aireanora

Kailee dan Kalilo duduk di meja yang sudah diduduki oleh teman-teman Kailee. Rael tersenyum ke arah Kailee dan Kalilo yang berjalan ke arah mereka, lebih tepatnya tersenyum ke arah Kalilo. Rael langsung menggeser dirinya, menyisakan tempat kosong di sampingnya.

“Hai, Kalilo. Duduk di deket aku aja, ini kosong, kok. Hehe,” ucap Rael.

Kalilo mengernyitkan keningnya tak suka, “gua mau duduk di deket kak Kailee.”

“Di samping Kailee kan udah ada Adira sama Ella, gak ada tempat kosong lagi. Jadi, kamu duduk di sini aja,” ucap Rael.

Kalilo menatap Kailee, matanya seakan-akan minta pertolongan pada kekasihnya. Karena demi apapun, Kalilo tidak ingin duduk di dekat Rael. Ia tidak suka.

Kailee terkekeh, “duduk aja di sana. Bener kata Rael, gak ada tempat kosong lagi di deket aku, Kal.”

Akhirnya Kalilo duduk di dekat Rael. Terpaksa karena Kailee sudah buka suara. Di sampingnya ada Rael yang kegirangan. Rael menyampingkan tubuhnya, “Kalilo mau makan apa? Biar aku yang pesenin.”

“Gua bisa pesen—”

“Eh, jangan gitu dong. Kan aku udah nawarin. Mau makan apa? Kalian juga mau makan apa?” sela Rael.

“Gue mau bakso sama es teh aja deh,” sahut Kailee dengan muka malasnya.

“Gue juga.” Disusul oleh Adira, Ella, dan Sachi.

“Gua juga deh,” sahut Kalilo.

“Oke! Kailee, temenin aku pesen, yuk!” ajak Rael.

Dengan terpaksa, Kailee mengikuti Rael untuk memesan bakso pesanan mereka. Tanpa ia ketahui, kalau Rael sedang tersenyum dan merencanakan sesuatu secara diam-diam. Keduanya mengantri cukup lama karena kantin sangat penuh. Butuh waktu hingga 10 menit sampai keduanya bisa mendapatkan pesanan mereka.

Kailee dan Rael kembali ke meja mereka dengan membawa nampan di tangan mereka. Kailee berjalan di belakang Rael, ia merasa kesal karena Rael berjalan terlalu lambat. Hingga kemudian Rael yang berbalik secara tiba-tiba, membuat keduanya bertabrakan dan menjatuhkan nampan yang mereka pegang. Kailee terkejut tangannya terkena kuah bakso yang masih panas, apalagi ketika ia melihat Rael yang terjatuh—entah pura-pura—gadis itu menangis karena tangannya terkena kuah bakso.

“Kailee, kamu gimana, sih?! Kan jadi jatuh baksonya. Tangan aku juga kena kuahnya, kamu sengaja, ya?!” seru Rael sambil terisak.

Kailee mengerutkan keningnya, “lo duluan yang tiba-tiba balik badan. Yang salah itu lo!”

“Kok kamu nyalahin aku, sih? Orang-orang juga lihat kali kalau kamu yang bikin aku jadi kayak gini. Kamu tuh harusnya jangan melamun!” ucap Rael.

“Lo apaan, sih? Jelas-jelas yang salah itu lo, ngapain lo malah nyalahin kak Kailee? Gak habis pikir gua sama lo,” ucap Kalilo. Ia menghampiri Kailee yang sedang merasa kesakitan di tangannya.

“Kamu gapapa?” tanya Kalilo. Kailee mengangguk sebagai jawaban. Tiba-tiba Rael mengeraskan suara tangisnya, membuat orang-orang di sana memperhatikan dirinya.

“Itu ditolongin dong si Rael! Masa cuma Kailee doang yang ditolongin?”

“Kalilo, tolongin aku dong. Aku yang lebih parah dari Kailee,” ucap Rael.

“Lo bisa sendiri—”

“Kalilo, kamu jahat banget, sih? Ayo, cepetan tolongin aku. Tangan aku panas banget,” ucap Rael.

Kalilo berdecak, ia mengulurkan tangannya untuk membantu Rael berdiri. Rael memeluk lengan Kalilo dengan sengaja. Ia meniup lengannya yang memerah dan meringis kesakitan. Kalilo menatap ke arah Kailee yang tangannya juga memerah, Kalilo mengucapkan maaf pada Kailee tanpa suara. Kailee hanya tersenyum, ia membiarkan Kalilo membawa Rael ke UKS. Sementara dirinya harus menahan perih dan membereskan kekacauan yang dibuat oleh Rael.

“Obatin dulu tangan lo, Kai,” ucap Ella dengan wajahnya yang khawatir.

“Gue beresin ini dulu,” balas Kailee.

“Setan banget tuh orang, ngeselin banget! Tadinya mau gue maki-maki, untung Sachi nahan gue,” ucap Adira.

Kailee terkekeh, ia berjongkok untuk mengambil mangkok dan isinya yang berserakan di lantai. “Dasar licik,” gumamnya.

Kalilo melangkahkan kakinya mendekati Kailee yang sedang berdiri di depan tiang bendera. Meski matahari pagi ini masih belum sepanas siang nanti, namun, sinarnya membuat silau membuat badan hangat. Kailee masih belum tersadar kalau Kalilo berjalan ke arahnya. Laki-laki itu memberhentikan langkahnya di depan Kailee, lebih tepatnya menghalangi sinar yang mengenai Kailee.

Kailee mengerutkan keningnya ketika melihat sepasang sepatu di hadapannya, lantas ia mendongak dan menemukan Kalilo yang berdiri di hadapannya sambil tersenyum. “Kamu ngapain di sini?” tanya Kailee.

“Nemenin kamu,” jawab Kalilo.

“Kamu ngehalangin sinarnya, Kal,” ucap Kailee.

“Ya emang sengaja, biar kamu gak kena panasnya matahari. Makanya aku berdiri di depan kamu,” ujar Kalilo.

