aireanora

Aksara terengah-engah karena ia membawa motornya dengan kecepatan di atas rata-rata. Ia terlalu kalut setelah mendapat pesan dari Aji. Ia memasuki rumah yang cukup sepi itu. Dilihatnya ada pecahan kaca di ruang tamu. Tanpa berkata-kata, Aksara langsung berlari ke kamar Killa.

Aksara masuk ke dalam kamar Killa. Ia melihat Aji yang menangis di samping kakaknya, kemudian ia melihat Killa yang berada di lantai. Entah Killa pingsan atau tertidur. Aksara langsung mendekati keduanya. Dilihatnya tangan yang sudah diperban. Aksara menatap Aji yang menangis tanpa bersuara.

“Ji, gak apa-apa. Kakak lo gak bakalan kenapa-napa. Lo tau, kan? Dia anaknya kuat. Jadi, lo gak usah khawatir,” ucap Aksara menenangkan Aji.

“Kak Killa kayak gini lagi, Bang. Gue gak bisa lihat dia kayak gini, gue takut. Tadi gue sendirian di sini, terus Mama sama Papa dateng, mereka berantem. Habis itu Kak Killa dateng, dia nyuruh gue buat dengerin lagu biar gak dengerin suara mereka berantem. Kayaknya Kak Killa juga dipukul sama Papa. Papa jahat, Bang. Papa brengsek. Gue takut Kak Killa kenapa-napa,” ucap Aji sambil terisak.

Aksara terdiam mendengarkan semua cerita Aji. Hatinya juga terasa sakit. Ia mendongakkan kepalanya untuk menahan air matanya agar tidak jatuh. Killa juga sama hancurnya dengan dirinya.

“Ji, kita bawa Killa ke rumah sakit sekarang. Kalo Bang Arka belum dateng juga, lo telpon dia terus suruh dia ke rumah sakit. Nanti lo ke rumah sakit sama dia, oke? Gua mau bawa Killa ke rumah sakit naik taxi,” ujar Aksara. Aji mengangguk sebagai jawaban.

Aksara mengangkat perlahan tubuh lemah Killa, ia menggendongnya dan membawanya keluar dari rumah. Di depan rumahnya sudah ada taxi yang tadi Aksara suruh untuk mengikutinya. Aksara segera masuk ke dalam taxi, kemudian mobil itu membawa mereka ke rumah sakit.

Aksara melihat Killa yang berada di pangkuannya. Air matanya mengalir karena ia merasa gagal menjaga kekasihnya. Ia menatap wajah gadisnya yang penuh dengan luka, dan juga tangannya yang diperban. Dadanya terasa sangat sesak.

Sorry, i'm late,” bisik Aksara.


Berjam-jam menunggu Killa sadar, akhirnya gadis itu sudah siuman. Lukanya juga sudah diobati. Killa butuh waktu untuk beristirahat, untungnya ujian sudah selesai. Arka dan Aji juga sudah berada di rumah sakit. Mereka juga membawa Winda ke rumah sakit untuk diobati.

Aksara masuk ke dalam ruangan Killa, ia melihat Killa yang sedang menatap jendela dengan pandangan kosong. Aksara menarik kursi yang berada di sana untuk lebih dekat dengan ranjang Killa. Suara deretan kursi membuat Killa membalikkan tubuhnya dan mendapati Aksara yang tersenyum ke arahnya.

“Aksa ....,” panggilnya dengan suara pelan.

“Iya, aku di sini,” sahut Aksara.

“Sa, takut ....”

“Gak perlu takut, kamu udah aman sama aku. Aku, Bang Arka, Aji, kita semua bakalan jagain kamu.”

“Kalau Papa datang lagi, gimana?”

“Gak akan, dia gak akan akan datang lagi.”

“Mau peluk, boleh?”

“Boleh, dong.”

Dengan hati-hati, Aksara membantu Killa untuk duduk. Kemudian ia memeluk Killa dengan perlahan-lahan, berusaha untuk membuat gadisnya merasa tenang di pelukannya. Ia mengusap surai milik Killa dengan lembut. Killa menenggelamkan wajahnya di dada bidang Aksara, ia menghela napasnya berulang-ulang. Ia masih teringat kejadian sore tadi.

“Kamu udah makan?” tanya Aksara. Hanya gelengan yang ia dapati sebagai jawaban.

“Makan dulu, ya? Nanti kamu sakit,” ucap Aksara.

“Aku kan udah sakit,” ucap Killa.

“Enggak, kamu gak sakit. Kok ngomongnya gitu, sih? Kamu gak sakit, Killa. Jangan bilang gitu, aku gak suka,” ucap Aksara.

“Maaf,” cicit Killa.

“Gak dimaafin kalau kamu gak mau makan,” kata Aksara.

“Ah, kamu pasti gitu,” rajuk Killa.

“Ya udah kalau gak mau makan, aku pulang aja,” ucap Aksara sambil menahan senyumnya.

“Aksaaaa,” rengek Killa. Ia mendongakkan kepalanya, menatap Aksara dengan wajah cemberutnya.

Aksara terkekeh, ia merasa gemas dengan Killa. “Gemes. Makanya makan dulu, ya? Biar perutnya ke isi, jangan kosong gitu. Kasihan perut kamu. Mau, ya?” Akhirnya Killa menganggukkan kepalanya. Aksara tersenyum, ia melepas pelukannya dan mengambil sepiring makanan yang sedari tadi belum tersentuh. Dengan telaten ia menyuapi Killa hingga makanan itu habis tak tersisa.

TW // self harm , cutter , blood , fight , berantem , harshwords

Killa tersenyum ketika baru turun dari motor Aksara. Ia memberikan helm yang dipakainya pada Aksara, kemudian menyisir rambutnya yang berantakan. Aksara tersenyum melihat Killa, ia mengulurkan tangannya untuk membantu gadisnya merapihkan rambutnya.

“Makasih,” ucap Killa sambil menunjukkan deretan giginya.

Aksara terkekeh, “sama-sama. Aku pulang sekarang, ya?”

