Padahal tadi aku udah ke kamar mandi,” ucap Rael. “Aku udah gak tahan lagi, boleh, dong?”

“Ck, ya udah sana. Kita tungguin di sini. Jangan hilang!”

Rael mengangguk, ia menarik tangan Kailee. “Temenin aku, yuk!”

Kailee hanya pasrah mengikuti Rael yang berjalan ke arah belakang, pergi ke sebuah pohon yang sekiranya bisa menutupi dirinya. Rael diam-diam tersenyum. Ia berbalik dan menatap Kailee, memasang wajah khas orang kebelet.

“Kamu tunggu di sini, ya! Jangan ke mana-mana!” seru Rael.

Kailee mengangguk, “jangan lama-lama.”

Kemudian Rael berjalan ke arah pohon. Kailee menunggu sambil melihat ke arah sekitar. Sebenarnya Kailee tidak takut, ia hanya takut tidak bisa kembali ke tempat perkemahan. Apalagi udara dingin yang menyerang dirinya, membuat bulu kuduknya berdiri. Kailee berdecak karena Rael sangat lama, padahal ini sudah beberapa menit berlalu.

“Rael?”

“Lo udah selesai?”

“Rael? Lo jangan diem aja, dong.”

“Belum selesai?”

“Rael?!”

Sementara itu, Rael sudah kembali ke kelompoknya. Ia tersenyum ke arah teman-teman kelompoknya, “hehe, maaf, lama ya nunggunya? Tadi susah banget nyari tempatnya.”

“Kailee mana?” tanya Adira yang menyadari kalau Kailee tidak bersama Rael.

“Eh, tadi dia di belakang aku. Katanya dia nyuruh aku duluan aja,” balas Rael.

“Lo gak ninggalin dia, kan?” tanya Ella dengan tatapan intimidasi.

Rael menggeleng, “enggak, kok! Malahan tadi dia nyuruh jalan duluan soalnya tali sepatunya lepas. Dia gak jauh dari kita, kok. Kita jalan duluan aja, yuk?”

“Nunggu Kailee dulu, lah.”

“Kasian dia nanti sendirian.”

“Nanti kelamaan, kita harus nyelesaiin misinya. Lagian ini ada tanda, kok,” ucap Rael.

“Aduh, tapi—”

“Lanjut aja!” seru Rael.

Akhirnya mereka melanjutkan langkah mereka tanpa tahu kalau sebenarnya Kailee dijebak dan tersesat sendirian di tempat sebelumnya. Rael menghadap ke belakang, ia tidak menemukan Kailee yang berjalan di belakangnya. Ia tersenyum puas. Kemudian ia mengikuti langkah teman-teman kelompoknya.

“Rasain kamu, Kailee!”

Sekarang semuanya sudah berada di tempat tujuan. Hutan yang biasa dijadikan tempat untuk perkemahan, tampak menyeramkan dari luar karena banyak pohon lebat. Murid-murid keluar dari bus dan berbaris sesuai kelompok. Cukup banyak karena terdapat dua angkatan, yang artinya harus penjagaan ekstra. Semua murid diberi wejangan agar tidak melakukan hal aneh dan berbicara kotor, juga harus menjaga sikapnya selama acara berlangsung.

Setiap kelompok diperintahkan untuk membangun tenda sendiri. Kailee bersama teman-temannya mulai membangun tendanya. Kecuali Rael yang tidak membantu sama sekali, ia hanya memperhatikan teman-temannya. Dengan alasan ia tidak mengerti cara memasang tenda. Akhirnya hanya Kailee, Adira, Ella, dan Sachi yang memasang tenda. Tentunya dengan perasaan kesal karena Rael yang selalu beralasan.

Kini semua murid diberi waktu untuk beristirahat, mandi, dan berganti pakaian karena sebentar lagi sudah sore. Mereka akan melakukan beberapa game. Salah satunya menuangkan air dari satu baskom ke baskom teman satu timnya.


Kelompok Kailee dan kelompok Kalilo mendapat giliran untuk bermain. Mereka sangat antusias untuk memulai permainan. Apalagi Rael yang sepertinya diam-diam merencanakan sesuatu.