“Mending kamu ke kelas aja, lagian kan ini jam pelajaran,” usir Kailee.

Kalilo mengangkat sebelah alisnya, “kok kamu ngusir aku? Padahal aku pengen nemenin kamu.” Kalilo memasang wajah cemberut, membuat Kailee terkekeh.

“Kamu selalu aja kayak gitu, masang muka memelas biar aku luluh!” seru Kailee.

Kalilo tertawa, “kan kamu orangnya gampang luluh sama aku, kak.”

Kailee mendengus, “terserah deh.”

Akhirnya keduanya berdiri di depan tiang bendera bersama. Mengobrol berdua seolah-olah tidak ada siapapun lagi di sekitar mereka. Keduanya saling tertawa tanpa menghiraukan keadaan sekitar. Mereka berdua langsung terdiam ketika ada guru yang melewati keduanya, Kalilo berpura-pura berdiri di samping Kailee lalu kembali berdiri di depan Kailee ketika gurunya sudah melewati mereka.

Killa, Aji, dan Arka sudah bersiap untuk pergi ke rumah nenek. Lebih tepatnya ibu dari papa mereka. Aksara ikut serta mengantar mereka, karena jaraknya cukup jauh di pedesaan. Mereka pergi menggunakan mobil milik Aksara. Di sepanjang perjalanan, mereka hanya diam. Sebelum berangkat tadi, sempat terjadi cekcok antara Killa dan Arka. Arka menolak untuk ikut karena dia tidak mau bertemu dengan orang yang sudah ia anggap sebagai orang asing. Namun, Killa memaksanya untuk bertemu dengannya. Setidaknya sekali setelah kejadian itu. Akhirnya Arka mengiyakannya.

Tiga jam waktu ditempuh, mereka sampai di salah satu rumah sederhana yang tampak dari luar masih terlihat sangat bagus tanpa ada sedikit kerusakan. Di halamannya banyak ayam yang berkeliaran dan tanaman bunga serta pohon rambutan. Keempatnya turun dari mobil. Killa melirik Arka yang sedari tadi hanya diam. Ia melirik Aji yang tersenyum sambil memperhatikan rumah yang ada di depan mereka. Mereka melangkahkan kaki menuju ke rumah itu. Di depan pintu, dengan perlahan Aksara mengetuk pintunya.

Pintu terbuka dengan suara khas pintu yang sudah sangat tua, terbuka dengan perlahan hingga menampakkan wujud pria paruh baya yang wajahnya berkumis dan sangat kurus. Killa terkejut melihat papanya yang sangat berubah drastis dari penampilannya.

Rangga membulatkan matanya begitu melihat orang-orang yang berdiri di depan rumah ibunya. Ia hampir menutup pintu kembali, namun, Aksara segera menahannya.

“Papa, kita mau ketemu sama ayah,” ucap Killa.

“Nggak, papa kalian sudah mati. Dia tidak ada di sini lagi. Silakan pergi,” tolak Rangga.

“Tuh kan, percuma kita datang jauh-jauh ke sini kalau dia aja kayak gitu,” ucap Arka ketus.

“Papa, kita kangen papa, kita mau ketemu papa. Sebentar aja, ya? Aji pengen peluk papa katanya. Kita ngobrol sebentar. Boleh, ya?” bujuk Killa. Tidak ada jawaban apapun dari Rangga. Mereka masih berdiri di ambang pintu. Hingga kemudian suara nenek membuyarkan suasana ricuh diantara mereka.

“Eh, ada cucu-cucu nenek. Kenapa nggak diajak masuk? Ayo, masuk dulu. Kalian pasti capek habis nyetir jauh-jauh dari Bandung ke sini,” ucap nenek.

“Bu, mereka bukan siapa-siapa kita—”

“Ngomong apa toh, nak? Mereka itu anakmu, cucu-cucu ibu,” ucap nenek. Rangga hanya menghela napas pasrah. Ia membuka pintu lebar-lebar, mempersilahkan mereka masuk.


“Killa udah nikah sama Aksara, pa. Harusnya waktu itu papa datang. Kita juga udah nyelesaiin kuliah, kita juga udah punya pekerjaan sendiri. Aji udah kuliah, sebentar lagi dia semester empat. Kak Arka udah punya perusahaan sendiri. Keren, kan? Mama juga punya butik sendiri sama kayak aku. Kita masih jalanin hidup kayak dulu, kayak biasanya. Meskipun tanpa papa. Kita ke sini cuma mau jenguk papa, kita cuma mau tahu kabar papa,” ujar Killa. “Papa, gimana hidup papa selama ini sampai sekarang? Kenapa papa jadi kurusan?”

“Papa bangga sama kalian. Seharusnya kalian tidak perlu bertemu dengan orang brengsek seperti saya, saya tidak pantas ditanyakan perihal hidup saya yang masih berjalan, saya menjadi kurusan karena saya tidak semampu dulu. Saya hidup sederhana dengan ibu saya,” ucap Rangga.

“Emang harusnya kita gak jenguk orang brengsek kayak dia, apalagi nyebut dia sebagai ‘papa’ kita,” sahut Arka.

“Kakak!” seru Killa.

Rangga tersenyum, “tidak apa-apa. Memang benar yang Arka katakan.”

“Gak gitu, pa. Kak Arka emang suka ceplas-ceplos sekarang kalau ngomong,” ucap Aji.

“Nak, papa mau minta maaf sama kalian. Meski permintaan maaf papa tidak menyembuhkan luka di hati maupun fisik kalian, papa minta maaf, papa menyesal. Papa ingin kalian hidup bahagia tanpa papa, hidup dengan semestinya, mencari pendamping hidup yang baik, jangan seperti papa. Papa tahu kalian orang-orang baik, papa tidak mau kalian mendapat orang yang salah. Dan buat kamu, Aksara, saya titip putri satu-satunya pada kamu. Saya harap kamu bisa menjaga dia, menafkahi dia, dan memberikan kasih sayang seperti suami ke istri pada umumnya. Saya harap kamu tidak menyakiti dia,” ucap Rangga dan diakhiri dengan air mata yang mengalir di pipinya. Rangga terisak sampai-sampai ia harus menundukkan kepalanya dan bahunya bergetar.