Killa mengangguk, “hati-hati di jalan!” serunya. Aksara mengangguk sebagai jawaban, ia melambaikan tangannya kemudian segera pergi dari sana.

Killa membalikkan tubuhnya, membuka pagar rumahnya yang terkunci rapih. Ia berjalan perlahan-lahan masuk ke dalam rumahnya. Dilihatnya ada mobil Ayahnya. Itu artinya, orangtuanya sedang berada di rumah. Ah, hari ini Aji sendirian di rumah karena dirinya libur. Pasti Aji sangat senang ketika Mama dan Papanya datang. Killa tersenyum, ia membuka pintu rumahnya perlahan.

Senyumannya seketika luntur. Ia melihat kaca yang pecah berkeping-keping berhamburan di lantai, tetesan darah yang hampir mengering juga ada di lantai. Rasa panik mulai menyerang dirinya. Ia merasa khawatir dengan adiknya. Aji pasti sedang merasa ketakutan. Tanpa berlama-lama, Killa langsung berlari menaiki tangga satu-persatu untuk pergi ke kamar Aji.

Brak

Killa membuka kasar pintu kamar Aji. Matanya menatap setiap sudut kamar Aji yang terlihat kosong dan gelap. Ia berjalan perlahan masuk ke dalam kamar Aji. Maniknya mendapati Aji yang meringkuk di dekat kasurnya sambil menutupi kedua telinganya. Hati Killa langsung terenyuh, ia menghampiri adiknya dan menggoyangkan lengan Aji. Aji membuka matanya perlahan. Matanya sudah memerah, Aji menangis. Aji sontak duduk dan memeluk kakaknya, kemudian menangis dengan kencang.

Killa memeluk Aji dengan erat, ia mengusap punggung Aji yang bergetar. Killa menangis. Ia menangis karena adiknya menangis dengan begitu hebatnya. Aji terisak di pelukannya, Killa sangat sakit hati. Semua ini karena ulah orangtuanya yang selalu bertengkar tanpa melihat situasi.

“Aji, tenang, ya? Kakak di sini. Kamu gak usah takut, ada aku,” ucap Killa.

“Kak, Mama sama Papa berantem lagi. Aji takut,” ucap Aji dengan suaranya yang bergetar.

“Aji, lihat kakak. Kamu pemberani, kan? Jangan nangis lagi. Mata kamu udah bengkak, nanti mata kamu sakit. Kamu tunggu di sini, jangan keluar dari kamar. Kunci pintunya. Ambil earphone terus dengerin lagu pakai volume yang kencang. Pastikan kamu gak denger apa-apa selain suara musik, ya? Kamu di sini aja. Kakak mau keluar,” ujar Killa sambil menatap Aji dengan tatapannya yang serius.

Aji tidak bisa berkata apa-apa selain mengangguk. Ia menuruti kata kakaknya setelah Killa keluar dari kamarnya. Aji hanya bisa berharap kalau kakaknya tidak melakukan hal yang mencelakakan dirinya sendiri. Dia sudah sangat ketakutan. Berada di rumah seorang diri dengan suara dua orang yang bertengkar serta pecahan entah apa itu, membuat dirinya merasa sangat tertekan dan ketakutan.

Di sisi lain, Killa mendengar suara tangisan Mamanya. Ia segera menghampiri sumber suara. Suara itu berasal dari kamar orangtuanya. Killa membuka pintu kamarnya perlahan-lahan. Matanya membulat ketika melihat Rangga memukuli Winda dengan sapu. Killa berteriak, membuat Rangga menghentikan aksinya.

“Papa! Jangan bikin Mama sakit! Papa kurang ajar banget sih sama Mama?! Papa jahat!” teriak Killa. Mengerahkan semua suaranya untuk berteriak di depan Papanya, suaranya nyaris hilang karena teriakannya cukup kencang. Ia menangis melihat Winda yang terkapar lemah di lantai. Killa berlutut untuk membantu Mamanya duduk. Terasa menyakitkan ketika ia melihat beberapa luka di tubuh Mamanya.

Killa menatap Rangga dengan tajam, “kalau Papa gak sayang Mama lagi, mending Papa ceraikan Mama! Buat apa Papa tetap bertahan sama Mama kalau Papa selalu mukul Mama?! Buat apa?! Gak ada gunanya kalian bertahan. Mama juga gak butuh orang kayak Papa! Papa manusia kejam, manusia iblis, manusia yang gak punya hati, manusia biadab!” teriak Killa.

“Kurang ajar ya kamu!” seru Rangga sambil menampar Killa.

“Mas!” teriak Winda ketika melihat suaminya menampar anaknya.

Killa terkekeh. Sudut bibirnya berdarah, rasanya sangat perih. Namun, semua itu tidak ada bandingnya dengan rasa sakit hatinya melihat Mamanya yang terluka. Ia hancur. Ia hancur di tangan Papanya.

“DASAR MANUSIA BIADAB! BINATANG AJA GAK KAYAK PAPA, MEREKA LEBIH SUCI DARI PAPA! PAPA GAK PANTAS DISEBUT SEBAGAI KEPALA KELUARGA DAN SEORANG AYAH! PAPA CUMA BAJINGAN YANG CUMA BISA MENGHANCURKAN KEHIDUPAN ORANG!” teriak Killa. Tangisannya meluruh setelah ia selesai berucap.

Di depannya, Rangga termenung. Hatinya memanas, dadanya naik-turun karena emosinya. Tanpa aba-aba, ia memukul Killa hingga gadis itu tersungkur. Teriakan Winda memenuhi ruangan itu. Winda merangkak mendekati Killa yang menangis sambil memegangi wajahnya. Kepalanya terasa pening, pukulan Papanya terasa sangat menyakitkan. Winda menangis, ia memeluk Killa dengan erat. Winda menatap Rangga dengan tajam.

“Bajingan kamu, Mas! Kamu bajingan! Aku muak dipukulin terus sama kamu! Aku muak! Lebih baik kita cerai aja daripada kayak gini terus. Hubungan kita gak ada yang perlu dipertahankan!” ucap Winda.