“Kailee, kamu belakang aku aja deh,” ucap Rael.

Kailee mengerutkan keningnya, “kenapa?”

“Ya, gapapa. Aku cuma gak mau di belakang sendiri aja,” balas Rael.

Akhirnya Kailee duduk di belakang Rael tanpa merasa ragu. Permainan dimulai. Air pertama di baskom masih penuh. Sachi yang berada di urutan paling depan kemudian memberikan airnya ke Adira yang berada di belakangnya, begitupun seterusnya. Hingga akhirnya tiba bagian Rael dan Kailee. Rael dengan sengaja menumpahkan airnya pada Kailee, padahal Kailee sudah meletakkan baskomnya di atas kepalanya dengan benar. Akhirnya baju Kailee basah kuyup. Permainan dilanjutkan dengan 3 ronde. Selama 3 ronde itu pula Rael dengan sengaja mengguyur Kailee, padahal seharusnya air itu masuk ke dalam baskom yang ada di kepala Kailee.

Permainan berakhir, Kailee mendengus kesal karena tim mereka kalah. Apalagi bajunya basah kuyup karena Rael.

“Baju kamu basah kuyup banget, Kai,” ucap Rael.

“Gara-gara lo!” seru Kailee.

“Kok gara-gara aku, sih? Salah kamu sendiri yang pegang baskomnya gak bener,” ucap Rael tidak terima.

Kailee mengernyitkan keningnya, “gak bener gimana? Gue udah jelas-jelas pegang baskom di atas kepala, lo malah numpahin di muka gue!”

“Jangan berantem dulu. Rael, lo tuh harusnya ngerti dong ini game buat tim,” lerai Sachi.

“Ya udah, sih, lagian ini cuma game doang. Heboh amat,” ucap Rael lalu mendengus pergi.

“Kalau bukan di sini, udah gue jambak rambutnya,” ucap Adira dengan kesal.

“Mendingan kita ganti baju dulu, bentar lagi api unggun, kan?” usul Ella.

Akhirnya mereka pergi berganti baju. Sebentar lagi akan ada api unggun, makan malam, kemudian jurit malam. Meski Kailee masih merasa kesal, ia tidak boleh membiarkan moodnya merusak harinya. Kailee harus lebih bersabar lagi, karena mungkin Rael akan berulah lagi. Kailee tidak paham dengan jalan pikiran Rael yang licik dan selalu memikirkan hal-hal jahat yang selalu ditimpakan pada dirinya.

“Ini belum seberapa, liat aja nanti.”

Aksara memasuki ruang inap Killa dengan Anne yang berada di gendongannya. Wajah keduanya tampak sumringah dengan senyuman yang terpampang di wajah mereka. Sedari tadi Anne terus mengoceh tentang Mamanya. Ia berkata kalau ia akan memeluk Mamanya dan memberikan ciuman di pipi. Aksara hanya mendengarkannya sambil tersenyum.

Aksara membuka pintu ruang inap Killa. Matanya langsung bertatapan dengan manik Killa. Rasanya Aksara ingin menangis sekarang juga karena melihat Killa yang tersenyum ke arahnya. Anne bergerak-gerak di gendongan Aksara, meminta untuk diturunkan dari gendongan. Aksara menurunkan Anne dari gendongannya, kemudian gadis kecil itu berlari ke ranjang Killa.

“Mama!” teriak Anne.

Anne duduk di ranjang Killa dengan bantuan Keisha yang berada di sana bersama Aji dan Arka. Aksara melangkahkan kakinya mendekati ranjang Killa. Ia tersenyum melihat Anne yang memeluk Killa. Puteri kecilnya sangat merindukan sang Mama. Setiap hari Anne selalu bertanya padanya, kapan Mamanya akan siuman. Killa menatap Aksara yang mulai meneteskan air matanya. Killa terkekeh, Aksara buru-buru mengusap air matanya. Laki-laki itu mengecup kening Killa dan ikut memeluk kedua perempuan yang sangat ia cintai dan sangat berharga dalam hidupnya.

I miss you,” bisik Aksara.