Killa menundukkan kepalanya, ia menangis di pelukan Aksara. Aji hanya bisa menunduk sambil menangis. Arka mengangkat kepalanya, menahan air matanya yang akan tumpah. Mereka menangis bersama. Mengingat beberapa kenangan yang ada diantara mereka beberapa tahun silam. Rasanya menyakitkan dan menyenangkan. Rasa rindu kembali menyeruak, membuat mereka enggan untuk berhenti menangis. Memori itu terputar bagai kaset yang terputar.

Mereka berbicara banyak sekali sampai langit berubah menjadi warna jingga. Killa juga memberitahu Rangga kalau ia akan pergi ke London. Awalnya Rangga terkejut, tapi, ia senang kalau anaknya lebih senang hidup di sana.

Satu pelukan hangat yang tidak mereka rasakan bertahun-tahun lamanya, akhirnya kembali mereka rasakan. Hingga jam menunjukkan pukul tujuh malam, mereka berpamitan untuk pulang. Tidak berniat untuk menginap karena ada banyak hal yang harus disiapkan untuk besok.

Aksara segera turun dari mobilnya ketika sudah memarkirkan mobilnya di garasi rumahnya. Sementara itu, Killa yang mendengar suara mobil—yang ia pastikan milik Aksara—langsung bangkit dari duduknya dan berjalan ke arah pintu. Killa tersenyum ketika membukakan pintu. Tanpa aba-aba, Aksara langsung memeluknya. Killa membalas pelukannya.

“Mau mandi dulu atau langsung jelasin?” tanya Killa.

“Mandi dulu, ya?” balas Aksara. Kemudian Killa menganggukkan kepalanya. Killa membantu Aksara melepaskan jasnya dan menyiapkan air hangat untuk Aksara mandi.


Kini Aksara dan Killa sedang berada di ruang keluarga, mereka baru saja selesai makan malam. Sekarang keduanya sedang duduk di sofa sambil saling memeluk satu sama lain. Keisha sedang berada di kamarnya. Mungkin kalau Keisha melihatnya, ia akan meledek keduanya.

“Jadi, gimana, Sa? Kamu serius?” tanya Killa setelah keduanya terdiam selama beberapa menit.

Aksara menganggukkan kepalanya, ia mengusap kepala Killa yang berada di dadanya. “Iya, aku serius.”

“Kenapa mendadak banget?” tanya Killa.

“Aku udah kepikiran ini dari lama, aku juga udah nyiapin semuanya dari lama. Cuma aku belum ngasih tau kamu sama keluarga aja,” balas Aksara.

“Sejak kapan?” tanya Killa.

“Satu tahun yang lalu,” balas Aksara dengan entengnya.

Killa langsung mengangkat kepalanya dan menatap Aksara tidak percaya, “dari sebelum kita nikah?!” serunya. Aksara hanya mengangguk sambil terkekeh.

Tidak lama kemudian, Keisha datang dan duduk di sofa yang berada di seberang mereka. Ia mengerutkan keningnya ketika melihat Killa yang menatap Aksara dengan terkejut. Keisha menjadi penasaran. Apa yang dikatakan kakaknya hingga membuat kakak iparnya sangat terkejut.

“Teh Killa kenapa?” tanya Keisha.

“Kei, tanya aja sama aa’ kamu,” balas Killa.

Keisha menatap Aksara, “kenapa, a’?” tanyanya.

“Kita bakalan tinggal di London.”

Ucapan Aksara membuat Keisha membulatkan matanya. Ia menatap Aksara dan Killa bergantian dengan wajah terkejutnya. Ia bahkan menepuk pelan pipinya, memastikan apakah ini mimpi atau bukan.

“Aa’ serius?!” tanya Keisha.

Aksara menganggukkan kepalanya, “serius, lah. Masa bercanda.”

“Terus sekolah aku, gimana? Kuliahnya nanti di mana? Aa’ yang bener aja dong kalau ngomong,” tanya Keisha bertubi-tubi.

“Nggak sekarang, Kei. Kita pindahnya kalau kamu udah lulus SMA. Nanti kamu kuliahnya di sana. Tenang aja, aa’ udah siapin semuanya. Kamu gak perlu mikir nanti kuliahnya di mana. Aa’ udah daftarkan kuliah kamu di sana, aa’ jamin kamu suka deh. Soalnya universitasnya bagus,” jelas Aksara.

“Terus Ayah, gimana?” tanya Keisha.

“Nanti kita ajak Ayah,” balas Aksara.

“Keluarganya Teh Killa juga ikut?” tanya Keisha.

“Yaa, kalau mereka mau ikut. Kalau enggak, ya udah. Ini masih persiapan aja, kok. Belum tahu jadi apa enggak. Kita juga harus dapet persetujuan dari keluarganya Killa,” ucap Aksara.

“Keisha jangan sedih, ya. Ini belum pasti. Nanti kalau enggak jadi, ya kita tetap tinggal di sini. Kalau jadi, ya udah ... Lagian ini keputusan kita bersama,” ucap Killa. Ia berdiri dari duduknya dan merangkul Keisha yang terlihat sedih.

“Aku gak mau ninggalin Bunda sendirian di sini,” gumam Keisha. Perlahan air matanya menetes. Killa langsung menarik Keisha ke dalam pelukannya.

“Maaf, Kei. Aa’ harus kayak gini karena aa’ juga harus jalanin perusahaan yang di sana. Jadi, biar gak bolak-balik terus. Aa’ lebih milih kita pindah sekalian di sana,” ujar Aksara.

“Nanti kalau ada waktu, kita pulang ke sini. Okay?” ucap Aksara yang kini berjongkok di hadapan Keisha.