Rangga tertawa, “kamu mau cerai? Silahkan saja. Saya juga gak masalah, malahan saya senang. Hidup saya akan damai dan tenang tanpa kalian. Saya juga sudah muak sama kalian!”

“Dasar gila!” teriak Winda.

“Saya tidak peduli,” ucap Rangga kemudian berjalan ke arah lemari. Memasukkan semua baju-bajunya ke dalam koper, lalu keluar dari kamar.

Suara mesin mobil terdengar, kemudian hilang begitu saja. Killa masih terisak di pelukan sang Mama. Winda mengusap kepala Killa, ia menangis karena sekarang keluarganya sudah hancur. Winda merasa gagal menjadi seorang ibu karena membuat anaknya merasakan hal yang seharusnya tidak mereka rasakan. Winda berjanji pada dirinya sendiri kalau setelah ini mereka akan hidup bersama dan hidup bahagia tanpa manusia brengsek seperti suaminya. Ah, sebentar lagi akan menjadi calon mantan suaminya. Winda juga akan menuntut Rangga ke dalam penjara. Ia berjanji akan membuat manusia keji itu merasakan yang namanya dihukum oleh semesta dan diberikan hukuman yang seberat-beratnya.

“Ma, aku mau ke kamar,” ucap Killa dengan suara pelan.

“Nak, kepala kamu, gimana? Mama obatin dulu, ya?” ucap Winda.

Killa menggeleng pelan, “aku gapapa, Ma.” Kemudian ia berusaha untuk berdiri, meski ia sempat akan ambruk. Killa berjalan dengan pelan menuju kamarnya. Jalannya sempoyongan karena dirinya merasa sangat pusing. Winda kembali menangis dengan kencang melihat putrinya yang terluka.


Killa's POV

Aku berjalan dengan perlahan memasuki kamarku, menutup pintunya dan menguncinya. Dengan asal, aku melempar tas milikku ke lantai. Kepalaku terasa sangat pusing. Papa terlalu kencang memukul kepalaku. Sekarang wajahku penuh dengan darah. Aku menatap diriku di pantulan cermin, tampak sangat berantakan dengan darah di wajah. Aku menangis. Lagi. Rasanya sangat sesak sekali.

Tubuhku jatuh ke lantai, aku kembali menangis lagi. Memukuli diriku yang padahal tidak bersalah. Tapi, otakku selalu menyalahkan diriku sendiri. Aku merasa bersalah karena membuat Mama dan Papa berpisah. Aku yang menyuruhnya, padahal aku ingin mereka bersama lebih lama. Tapi, sikap Papa membuat aku muak. Papa selalu memukuli Mama.

Aku mengambil cutter di meja belajar. Aku menatapnya sejenak. Kemudian aku menatap lenganku yang sudah bersih tanpa luka. Tanpa berkata apapun, aku menggoreskan cutter itu ke tanganku. Darah keluar dari tanganku. Rasanya tidak sakit, karena aku sudah terbiasa. Otakku seperti kosong, aku tidak bisa memikirkan apapun. Aku menangis sampai kepalaku terasa pusing. Dan selanjutnya entah apa yang terjadi, hanya ada kegelapan yang aku lihat.

Killa melangkahkan kakinya hendak menuju ke perpustakaan. Perutnya masih terasa nyeri entah karena apa. Padahal dia sudah menandai tanggal tamunya datang, namun hari ini perutnya malah terasa sakit. Killa mengerutkan keningnya ketika orang-orang yang ia lewati menatapnya, entah apa yang salah pada dirinya. Mereka yang melihat dirinya hanya diam. Killa menatap dirinya dari ujung kakinya sampai badannya. Tidak ada yang salah dalam dirinya.

Grep

Killa terlonjak kaget ketika dirinya merasakan seseorang menubruknya dari arah belakang. Baru saja ia akan memaki orang itu, namun yang ia lihat adalah Aksara yang menatapnya dengan senyumannya.

“Kamu ngapain, sih?!” tanya Killa kesal.

“Jagain kamu,” balas Aksara.

Killa mengerutkan keningnya, “gak usah aneh-aneh. Aku mau ke perpustakaan.”

Baru saja ia akan kembali melangkahkan kakinya, Aksara malah menahan tangannya. “Apa?” tanya Killa. Entah kenapa ia merasa sangat kesal, mood miliknya seketika menjadi jelek.

“Kamu lagi red day?” tanya Aksara sambil berbisik.

“Udah aku bilang, masih dua hari la—”

“Kamu tembus,” bisik Aksara.

“Hah?!” Killa membulatkan matanya karena merasa terkejut. Ia menengok ke rok belakangnya, dan benar saja dirinya tembus. Wajahnya langsung memerah, entah karena malu atau karena kesal. Killa menatap Aksara yang malah tertawa. Dirinya mendengus.

“Gimana, dong?!” seru Killa.

“Aku temenin ke kamar mandi,” ucap Aksara.

“Gimana caranya?” tanya Killa.

“Pakai jaket aku dulu,” kata Aksara lalu mengikatkan jaket yang ia bawa pada pinggang Killa. Ia tersenyum ke arah gadisnya, “kamu sekarang ke toilet. Kamu bawa itu?” tanyanya.

Killa menggeleng, “enggak.”

“Ya udah, aku beliin dulu. Kamu ke toilet dulu sana,” titah Aksara.

“Takut,” cicit Killa sembari meremas tangan Aksara.

Aksara tersenyum, “takut kenapa, hm? Gak ada apa-apa, Killa. Kamu gak bakalan kenapa-napa. Aku cuma bentar doang, kok. Nanti aku susul ke sana.”

“Malu,” lirih Killa.

Aksara terkekeh, “gapapa, sayang. Sana ke toilet. Ini pada lihatin kita, loh?”

Akhirnya Killa pergi ke toilet sendirian, sementara itu Aksara membelikan hal yang Killa sangat butuhkan saat ini. Gadis itu masuk ke dalam salah satu bilik toilet, ia merutuki dirinya sendiri. Merasa malu karena Aksara melihat dirinya tembus. Killa mengipasi wajahnya yang memanas. Pasti wajahnya kini sudah memerah.