I miss you, too,” balas Killa.

“Mama, I bought flowers with Papa. Flowers for Mama! We rushed here when we got news from Aji's uncle that Mama had woken up,” ucap Anne dengan senang.

“Oh, ya? Where are the flowers?” tanya Killa.

Anne menatap Aksara, Aksara yang mengerti pun langsung memberikan satu buket bunga tulip putih pada Anne. Kemudian gadis kecil itu memberikannya pada sang Mama.

This is for Mama, the flowers are beautiful just like Mama!” seru Anne.

Killa terkekeh, “it's so beautiful just like you. Thank you.” Killa mencium pipi Anne dengan gemas.

Sorry, to interrupt you three. Ini kayaknya kita jadi lalat di sini, gua mau keluar cari makan sama mereka berdua. Aksa, lo jagain Killa. Awas aja lo bikin dia sakit lagi,” ucap Arka.

“Iya, bang. Siap,” balas Aksara.

Akhirnya Arka, Aji, dan Keisha keluar dari ruangan untuk makan siang. Kini tersisa Aksara, Killa, dan Anne di dalam ruangan itu. Anne kini asik bermain dengan bunga tulip putih yang tadi ia beli bersama sang Papa. Sementara itu Killa dan Aksara mengobrol bersama.

“Kamu kenapa kurus banget?” tanya Killa. Disentuhnya rahang kokoh sang suami, dilihatnya tubuh kurus Aksara.

Aksara mengambil tangan Killa yang berada di rahangnya, kemudian ia genggam. “Kayaknya gara-gara kangen masakan kamu,” balas Aksara seraya tertawa.

“Serius, ih!” seru Killa.

Aksara terkekeh, “aku serius, sayang. Kamu mimpi apa sampai baru bangun sekarang? Aku khawatir banget sama kamu.”

“Maaf, ya. Aku bangunnya kelamaan ... Aku mimpi panjang banget, Sa. Aku ketemu Bunda,” ujar Killa.

Aksara mengangkat sebelah alisnya, “Bunda?”

Killa mengangguk, “iya, Bunda kamu.”

“Bunda bilang apa di mimpi? Bunda kayak gimana? Cantik banget pasti. Kamu ngapain aja sama Bunda?” tanya Aksara dengan suara gemetar dan terbata-bata.

“Bunda bilang ke aku, kalau Bunda senang lihat kita udah menikah dan punya anak. Kata Bunda, cucunya cantik banget, mata sama hidungnya mirip kamu. Tapi, wajahnya mirip aku. Kata Bunda, kamu kecapekan gara-gara kerja terus. Kata Bunda, kamu suka diem-diem nangis gara-gara kangen beliau. Bunda juga bilang kalau Bunda selama ini lihat kamu, Bunda masih di hati kamu, Sa. Bunda selalu ada buat kamu. Bunda juga nyuruh aku buat bangun karena kalian nungguin aku bangun, Bunda bilang hidupku masih panjang. Aku ... Aku dipeluk sama Bunda, Sa. Pelukannya masih sama kayak beberapa tahun lalu, aku kangen banget sama Bunda. Sa, Bunda bilang, kita harus hidup bahagia sampai akhir,” ucap Killa. Aksara sudah menangis terisak, Killa menarik Aksara untuk ia peluk. Anne hanya memperhatikan keduanya.

Ketika Aksara sudah tenang, Killa berkata kalau Aksara tidak perlu menangis diam-diam lagi. Ada dirinya di sini dan juga Anne, serta Aji dan Keisha yang berada di sisinya. Aksara tidak sendirian. Aksara hanya mengangguk, ia masih memeluk Killa meski dirinya harus membungkuk. Aksara sangat merindukan isterinya.

“Papa, I want to hug Mama too!” ucap Anne.

Aksara terkekeh, ia langsung melepaskan pelukannya. “You can speak Indonesian, why are you still speaking English?

“Karena kita ada di London, bukan di Indonesia!” balas Anne kemudian memeluk Killa. Aksara dan Killa tertawa. Ketiganya saling berpelukan dan melepas rindu yang masih tersisa.