Keisha hanya menganggukkan kepalanya. Aksara mengusap pelan kepala Keisha, ia menatap Killa yang juga menatapnya. Killa tersenyum dan berkata “gapapa, nanti kita omongin lagi.” tanpa suara. Aksara menganggukkan kepalanya, ia menyuruh Keisha untuk pergi ke kamarnya dan segera tidur karena hari mulai larut malam. Keisha segera pergi ke kamarnya, begitupun dengan Killa dan Aksara.

“Aku takut Keisha gak suka tinggal di sana, Kil,” ucap Aksara.

“Besok kita omongin lagi, ya. Kalau Mama aku setuju, kita bujuk Keisha pelan-pelan. Sekarang kita tidur aja dulu, besok kan kamu harus kerja,” ucap Killa.

Good night.

Good night, Aksa.”

cw // kiss

“Pengantin wanita silakan masuk dan berdiri di samping pengantin pria.”

Suasana yang tadinya hening langsung ricuh oleh tepuk tangan para tamu yang datang ketika pengantin wanita mulai menunjukkan dirinya dan berjalan ke arah pengantin pria. Killa dengan gaun pengantin berwarna putih yang sangat cocok untuk dirinya, dengan rambut yang ditata seapik mungkin.

Aksara mengepalkan tangannya yang berada di samping tubuhnya karena merasa luar biasa gugup. Apalagi ketika melihat Killa yang perlahan mulai mendekat ke arahnya. Cantiknya, gadisnya, wanitanya, yang sekarang resmi menjadi isterinya. Aksara tersenyum ketika melihat wajah Killa yang sangat cantik.

Cantik banget, ya Tuhan,” batinnya.

“Pengantin pria silakan membantu pengantin wanita untuk berdiri di sampingnya.”

Maka dengan insting hatinya, Aksara mengulurkan tangannya dan disambut oleh Killa. Keduanya berdiri bersampingan di atas panggung kecil di sana. Para tamu yang datang langsung bertepuk tangan dengan hebohnya, terutama teman-teman Aksara.

“Untuk pengantin pria, silakan mencium pengantin wanita karena sekarang kalian sudah sah.”

Keduanya kini berhadapan. Killa menunduk malu, padahal Aksara sering melakukannya padanya. Aksara mulai mendekatkan wajahnya ke wajah wanita di hadapannya. Tangannya meraih dagu sang wanita untuk diangkat dan menatapnya. Kedua pasang netra mereka saling bertatapan. Aksara perlahan mendekatkan wajahnya dan Killa memejamkan matanya. Bibir keduanya saling beradu, hanya sebentar tapi terasa sangat memabukkan.

Tepuk tangan kembali terdengar ketika Aksara menjauhkan dirinya dari Killa. Laki-laki itu tersenyum, mengusap bibir Killa dengan ibu jarinya. Acara pernikahan sudah selesai. Hanya tersisa foto bersama dengan kerabat dan acara makan-makan.

Saat ini Winda, Killa, Arka, Aji, dan Aksara tengah berada di restoran untuk merayakan kelulusan Killa hari ini. Jangan tanya kenapa Aksara tidak dirayakan? Mereka sudah merayakannya kemarin karena Aksara baru lulus satu hari sebelum Killa. Mereka menikmati hidangan yang sudah tertata rapih di meja.

Hanya ada dentingan sendok dan pisau—mereka sedang makan beef steak—tidak ada obrolan apapun diantara mereka. Menit demi menit telah berlalu. Kini mereka sudah selesai menyantap makanan.

“Jadi, kapan kalian berdua mau menikah?” tanya Winda sambil menatap Killa dan Aksara secara bergantian.

Killa yang mendengarnya langsung membulatkan matanya, ia menatap Mamanya dengan wajah terkejutnya. “Ma?!” seru Killa.

“Kan kalian sudah lulus, apa ada rencana mau menikah setelah ini?” lanjut Winda yang tak menghiraukan seruan putrinya.

Aksara melirik Killa yang tengah menundukkan kepalanya. Laki-laki itu berdeham, membenarkan posisi duduknya sebelum membalas perkataan Winda. “Kita berdua mau kerja dulu, Ma. Cari uang dulu buat biaya nikah kita. Lagian kita masih mau menikmati waktu bareng temen-temen. Urusan nikah, itu bisa dipikir belakangan kalau kita udah siap,” balas Aksara.

“Yang penting jangan kelamaan, ya. Mama mau gendong cucu soalnya,” ucap Winda.

“Mamaaa,” rengek Killa. “Gendong cucu apaan? Masih lama! Lagian kita gak buru-buru buat nikah.”

“Iya, maksud Mama, mungkin kalian setelah ini ada rencana buat menikah. Soalnya kan kalian udah lulus kuliah,” ujar Winda.

“Kalau Kak Killa nikah, Kak Arka dilewati dong?” celetuk Aji.

“Heh! Kalau ngomong, suka bener,” sahut Arka yang kemudian ditertawai oleh mereka.

“Sebenernya aku siap kalau kita mau nikah,” bisik Aksara kepada Killa. Killa sontak menatap Aksara dengan mata tajamnya. Laki-laki itu terkekeh, ia mengusap tangan Killa yang berada di bawah meja.


“Kita kapan mau nikah?” tanya Aksara.

Saat ini mereka berdua sudah kembali ke apartemen. Dan sekarang sudah malam hari. Keduanya sedang duduk santai di ruang tamu sambil menonton televisi. Keluarga Killa sudah kembali ke Indonesia lagi sore tadi. Memang terlalu mendadak, mereka tidak bisa lebih lama lagi di sini karena Aji yang harus berkuliah dan Arka yang harus mengurus perusahaannya.

“Emang kamu mau kita nikah?” tanya Killa.

Aksara mengerutkan keningnya, “ya mau, lah! Emang kamu gak mau?”

“Mau,” balas Killa.

“Nah, makanya aku nanya, kapan kita nikah?” ucap Aksara.

“Kan kata kamu, kita mau kerja dulu, masih mau nikmati waktu bareng temen-temen. Gimana, sih?” Killa menatap Aksara dengan kerutan di keningnya.