Suara ketukan pintu terdengar, Killa membuka pintunya perlahan-lahan. Seseorang memberikan rok dan pembalut pada dirinya. Killa langsung buru-buru mengambilnya dan segera berganti.

Adira sudah datang ke salah satu cafe yang Jinan bilang padanya. Tempat itu terbilang cukup sepi. Bahkan tidak ada satupun seseorang di dalamnya. Adira masuk perlahan ke dalam cafe. Di dalam sangat gelap, hanya ada lilin yang menjadi penerang. Semua ini membuat Adira merasa dejavu. Hal yang sama dengan beberapa tahun yang lalu, ia masih mengingatnya dengan jelas.

Adira duduk di kursi yang disediakan di sana. Benar-benar hanya ada satu meja dan dua kursi. Adira menunggu Jinan datang, entah kapan laki-laki itu akan datang. Adira menatap sekelilingnya, ingatannya kembali membawanya ke masa lampau. Ia tersenyum sekilas. Adira tersentak ketika lampu tiba-tiba menyala. Ia menatap lurus ke depan. Jinan tersenyum ke arahnya dengan gitar di pangkuannya.

Suara petikan gitar mulai terdengar. Mengalun dengan indahnya membentuk sebuah melodi. Adira tersenyum, ia menatap Jinan tanpa berkedip.

Come up to meet you, tell you I'm sorry You don't know how lovely you are I had to find you, tell you I need you

Suara Jinan yang bernyanyi mulai terdengar. Suaranya sangat lembut, suara yang dulunya menjadi favorit Adira. Kini kembali terdengar lagi. Suaranya yang indah itu mengalun melewati indera pendengarannya. Lirik demi lirik Jinan nyanyikan dengan baik, bahkan matanya menatap lurus ke arah Adira.

Oh, take me back to the start I was just guessing at numbers and figures Pulling the puzzles apart Questions of science, science and progress

Malam ini, gadis yang sedang duduk tak jauh darinya itu tampak sangat cantik dengan balutan dress warna putih yang senada dengan kemeja putih miliknya. Rambutnya yang dibiarkan tergerai, menambah kesan cantik pada gadis itu. Bulu matanya yang lentik selalu berhasil membuat Jinan tertarik. Senyumnya ketika petikan gitar terdengar, senyuman yang selalu ia rindukan. Senyuman yang dulu selalu ditunjukkan untuk dirinya.

But tell me you love me, come back and haunt me Oh and I rush to the start Running in circles, chasing our tails

Harapan untuk kembali bersama gadis itu selalu terpikirkan olehnya. Patah hatinya ketika gadis yang ia cintai akan menikah dengan orang lain beberapa bulan yang lalu. Lukanya yang belum sembuh kembali ditambah. Harus merelakan gadis yang ia cintai untuk orang lain, seketika semua harapannya pupus. Tidak ada lagi harapan yang bisa ia impikan lagi. Pandangannya menjadi buram karena air mata yang tiba-tiba menumpuk di sudut matanya, ia merasakan kesedihan yang mendalam ketika mengingat masa lalu.

Coming back as we are Nobody said it was easy Oh, it's such a shame for us to part Nobody said it was easy No one ever said it would be so hard I'm going back to the start

Dan sekarang harapannya tumbuh kembali. Memulai semua usaha yang ia lakukan dari beberapa hari yang lalu. Lama. Karena semua membutuhkan proses. Dan sekarang adalah waktu yang tepat untuk mengatakannya sebelum semuanya terlambat seperti dahulu. Jinan tersenyum ketika berhasil menyelesaikan lagu yang ia nyanyikan. Laki-laki itu meletakkan gitarnya di tempat semula. Ia berdiri dan mendekati Adira. Sedikit gugup karena sudah lama ia tidak merasakan hal seperti ini. Kupu-kupu yang dulu sirna, kini kembali lagi.

Adira berdiri di hadapan Jinan, ia tersenyum dengan tulus ketika laki-laki di depannya itu menggenggam tangannya.

“Setelah semuanya yang kita lalui, setelah sebelumnya gak ada harapan buat bersatu lagi, dan sekarang adalah waktunya. Adira, gimana kalau aku yang isi hari-hari kamu lagi? Gimana kalau aku yang bikin kamu ngerasain kupu-kupu lagi? What if I become your lover? Do you want it or not?” ucap Jinan.

This feeling is still the same. So, I said yes. I want you to be my lover again,” ucap Adira.

“Serius?” tanya Jinan dengan mata yang membulat karena tidak percaya.

Adira mengangguk, “iya, Jinan. Aku kayaknya jahat banget karena udah kayak gini ke kamu sama Javiro. Tapi, aku gak bohong kalau aku masih suka sama kamu.”

Jinan menggeleng, “kamu gak jahat. Ini perasaan kamu sendiri, kita gak bisa atur. Jadi, sekarang kamu pacar aku?”

Adira mengangguk, “iya!”

Jinan tersenyum, ia menarik Adira ke dalam pelukannya. Laki-laki itu menghembuskan napas lega. Akhirnya gadisnya kembali pada dirinya lagi. Gadisnya menjadi miliknya lagi setelah beberapa tahun mereka berpisah. Perasaan mereka masih sama. Meski terdengar jahat karena Adira sempat bersama Javiro, namun sekarang sudah berubah. Tidak ada lagi seseorang yang akan menghancurkan hubungan mereka. Harapan mereka hanya tetap bersama-sama sampai mereka tua nanti. Ya, semoga.

Aksara datang dengan wajahnya yang sangat panik. Tadi ia membawa motornya dengan kecepatan yang bisa dibilang sangat gila karena laki-laki itu sangat mengebut sampai menyalip beberapa kendaraan hingga ia mendapat protes dari orang-orang. Aksara berjalan mendekati Killa yang menangis di depan rumahnya sambil berjongkok. Laki-laki itu ikut berjongkok di hadapan kekasih, tangannya meraih bahu kekasihnya. Killa mengangkat kepalanya dengan matanya yang sudah sembab. Hati Aksara teriris melihatnya, ia langsung membawa Killa ke pelukannya. Gadis itu tambah menangis.