Aksara sampai di rumah sakit yang diberitahu Aji. Ia datang dengan penampilannya yang berantakan, bajunya sudah tidak rapih, rambutnya berantakan, wajahnya terlihat khawatir. Ia menghampiri Aji yang sedang menunggu di depan ruang ICU.

“Killa di mana?” tanya Aksara.

Aji mengangkat kepalanya, ia bangkit dari duduknya. Kemudian ia segera melayangkan satu tinjuan ke wajah Aksara, membuat Aksara mundur beberapa langkah dan kepalanya semakin pusing.

“Gara-gara lo, bang! Kenapa lo nekat pergi kalau kak Killa udah ngelarang?! Gara-gara lo, kak Killa jadi kecelakaan. Ini semua salah lo!” teriak Aji.

“Gua—”

“Udah tua harusnya sadar diri, hal kayak gitu gak perlu dilakuin sama diri lo,” ucap Aji dengan sinis.

Aksara menghela napasnya, ia memilih untuk diam daripada mengeluarkan emosinya dan berakhir berucap fatal. Ia sangat khawatir dengan kondisi Killa saat ini. Aksara sadar kalau ini semua adalah salahnya. Seharusnya Aksara mengikuti ucapan Killa. Seharusnya ia tidak nekat. Seharusnya— semuanya sudah terlanjut. Nasi sudah menjadi bubur.

Ponsel Aksara berdering, ia langsung mengambilnya dari saku celananya. Dan nama Arka terpampang di layar ponselnya. Aksara segera mengangkat teleponnya.

“Halo—”

Di mana adek gua?!

“Bang—”

Lo kenapa harus mabuk-mabukan, sih, Sa?! Lo itu harusnya sadar kalau udah beristri, lo juga udah punya anak. Lo bukan anak remaja lagi. Lo udah dewasa, udah punya tanggung jawab. Kenapa malah sok-sokan balapan sama mabuk-mabukan?

“Bang, gua emang salah. Stop, bilang gitu ke gua. Gua pusing, tambah pusing habis ditonjok sama Aji. Terus lo ngomel-ngomel. Gua juga khawatir sama Killa.”

Lo emang cocok ditonjok. Besok gua ke sana.

“Seriusan? Gak usah, bang. Biar gua aja yang jagain.”

Gua mau jagain adek gua. Kalau nanti lo yang jagain, malah lalai lagi. Gua gak mau.

“Bang ....”

Baru kali ini gua kecewa sama lo, Sa. Gua kecewa.

“Maaf ....”

Pip

Arka langsung mematikan teleponnya. Aksara memperhatikan layar ponselnya yang menghitam, nama Arka sudah tidak terpampang di layar ponselnya lagi. Aksara menolehkan kepalanya ke arah Aji, kakinya melangkah mendekat. “Ji—”

Hingga pintu di depan mereka terbuka, keduanya sontak berdiri. Dokter dan perawat yang sedari tadi mengurusi Killa sudah keluar dari ruangan. Aksara segera menghampiri dokternya.

How is my wife now? Is she okay? What happened to her?” tanya Aksara bertubi-tubi.

Hit her head and suffered injuries, now she is in critical condition or in a coma. She needed special care until she woke up from his coma.

Rasanya dunia Aksara runtuh detik itu juga. Hatinya bagai ditusuk beribu-ribu jarum. Aji yang mendengarnya langsung menangis. Aksara menatap Aji yang kini menangis sambil terduduk di lantai.

Do whatever is best for my wife, make my wife wake up from her coma. I trust you,” pinta Aksara.

We will do our best, may you and your family be given the steadfastness. After this follow me to pay the hospital fee.

Aksara mengangguk, ia menepuk bahu Aji. Kemudian mengikuti langkah perawat tadi untuk membayar biaya rumah sakit. Berapapun biaya yang dikeluarkan, Aksara akan membayarnya. Asal Killa bangun dari komanya dan kembali berkumpul dengan dirinya dan puteri mereka. Aksara berdoa dan berharap Killa segera bangun dari komanya. Dia sangat berharap Tuhan akan mengabulkan doanya.