Aksara menyengir, “ya iya. Siapa tahu kamu berubah pikiran, mau nikah secepatnya.”

“Susah tahu kalau mau bangun rumah tangga,” ucap Killa.

“Iya, susah. Tapi, kalau kita bangun bareng-bareng ya nggak bakalan susah. Kita jaga bareng biar gak rubuh,” ujar Aksara. Tangannya memainkan rambut Killa yang tergerai.

“Hmm ... Nanti aja kita pikirin lagi,” kata Killa.

Aksara mengangguk, “kasih aku kiss dong.”

“Mau?” tanya Killa. Aksara langsung mengangguk dengan semangat.

Killa mendekatkan wajahnya ke wajah Aksara dengan perlahan, Aksara mulai menutup matanya ketika jarak wajah mereka berdua sudah semakin dekat. Aksara mengerutkan keningnya ketika tidak merasakan apa-apa. Ia kembali membuka matanya, tidak ada Killa di hadapannya. Aksara mencebikkan bibirnya, ia dibohongi oleh kekasihnya.

Kiss terus! Makan tuh cium!” teriak Killa dari dalam kamarnya, Aksara tertawa mendengarnya.

I love you!” teriak Aksara.

I love me, too!” teriak Killa.

Killa menatap Aksara yang sedari tadi mengerucutkan bibirnya sembari memakan croissant yang tadi ia beli. Killa terkekeh ketika tahu kalau Aksara sedang merajuk padanya. Gadis itu menyandarkan kepalanya di bahu Aksara. Namun, Aksara berusaha untuk menghindarinya. Killa langsung mengaitkan tangannya di lengan Aksara, menahan laki-laki itu agar tidak pergi ke mana-mana.

“Bentar doang,” ucap Killa.

Hanya ada keheningan diantara keduanya. Killa merasa bingung dengan Aksara yang tiba-tiba mendadak manja padanya. Padahal Aksara akan bersifat manja padanya ketika sedang sakit saja. Laki-laki itu juga tidak sedang sakit, malahan sangat sehat.

“Masih ngambek?” tanya Killa. Tidak ada jawaban apapun dari Aksara. Killa menghela napasnya, “ngambek kenapa, sih? Gara-gara aku pulangnya telat?” Aksara mengangguk-anggukkan kepalanya sebagai jawaban.

“Kan aku tadi ada pertemuan sama dosen, Sa. Makanya lama. Masa ngambek?” ujar Killa sembari mengendus.

Aksara menolehkan kepalanya ke arah Killa. Gadisnya tampak kesal karena dirinya. Aksara terkekeh, ia hanya sedang menjahili kekasihnya. Rupanya Killa benar-benar kesal padanya. Killa menatap Aksara dengan tatapan bingung. Aksara mengecup rambut Killa, ia mengusap pipi Killa dengan perlahan.

“Bercanda aja, sayang. Aku gak ngambek, kok. Aku tadi cuma mau jahilin kamu aja,” ujar Aksara.

“Nyebelin!” seru Killa.

“Maaf, ya? Hehe.” Aksara menyengir.

“Kirain ngambek beneran,” kata Killa.

“Nggak, lah. Mana bisa aku ngambek sama kamu,” ucap Aksara.

“Sa, pengen pulang ke rumah,” ucap Killa secara tiba-tiba.

“Kenapa?” tanya Aksara sambil mengerutkan keningnya.

“Kangen sama semua orang yang di Bandung,” balas Killa dengan wajah murungnya.

Aksara mengulurkan tangannya untuk mengusap kepala Killa, “nanti kita pulang kalau libur, ya? Jangan sedih. Kan masih bisa video call dulu.”

“Iya, tapi, aku pengen peluk Mama,” kata Killa dengan suara bergetar menahan tangis.

Aksara langsung menarik Killa ke dalam dekapannya, mengusap rambut gadis itu dan mengucapkan kata-kata penenang. “Ssshhh, jangan nangis. Ada aku di sini, sayang. Nanti aku telepon Mama, ya? Kamu jangan sedih, jangan nangis. Nanti Mama khawatir liat mata kamu yang bengkak habis nangis.”

Killa semakin menenggelamkan dirinya di pelukan Aksara. Rasa rindunya terharap sang Mama tidak bisa ia tahan lagi. Rasa rindu kepada Mama, adik, dan kakaknya sangatlah besar. Tidak bisa dipungkiri kalau Killa juga sangat merindukan suasananya rumahnya. Namun, ia di sini untuk menuntaskan belajarnya dan mendapat gelar terbaik yang sudah ia impikan sejak dulu. Killa memeluk Aksara semakin erat. Dengan Aksara yang mengusap rambutnya dengan lembut. Perlahan-lahan gadis itu mulai menghentikan tangisannya dan diganti dengan suara dengkuran. Aksara tersenyum, ia bergerak dengan pelan agar tidak mengusik Killa yang tertidur di pelukannya. Aksara menggendong Killa ke kamar dan menidurkan gadis itu di kasurnya.

cw // kissing , kiss

Brak

Killa tersentak ketika mendengar suara pintu didobrak. Gadis itu melangkahkan kakinya keluar dari kamar, maniknya melihat Aksara yang datang dengan napas terengah-engah. Laki-laki itu memberikan bingkisan yang berisi croissant yang ia inginkan. Killa tersenyum senang, ia melangkahkan kakinya ke sofa dan duduk di sana. Aksara mengikutinya dan duduk di samping gadis itu.

“Kamu cepet banget?” tanya Killa terheran-heran. Pasalnya gadis itu baru meminta dibelikan croissant beberapa menit yang lalu, Aksara juga bilang kalau laki-laki itu sedang ada urusan dengan temannya. Namun, Aksara kembali lebih cepat diluar dugaannya.

Aksara melirik Killa yang sedang melahap croissant hingga bibirnya terdapat remahannya, tangannya terulur untuk membersihkan sisa remahan yang berada di pinggir bibir Killa. “Takutnya kamu lagi pengen banget makan croissant sekarang, makanya aku buru-buru,” jawab Aksara.