Sshhh, nangis aja gapapa. Tapi, kita pergi dulu, yuk? Katanya kamu mau pergi dari sini,” ucap Aksara. Ia membantu Killa untuk berdiri, keduanya berjalan ke arah motor Aksara. Laki-laki itu memberikan jaketnya pada Killa. Kemudian keduanya segera pergi dari sana.

Aksara membawa motornya entah pergi ke mana. Kalau kata Killa, yang jauh asal tidak ke rumahnya. Aksara menurutinya. Laki-laki itu membawa Killa ke tempat yang tidak terlalu ada banyak orang. Aksara mengajak Killa untuk duduk di hamparan tanah yang luas. Di sana hanya ada beberapa orang yang datang, di sana juga ada angkringan. Jadi, bukan hanya ada mereka berdua saja di sana.

Aksara membuka plastik yang ia bawa, berisikan betadine, alkohol, hansaplast, dan kapas yang tadi sempat ia beli di apotek. Aksara mengobati perlahan luka di kening Killa. Gadis itu meringis karena merasa perih. Ia menatap Aksara yang wajahnya cukup dekat dengan wajahnya. Laki-laki itu mengobati lukanya dengan telaten, membuat Killa kembali menangis. Aksara sontak menatap Killa ketika melihat bulir air mata jatuh dari pipi gadisnya.

“Kenapa nangis? Aku terlalu kencang, ya?” tanya Aksara panik.

Killa menggeleng, “enggak, aku cuma terharu aja.”

Aksara terkekeh, “terharu kenapa?” tanyanya sambil lanjut mengobati lukanya.

“Kamu ngobatin luka aku telaten banget, kamu bahkan langsung datang pas aku telpon kamu sambil nangis-nangis, kamu panik banget tadi. Sa, maaf, kalau aku cuma nyusahin kamu,” ucap Killa.

“Hey, siapa yang nyusahin? Dengerin aku, kamu gak nyusahin sama sekali. Udah jadi kewajiban aku buat selalu ada sama kamu. Kamu gak nyusahin sama sekali. Kamu pacar aku, aku pacar kamu. Jadi, jangan ngerasa kalau kamu nyusahin aku, ya? Kamu enggak sama sekali pernah nyusahin aku. Aku gak suka kalau kamu bilang kayak gitu,” ujar Aksara.

“Tapi, aku selalu nelpon kamu sambil nangis-nangis. Aku gak pantas kayak gitu, Sa. Harusnya aku ngasih tau kamu kabar baik, bukan kabar buruk. Selalu aja kayak gini,” ucap Killa.

“Ah, kamu iniii. Kan aku udah bilang, Killaaa. Kamu gak nyusahin, kamu pantas kok nelpon aku sambil nangis. Itu wajar karena kamu lagi merasa sedih atau lagi pengen nangis. Gapapa, kamu telpon aku sambil nangis, itu gapapa. Semua orang berhak nangis, termasuk kamu. Kalau kamu telpon aku pas kamu nangis, itu malah bikin aku seneng. Karena apa? Karena aku merasa dibutuhkan dan aku jadi pacar yang baik buat kamu. Jangan ngomong gitu lagi, ya?” ucap Aksara dengan suara lembut. Ia sudah selesai mengobati luka Killa, laki-laki itu tersenyum ke arah gadisnya. Ia mendekati wajah Killa dan meniup kening Killa yang ditutupi kapas dan hansaplast, hal itu membuat Killa ikut tersenyum.

“Lukanya udah aku obatin, udah aku tiup juga biar cepet sembuh. Atau mau aku cium juga?” goda Aksara.

“Aksaaaa,” rengek Killa membuat Aksara tertawa. Killa merengut sebal, menatap Aksara dengan tatapan kesalnya. Aksara mengacak pelan surai milik Killa, laki-laki itu mengecup sekilas kening Killa.

“Udah aku cium, semoga cepet sembuh,” ucap Aksara.

“Aku gak nyuruh?!” seru Killa.

“Gapapa, itu gratis buat kamu,” kata Aksara.

“Ih!” seru Killa kesal.

Aksara tertawa, “sini aku peluk.” Laki-laki itu memeluk Killa dengan erat. Killa menyandarkan kepalanya di bahu lebar kekasihnya, tatapannya tertuju pada langit di atas sana.

Aksara memeluk Killa dengan erat, tangannya mengusap pipi Killa. Pandangannya tertuju pada gadis yang berada di pelukannya. Ia tersenyum kecil melihat Killa yang terdiam sambil menatap langit. Bintang-bintang malam ini bertebaran di langit, mungkin itu yang membuat Killa menatap langit tanpa berkedip.

Aksara menghela napasnya pelan, “Kil, tetep kayak gini, ya? Jangan menyerah dulu. Aku ada buat kamu, aku butuh kamu, aku masih mau sama kamu, selamanya.”

“Iyaa,” balas Killa.

“Kamu bakalan selalu ngerasain pelukan aku, kapanpun kamu mau. Aku bakalan kasih peluk ke kamu. I'm here for you, babe,” ucap Aksara. Keduanya saling memeluk satu sama lain, berbagi kehangatan satu sama lain. Ditemani oleh langit malam dan bintang-bintang yang berterbaran di langit. Keduanya saling memeluk, meminta kepada Tuhan agar mereka terus bersama selamanya.

TW // family problem , family issues , fight , berantem , blood , violence

Suara deru mobil yang memasuki pekarangan rumah terdengar oleh Arka, Killa, dan Aji yang sedang duduk di ruang keluarga. Mereka sedang menunggu orang tua mereka pulang ke rumah. Sudah menjadi kebiasaan jika orang tua mereka akan pulang, maka Arka, Killa, dan Aji akan menunggu di ruang keluarga. Menunggu sambil berharap agar tidak ada keributan yang terjadi di rumah.

Klek

Pintu rumah terbuka membuat ketiganya mengangkat kepala. Rangga dan Winda berjalan memasuki rumah dengan raut wajah yang kelelahan. Menempuh perjalanan dari Jakarta ke Bandung membutuhkan waktu yang lama dan mereka harus duduk di mobil berjam-jam. Tentunya mereka akan merasa pegal.

“Selamat datang di rumah, Mama!” sambut Aji dengan senyum antusiasnya.

Winda tersenyum, “makasih, sayang. Ini Mama belikan oleh-oleh buat kalian.” Winda memberikan paper bag berisikan oleh-oleh untuk ketiga anak-anaknya.

Semuanya langsung menyerbu. Yang paling semangat adalah Aji, laki-laki itu sangat menunggu oleh-oleh yang dibawakan orang tuanya. Senyum Aji semakin lebar ketika melihat makanan kesukaannya, ia langsung mengambilnya dengan cepat.

“Mas, istirahat dulu sana,” ucap Winda.

“Gak usah kamu kasih tahu juga aku bakal istirahat,” kata Rangga.

“Apa, sih? Aku cuma bilang aja,” sahut Winda dengan alis bertaut.

“Kamu gak usah berisik, aku pusing. Kamu mending buatin aku teh hangat,” ucap Rangga.

“Aku juga mau istirahat, pegel duduk di mobil berjam-jam,” ucap Winda. Kakinya baru saja akan melangkah ke kamar, namun Rangga menahannya. Rangga menatapnya dengan tatapan tajam. Winda malah balik menatapnya dengan tak kalah tajamnya. Dia tidak takut, dia sudah terbiasa.

“Jadi istri itu harus nurutin kata suami!” seru Rangga dengan suaranya yang lumayan keras. Membuat anak-anaknya melihat ke arah keduanya.

“Kamu masih punya dua kaki, dua tangan, lengkap pula. Kenapa kamu gak bikin sendiri aja? Kamu pikir aku gak capek?!” ucap Winda.

“Kamu ini bener-bener, ya!” bentak Rangga.

Plak

Satu tamparan keras mendarat di pipi kanan Winda, wanita itu sampai memalingkan wajahnya. Tangannya memegang pipi kanannya yang terasa panas. Mungkin sebentar lagi bekas telapak tangan itu ada di pipinya. Sudah dipastikan pasti pipinya memerah. Winda mengusap pipinya perlahan, ia menatap suaminya dengan tatapan marahnya.

“Kamu ini pasti selalu aja nampar aku! Kamu gak punya perasaan sama sekali, Mas! Kamu jahat! Kamu tega nampar aku di depan anak-anak, selalu aja kayak gini. Kamu gak bisa ngomong baik-baik. Kamu—”

Bruk

Winda terjatuh karena didorong oleh Rangga. Kepalanya terbentur meja yang berada di sampingnya, pelipisnya berdarah karena benturannya terlalu keras dan membuat kepalanya pusing. Winda meringis kesakitan sambil memegangi keningnya.

“Mama!” teriak ketiga anaknya, kemudian mereka menghampiri sang Mama yang terduduk lemas di samping meja.

“Mama, gapapa?” tanya Killa dengan raut wajahnya yang khawatir. Salah, harusnya Killa tidak bertanya seperti itu. Karena kenyataannya pasti sang Mama tidak baik-baik saja.

Winda tersenyum, “Mama gapapa.” Wanita itu masih sempat berdusta meski kepalanya terasa pusing dan pelipisnya terasa perih.

“Ma, ayo, kita obatin dulu,” ucap Aji dengan suara yang pelan. Ia ketakutan.

“Gak usah, sayang. Ini cuma luka kecil aja, paling besok sembuh,” tolak Winda.

“Cepat kamu berdiri! Buatkan saya teh hangat. Gak usah membantah lagi!” ucap Rangga.

“Iya,” ucap Winda. Ia baru saja akan berdiri, namun Killa menahannya. Killa menggeleng pelan sambil menatap wajah sang Mama. Winda tersenyum, ia mengangguk pelan.

Arka menggeram, ia mengepalkan tangannya. Dia sudah tidak bisa menahannya lagi, amarahnya sudah memuncak. Papanya sudah keterlaluan, Arka tidak bisa diam lagi. “Papa, kenapa kurang ajar banget sama Mama?! Harusnya Papa sebagai orang tua kasih contoh yang baik buat anak-anaknya! Papa malah ngasih liat gimana cara menyakiti perempuan, bukan cara melindungi perempuan. Arka gak habis pikir sama Papa!” ucap Arka dengan menggebu-gebu.

“Kamu gak usah ikut campur!” seru Rangga.

“Papa udah keterlaluan!” teriak Killa dengan matanya yang memerah, kedua tangannya yang berada di sisi kanan-kiri tubuhnya terkepal erat sampai telapak tangannya berdarah karena kukunya menembus kulit telapak tangannya. “Selama ini kami diem aja gak berani lawan Papa karena kami takut sama Papa, tapi buat kali ini Papa udah keterlaluan! Papa jahat, Papa adalah laki-laki brengsek yang pernah aku temui! Dan aku benci sama Papa!” teriak gadis itu. Perlahan-lahan air matanya mulai menurun membasahi pipinya.

“Kak, udah ...” bisik Aji. Sebenarnya ia merasa sangat takut di situasi yang seperti ini. Namun, pikirannya mengatakan kalau sebagai seorang laki-laki harus berani. Maka dari itu, Aji dengan beraninya berdiri di samping Killa dan menenangkan gadis itu.

“Kalian ini cuma anak kecil yang gak tahu apa-apa, mending kalian diem aja!” teriak Rangga.

“Papa!” Arka baru saja akan maju memukul Rangga, namun Rangga dengan cepat melempar vas bunga yang berada di meja.