“Padahal tadi aku bilang gak usah buru-buru juga gapapa,” ucap Killa.

“Tapi, kamu nyuruh buat cepetan,” sahut Aksara. Ia menyandarkan kepalanya di bahu sang kekasih.

Killa terkekeh, “gak secepat ini juga, Aksa.”

Aksara tertawa, “biar kamu bisa makan sekarang.”

Hening.

Killa masih sibuk menghabiskan croissant yang dibelikan Aksara. Sesekali gadis itu juga menyuapi kekasihnya. Keduanya tidak berbicara lagi setelah obrolan tadi. Aksara juga hanya terdiam sambil bersandar di bahu Killa, laki-laki itu memejamkan matanya. Kemudian ia membuka matanya ketika Killa menyuruhnya untuk menyingkir dari gadis itu. Killa beranjak dari duduknya dan pergi ke dapur untuk mengambil minuman, kemudian ia kembali lagi dengan segelas air putih di tangannya.

Killa segera meneguk air putih di tangannya hingga tersisa setengah gelas. Aksara merebut gelas yang dipegang Killa, kemudian meminum sisanya hingga tandas. Killa nampak terkejut karena itu adalah gelas yang habis ia gunakan untuk minum. Mereka memang sudah biasa seperti ini, namun tetap saja Killa masih merasa terkejut. Gadis itu tampak canggung sendiri, Killa ingin pergi ke kamarnya sekarang karena suasana yang tiba-tiba menjadi dingin.

“Mau ke mana?” tanya Aksara dengan suara seraknya.

Killa meneguk ludahnya dengan susah payah, “ke kamar. Mau gosok gigi, habis itu tidur.”

“Jangan lama-lama,” ucap Aksara.

Killa mengernyitkan keningnya, “dih, emang mau ngapain?” tanyanya tak paham.

Aksara mengangkat sebelah alisnya, “kissing of course.” Ah, sepertinya Killa baru ingat. Gadis itu langsung buru-buru pergi ke kamarnya, meninggalkan Aksara yang masih diam di tempat sambil terkekeh karena melihat tingkah lucu Killa yang membuatnya gemas.


Suara ketukan pintu terdengar, membuat Killa mau tak mau harus bangkit dari kasurnya dan membukakan pintu. Terpampang Aksara dengan wajah mengantuknya berdiri di depan pintu kamarnya. Laki-laki itu langsung memeluk Killa hingga membuat gadis itu hampir terhuyung ke belakang. Aksara memeluknya dengan erat, membuat Killa kewalahan.

“Aksa, ih! Berat!” seru Killa.

“Bentar aja,” bisik Aksara.

“Ini mau berdiri gitu? Capek,” ucap Killa.

Akhirnya Aksara melepaskan pelukannya, ia tiduran di samping Killa. Laki-laki itu memeluk Killa dari samping. Killa terkekeh, ia mengusap rambut Aksara yang mulai memanjang. Padahal Killa sudah menyuruh Aksara untuk memotong rambutnya, namun Aksara selalu saja menundanya. Tentunya dengan berbagai alasan yang sudah Killa hapal di luar kepala.

Aksara mengangkat kepalanya, ia menatap Killa yang juga menatapnya. Laki-laki itu tersenyum, ia mensejajarkan wajahnya dengan wajah Killa. Kini wajah keduanya sudah sejajar. Aksara mengusap perlahan pipi Killa, maniknya tidak luput dari pandangan ke arah Killa. Killa yang ditatap seperti itu langsung gelagapan. Ia langsung teringat kejadian tadi. Killa berusaha untuk tidak menatap Aksara, karena hal itu akan membuat jantungnya terus berdetak dengan kencang.

Can I have my kiss now?” tanya Aksara dengan suara pelan.

“Sa ....”

“Kalau gak mau, ya gapapa. Aku gak bakal maksa kamu, Killa,” ucap Aksara.

Even if I say no, you will still kiss me,” ucap Killa.

Aksara terkekeh mendengarnya, “of course.” Tangannya mengusak surai milik Killa yang beberapa helainya menutupi mata cantik kekasihnya, “kan tadi kamu yang minta.”

“Iya, sih. Tapi, kan—”

Tanpa aba-aba, laki-laki langsung mencium Killa tepat di bibir. Menyela ucapan Killa yang belum selesai, membuat Killa langsung menutup matanya. Aksara mengusap pipi Killa dengan ibu jarinya ketika bibirnya mulai melumat bibir Killa dengan perlahan. Matanya juga ikut terpejam mengikuti permainan. Killa meremat kaos Aksara, matanya terpejam dengan erat. Keduanya menikmati ciuman yang berlangsung begitu saja. Killa memukul pelan dada Aksara ketika merasakan pasokan oksigen yang menipis, Aksara langsung melepaskan kedua tautan mereka. Napas keduanya terengah-engah. Aksara menyatukan kedua kening mereka dan keduanya saling bertatapan beberapa saat.

Aksara tersenyum, ia mengusap bibir Killa. “Maaf, makasih, ya. I love you.

Pintu terbuka, Aksara dan Keisha tersenyum melihat Killa yang membukakan pintu untuk mereka. Killa mengajak keduanya untuk masuk ke dalam rumahnya. Aksara dan Keisha disambut oleh Winda yang tersenyum sumringah melihat keduanya datang. Aksara dan Keisha segera mencium punggung tangan Winda dan mengucapkan salam.

“Mama lagi masak sama Killa, kalian tunggu dulu di ruang tamu, ya. Nanti kalau udah selesai masaknya, Mama panggil kalian,” ujar Winda. “Killa, kamu panggilin Aji sama Arka buat nemenin mereka,” titah Winda kepada Killa. Killa mengangguk kemudian pergi ke lantai dua untuk memanggil kakak dan adiknya.