Vas bunga itu melayang mengenai Killa, yang di sampingnya juga ada Aji. Keduanya terkena pecahan vas bunga itu. Terlebih lagi Killa yang keningnya terpukul oleh vas bunga itu. Gadis itu meringis kesakitan, memegang kepalanya yang terasa sakit. Ia melihat tangannya yang berdarah. Rupanya keningnya berdarah, pusing langsung melanda dirinya. Aji meringis karena tangannya terkena pecahan vas bunga. Keduanya menangis karena merasa kesakitan dan merasakan sesak yang menggerayangi dada mereka. Sakitnya luar biasa.

Killa mendongakkan kepalanya, ia menatap Aji yang menangis. Gadis itu memeluk Aji dengan erat, menenangkan adiknya yang menangis kesakitan. Meski dirinya juga merasa kesakitan. Rangga sudah pergi dari sana. Arka mendekati keduanya dengan matanya yang berkaca-kaca, dia menarik Aji dari pelukan Killa. Berniat untuk mengobati luka keduanya. Namun, Killa menolaknya. Gadis itu menatap Winda yang terduduk lemas di lantai, ia berjongkok di hadapan Winda.

“Mama, maaf. Diobatin dulu sama Kak Arka, aku mau pergi dulu dari sini. Sebentar aja, ya? Cuma sebentar aja, kok. Nanti balik lagi,” ucap Killa. Ia berdiri, menatap kakak dan adiknya. “Kak, maaf, aku serahin semuanya ke kamu. Aku mau pergi dulu dari sini, nanti aku balik lagi.”

“Tapi, luka kamu—”

“Tenang aja, Kak, nanti aku obatin,” ucap Killa sambil tersenyum. Lalu ia melangkahkan kakinya keluar dari rumah, tangannya merogoh saku piyamanya. Mengambil ponselnya dan menghubungi Aksara. Ia membutuhkan kekasihnya saat ini.

Suara klakson mobil dari luar rumahnya membuat Tessa segera keluar dari rumah. Dengan baju yang tertutup, setelan celana panjang, kaos, jaket, dan masker, gadis itu melangkahkan kakinya masuk ke dalam mobil hitam yang terparkir di depan rumahnya. Tessa melirik lelaki di sampingnya, ia tersenyum dibalik maskernya.

“Udah siap?” tanya Gama.

Tessa mengangguk, “udah!”

“Jalan sekarang, ya?” ucap Gama lantas menjalankan mobilnya dengan kecepatan sedang.

Keduanya bersenandung dengan alunan musik yang memenuhi suasana mobil. Sesekali tertawa tanpa alasan ketika keduanya saling bertatapan. Terasa sangat menyenangkan dan asyik ketika keduanya tertawa seperti tidak ada beban sama sekali atau seperti dunia ini hanya ada mereka berdua. Tanpa memikirkan apakah ada seseorang yang mereka kenali di sekitar mereka atau tidak.

Mobil hitam milik Gama berhenti di taman yang lumayan sepi, hanya ada segelintir orang yang berada di sana. Keduanya turun dari mobil, memperhatikan sekitar dengan hati-hati. Gama memasukkan kedua tangannya ke dalam saku jaketnya. Ia melangkahkan kakinya yang diikuti oleh Tessa di sampingnya. Keduanya duduk di bangku yang berada di sana.

“Jadi, gimana, Kak? Katanya mau jelasin?” tanya Tessa ketika keduanya sudah lama berdiam diri.

“Itu anak kecilnya lucu,” ucap Gama yang malah mengalihkan pembicaraan. Tessa mengerutkan keningnya. Gama mengepalkan kedua tangannya karena dirinya merasa gugup, tangannya sudah berkeringat. Namun, dirinya berusaha untuk terlihat tidak gugup di hadapan Tessa. Laki-laki itu berdehem sebelum melanjutkan ucapannya, “bentar, kasih gue waktu dulu. Tiba-tiba hawanya kayak ngajak kayang,” ucap Gama ngelantur.

Tessa tergelak, matanya menyipit ketika dirinya tertawa. Membuat Gama terpana ketika melihat gadis di sampingnya tertawa. Cantik. Cantik sekali. Bahkan cantiknya bertambah ketika gadis itu tertawa. Gama tersenyum dibalik maskernya. Jantungnya tambah berdetak dengan kencang.

“Gak usah ngelawak deh, Kak. Buruan, ih! Jangan ditunda-tunda. Gue udah penasaran banget,” ujar Tessa.

For the first time I saw a beautiful girl at a concert, dia berdiri di barisan paling depan. Ngangkat HP-nya tinggi-tinggi buat ngerekam. Senyumnya gak luntur selama konsernya berlangsung, dia cuma senyum terus sambil teriak selama konser. Katanya dia nangis pas gak dapet tiketnya,” ucap Gama lalu tertawa di akhir kalimat. Ia melirik Tessa yang tampak terdiam mendengarkan kalimat demi kalimat yang ia lontarkan. Gama menyandarkan punggungnya pada bangku, tatapannya lurus ke depan. “Gue pernah liat dia sekali, itupun lewat postingan Instagram Abangnya. Pas gue pertama kali liat, dia cantik banget. Beneran cantik. Bidadari aja kalah cantik. Terus ternyata gue ketemu dia di konser, gue ketemu akun Instagramnya. Terus gue liat dia bikin story foto gue, dan gue minta foto gue ke dia. Soalnya dia ngambil fotonya bagus banget, gue suka.”

“Kak,” panggil Tessa. Gama langsung mengatupkan bibirnya, menolehkan kepalanya ke arah Tessa. “Ini yang lo ceritain itu gue?” tanya Tessa.

Gama mengangguk, “how did I just find out there are fans as beautiful as you?

“Kak ....”

And I guess, I fell in love for the first time,” ucap Gama dengan pandangan yang tertuju pada Tessa.

Tessa terdiam mendengar ucapan Gama. Dia terkejut. Sangat terkejut. Kalimat yang bahkan tidak ia sangka akan ia dengar. Kalimat yang selama ini hanya menjadi khayalan dirinya, sekarang menjadi sebuah kenyataan. Entah dia harus senang atau malah sebaliknya. Tessa bimbang. Perasaannya pada Gama bukanlah sebatas penggemar kepada idola. Sekarang perasaan itu berubah ketika dia menjadi dekat dengan Gama. Semua yang dulunya menjadi mimpinya, sekarang malah menjadi kenyataan.