Sementara itu, Aksara dan Keisha duduk di sofa ruang tamu. Winda juga sudah menyediakan minuman dan cemilan untuk mereka. Tidak lama kemudian, Killa, Arka, dan Aji datang. Killa tersenyum melihat Aksara yang menatapnya.

“Kamu bisa di sini aja gak, sih? Aku mau peluk kamu,” bisik Aksara ketika Killa mendekati dirinya.

Killa terkekeh, “nanti yang bantuin Mama siapa? Masa aku jadi anak durhaka gara-gara gak bantuin Mama masak?”

Aksara menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, kemudian ia menyengir. “Iya, sih. Ya udah sana kamu bantuin Mama. Kalau butuh bantuan, panggil aku aja,” ucapnya.

Killa mengangguk sebagai jawaban. Ia segera pergi ke dapur untuk membantu Winda memasak. Kedua perempuan itu memasak bersama. Winda menyiapkan beberapa menu untuk makan malam. Mereka berdua memasak banyak karena ada Aksara dan Keisha di rumah. Alasan lainnya karena Winda yang mungkin tidak ingin bersedih berlama-lama, maka dari itu ia berniat memasak banyak agar suasana hatinya teralihkan.

“Kamu pacaran sama Aksara udah berapa lama?” tanya Winda.

“Tiga tahun, satu bulan lagi jalan empat tahun,” balas Killa.

“Lama juga, ya. Kalian pacaran pas kelas sembilan SMP, kan?” tanya Winda.

Killa terkekeh, “iya,” jawabnya. Seketika ia teringat masa-masa ketika mereka pertama kali menjalin hubungan saat masih kelas sembilan. Sekarang mereka sudah hampir lulus SMA, dan hubungan mereka masih bertahan dengan baik.

“Habis lulus mau nikah sama Aksa?” tanya Winda yang mana membuat Killa tersedak ludahnya sendiri. Winda terkekeh, ia menatap anak gadisnya dengan senyuman mengejek.

“Mama, ih! Mana mungkin kita nikah secepat itu. Kuliah dulu, cari kerja, baru nikah,” ucap Killa dengan menggebu-gebu.

“Kan siapa tahu. Rencana Tuhan gak ada yang tahu,” kata Winda.

“Mama mah, ngeselin pisan,” ucap Killa sambil cemberut.

“Anak gadis masa ngambek,” goda Winda.

“Tau, ah.” Winda tertawa, sedangkan Killa hanya diam sambil mengaduk sayuran di panci.


Makan malam sudah siap, Killa segera memanggil orang-orang yang sedari tadi berisik sambil bermain PlayStation. Mereka segera pergi ke ruang makan. Sekarang ruang makan tampak lebih ramai dari sebelumnya. Winda tersenyum ketika melihat anak-anak tampak tergiur dengan makanan di depannya.

Aksara yang duduk di samping Killa pun meminta Killa untuk mengambilkan nasi untuknya juga ketika ia melihat Killa mengambilkan nasi untuk Keisha. Hal itu membuat Winda, Aji, dan Arka tertawa bahkan mengejek keduanya.

“Latihan jadi suami-istri, ya,” ucap Arka sambil tertawa.

“Kakak apaan, sih!” seru Killa.

“Salting tuh bilang, Kak!” sahut Aji.

“Aji, diem deh!” sungut Killa.

“Iya, latihan jadi suami-istri. Biar nanti pas nikah enggak kaku,” ucap Aksara. Killa menolehkan kepalanya dan melotot ke arah Aksara.

Winda terkekeh, “kalian ini ada-ada aja. Ayo, dimakan makanannya. Ambil yang banyak lauknya.”

Mereka segera makan malam bersama. Sesekali mereka berbincang banyak hal. Entah itu tentang bagaimana kehidupan sekolah Keisha, Aji, Killa, dan Aksara. Atau kehidupan perkuliahan Arka. Mereka berbicara banyak sekali. Semua topik menjadi perbincangan mereka. Mereka juga banyak tertawa karena Keisha dan Aji yang bertingkah gemas atau berebutan makanan. Padahal makanannya masih banyak di atas meja makan.

“Aksa, masih sama Ayahnya?” tanya Winda. Suasana di meja makan mendadak tidak seramai tadi. Semuanya seketika terdiam. Killa melirik Aksara yang langsung menghentikan pergerakan tangannya.

Aksara mengangguk, “masih, Ma.”

“Aksara, saya pernah bilang kan kalau kamu butuh seorang Ibu, kamu bisa datang ke saya. Anggap saya seperti Ibu kamu. Saya malah senang. Apalagi Keisha, saya tidak masalah, kok. Lagian kan nanti kamu pasti bakalan menikah dengan Killa. Meski jadi Mama mertua, pokoknya anggap saya sebagai Mama kamu, ya?” ucap Winda.

“Mama ....,” lirih Killa ketika Winda mengatakan kalau ia pasti akan menikah dengan Aksara. Dirinya salah tingkah, mungkin wajahnya akan segera memerah.

Aksara tertawa pelan, “iya, Ma. Terima kasih banyak.”

“Jangan sungkan juga buat minta bantuan ke saya. Saya bakalan bantu semampu saya,” ujar Winda.

Aksara mengangguk, “siap, Ma. Maaf, Aksa banyak ngerepotin Mama sama Killa, sama Bang Arka, Aji juga.”

“Nggak, Sa. Kamu gak ada ngerepotin kita sama sekali. Kita malah seneng kalau kamu selalu bilang kalau kamu butuh bantuan, itu artinya kamu terbuka sama kita,” ucap Killa.

“Bener kata Killa, lo gak ngerepotin sama sekali, Sa,” sahut Arka. “Lagian kita temenan udah lama, gak ada kata ngerepotin sama sekali.”

Aji mengangguk, “gue juga, Bang. Gak merasa direpotkan sama sekali. Malah gue juga seneng bisa bantu lo.”

Aksara tersenyum. Hatinya tersentuh mendengar perkataan mereka. Kehangatan yang sudah lama tidak ia rasakan, sekarang bisa ia rasakan kembali. Meskipun tidak lengkap, hanya dengan keluarga kekasihnya, tapi Aksara bisa merasakan kehangatan itu lagi. Kehangatan yang sudah lama hilang dan sudah ia lupakan bagaimana rasanya diantara keluarga yang harmonis. Aksara segera mengusap pipinya ketika air matanya jatuh. Laki-laki itu menangis.

Killa yang melihatnya langsung mengusap bahu Aksara. Laki-laki itu terkekeh, meminta maaf karena malah menangis di hadapan mereka. Keisha turun dari kursinya dan menghampiri Aksara. Gadis kecil itu memeluk Aksara dengan erat. Hal itu membuat Aksara semakin bertambah menangis. Killa membawa Aksara ke pelukannya, menenangkan kekasihnya yang kini terisak.

“Kangen Bunda,” ucap Aksara dengan suara yang hanya Killa bisa dengar.

Killa mengusap punggung Aksara dengan lembut, “nanti kita kunjungi Bunda.”

Winda berdiri dari duduknya, ia menghampiri Aksara dan memeluk laki-laki itu. Lagi-lagi Aksara terisak karena pelukan ini mengingatkan dirinya pada sang Bunda yang selalu memeluknya. Pelukan orangtua yang tidak pernah ia rasakan beberapa tahun terakhir ini. Rasanya sangat menenangkan dan membuat Aksara menjadi sedikit lebih lega dari sebelumnya. Winda memeluk Aksara yang sudah ia anggap sebagai anaknya sendiri. Winda mengusap rambut Aksara, membisikkan kata-kata penenang untuk Aksara. Sekarang, Aksara bisa merasakan kembali pelukan seorang Ibu.

Aksara kembali dengan nampan berisikan pesanan makanan yang tadi ia pesan. Ia duduk di hadapan Killa, memberikan satu paket makanan untuk Killa tanpa berkata-kata apapun. Killa segera memakannya dengan perlahan. Gadis itu tampak enggan untuk bertatapan dengan Aksara karena aura laki-laki itu terlihat tidak mengenakkan. Tidak ada perbincangan apapun dari keduanya, masing-masing sibuk menikmati makanannya.

Selesai makan pun, Aksara hanya fokus bermain ponsel. Sedangkan Killa sedang berusaha mencari topik yang tepat untuk dibicarakan dengan Aksara. Gadis itu memegang erat roknya, menggigit bibir bawahnya, dan matanya yang terlihat melirik ke arah lain.

“Aksa,” panggil Killa dengan suara pelan.

“Hm.” Laki-laki itu hanya membalas dengan deheman, bahkan tidak menatap Killa sama sekali.

“Aksa, kamu marah sama aku?” Pertanyaan itu terlontar begitu saja dari mulut gadis itu.

Baru lah Aksara mendongakkan kepalanya, menatap Killa yang kini menatapnya dengan takut-takut. Aksara memajukan tubuhnya, meletakkan ponselnya di saku celananya. Ia menatap Killa dengan dalam, Aksara belum mengeluarkan suaranya sama sekali.

“Aksa ....”

“Aku enggak marah,” ucap Aksara.

“Terus kenapa kamu diem aja?” tanya Killa.

“Aku cuma kesal aja lihat tangan kamu,” balas Aksara sambil mendengus. “Aku gak suka, Killa. Kemarin kamu udah janji buat gak ngelakuin itu lagi.”

“Aku terpaksa,” ucap Killa.

“Terpaksa, gimana? Kamu emang niat buat kayak gitu lagi, kan? Itu niat kamu, bukan karena terpaksa,” ujar Aksara.

“Nggak gitu, Sa. Aku emang kemarin capek aja, aku gak bisa apa-apa selain ulangin itu lagi,” jelas Killa.

“Kamu bisa nangis, kamu bisa teriak, kamu bisa manggil aku buat nemenin kamu. Enggak dengan cara yang salah kayak gini. Ini tuh malah bikin tubuh kamu luka, Killa,” ucap Aksara sembari menghela napasnya sejenak.

“Maaf,” cicit Killa sambil menundukkan kepalanya.

“Buat apa minta maaf sama aku? Minta maaf sama diri kamu sendiri,” kata Aksara.

Killa terdiam. Memang benar apa yang diucapkan Aksara. Ia harus meminta maaf pada dirinya sendiri karena telah melukai tubuhnya dan menyiksa dirinya sendiri. Seharusnya Killa bisa berdamai dengan dirinya sendiri dan tidak melakukan hal bodoh yang sudah dilarang berkali-kali oleh kakak, adik, dan kekasihnya. Dan seharusnya Killa tahu kalau melakukan hal itu bukanlah hal yang benar untuk meluapkan rasa stress-nya dan rasa lelahnya. Banyak cara dan banyak hal baik lainnya yang bisa ia lakukan untuk meluapkannya. Namun, Killa memilih hal yang salah.

“Iya, maaf,” ucap Killa.

Don't hurt yourself, okay? Jangan gitu lagi, aku gak suka. Abang sama Adik kamu pasti juga gak suka,” ujar Aksara.

Killa menganggukkan kepalanya, Aksara tersenyum. Ia mengulurkan tangannya untuk mengusap kepala Killa. Killa mendongakkan kepalanya, ia mendapati Aksara yang tersenyum ke arahnya. Gadis itu tersenyum kecil.

“Yuk, kita pulang sekarang. Jangan sedih lagi, aku di sini sama kamu,” ucap Aksara.

“Makasih,” ucap Killa.

Keduanya keluar dari sana dan segera pulang. Di bawah langit berwarna jingga di Kota Bandung, keduanya saling tersenyum dan menggenggam satu sama lain. Killa dan Aksara saling memberikan kenyamanan dan kekuatan untuk diri mereka masing-masing. Hidup mereka itu sulit, penuh duka, dan menyakitkan. Namun, mereka berusaha untuk tetap tegar dan selalu ada untuk sama lain. Menguatkan satu sama lain dan memeluk satu sama lain.