“Tapi, kita gak mungkin buat bareng, kan?” tanya Tessa setelah lama terdiam.

“Kata siapa?” tanya Gama.

You have fans, do you think they won't be disappointed?” tanya Tessa dengan suara pelan.

This is my life. Mereka gak berhak buat ngatur hidup gue, ya mereka sebagai penggemar harus bisa terima kenyataan. Kenapa? Lo takut?” jawab Gama.

“Iya—”

“Gak usah peduliin mereka. Cukup peduliin diri kita sekarang. Do you love me too or not?” ucap Gama.

I love you as a girl, not as a fan,” kata Tessa.

Gama tersenyum, menahan gejolak yang berapi-api di dalam dirinya. Hatinya lega karena sudah mengungkapkan semuanya. Sekarang dia tidak perlu menyiapkan beberapa kalimat untuk diungkapkan kepada Tessa. Semuanya sudah jelas. Dia menyukai Tessa, begitupun dengan sebaliknya.

So, are we dating now?” tanya Gama.

“Menurut kamu aja, deh,” ucap Tessa malu-malu.

“Coba ulangin sekali lagi,” goda Gama.

“Ih, Kak Ga—”

Gama langsung membekap mulut Tessa sebelum gadis itu keceplosan menyebut namanya. Tessa menyengir ketika Gama menjauhkan tangannya, Gama menatap Tessa dengan tatapan was-was.

“Maaf,” cicit Tessa.

“Gapapa, kita pulang sekarang aja. Date pertama bisa kapan-kapan,” ajak Gama sambil menggenggam tangan Tessa.

“Kalau besok kita kencan ke Zoo, gimana? Aku mau liat binatang,” tanya Tessa.

Gama mengangguk, “boleh.”

“Yeay!” Tessa bersorak senang, membuat Gama merasa gemas dengan tingkahnya.

Keduanya kembali ke mobil. Gama mengantar gadis itu pulang ke rumah dengan hati-hati karena takut ada fans yang akan bertemu dengan mereka. Apalagi perumahan Tessa merupakan perumahan elite yang pastinya ada banyak orang yang kemungkinan besar mengenali Gama Arcelo.

Suasana kantin saat ini cukup sepi, mengingat ini masih jam pelajaran. Tidak banyak siswa yang berkeliaran di sekitar kantin. Kecuali anak-anak yang kelasnya sedang jam kosong. Sekarang Killa sedang menghabiskan nasi gorengnya dengan Aksara yang sedari tadi menatapnya tanpa berpaling. Sejujurnya Killa tidak suka diperhatikan ketika sedang makan. Namun, Aksara terlihat menyeramkan karena laki-laki itu menatapnya dengan tatapan mengintimidasi.

Killa meletakkan sendok yang ia pegang ketika nasi gorengnya sudah habis. Diraihnya segelas teh hangat lalu ia minum perlahan-lahan. Ia menatap Aksara yang masih menatapnya, gadis itu menghela napas. “Jangan natap aku mulu, dong!” seru Killa.

Akhirnya Aksara tidak menatapnya lagi. Laki-laki itu malah beralih menatap ponselnya dan memainkannya tanpa menghiraukan Killa. Gadis itu merengut kesal, sekarang malah dirinya dicuekin oleh kekasihnya. Killa mengetuk jarinya di meja sambil memperhatikan Aksara. Laki-laki itu terdiam tanpa suara sambil memainkan ponselnya. Karena merasa bosan, akhirnya Killa memilih untuk kembali ke kelasnya.

“Mau ke mana?” tanya Aksara.

“Ke kelas,” jawab Killa tanpa menatap Aksara.

Aksara menarik lengan Killa dengan lembut, membuat gadis itu kembali terduduk di bangkunya. “Di sini dulu,” ucap Aksara.

“Kamu daritadi cuma main HP aja, ngapain aku di sini? Mending aku ke kelas,” ucap Killa.

“Maaf, tadi Bibi chat aku,” jelas Aksara. “Pusing, gak?” tanyanya. Killa menggelengkan kepalanya sebagai jawaban.

“Jangan bohong,” ucap Aksara.

“Dikit,” cicit Killa tanpa berani menatap Aksara.

“Ke UKS aja, kamu istirahat dulu. Nanti aku izinin,” ujar Aksara.

“Nanti aku ketinggalan pelajaran, dong?” ucap Killa dengan wajah cemberutnya.

“Gapapa, sayang. Nanti kan bisa tanya Ghea,” kata Aksara.

“Tapi—”

“Kil, nurut, ya? Daripada nanti kamu pingsan di kelas, emang kamu mau?” tanya Aksara.

Killa menggeleng, “enggak.”

“Nah, ya udah. Mau jalan sendiri atau aku gendong sampai UKS?” tanya Aksara dengan senyum menggodanya.

Killa mendengus, “jalan sendiri!” Kemudian Killa berdiri dari duduknya dan meninggalkan Aksara.

Aksara tertawa, “neng, tungguin Aa’, dong!” Laki-laki itu melangkahkan kakinya, menyusul Killa yang sudah jauh beberapa langkah darinya.

Killa masuk ke dalam ruang inap Keisha yang berada di lantai 6 di rumah sakit. Gadis itu tersenyum ketika melihat Keisha yang sedang disuapi makanan oleh Aksara. Killa melangkahkan kakinya untuk mendekati ranjang Keisha, ia meletakkan sekeranjang buah-buahan dan makanan di atas nakas yang berada di samping ranjang Keisha.

“Teh Killa, aku kangen!” seru Keisha dengan senyum lebarnya.

“Aku juga kangen. Gimana kondisi kamu?” tanya Killa. Ia duduk di kursi yang tadinya diduduki oleh Aksara. Laki-laki itu menyuruh Killa untuk duduk di sana, sementara itu dirinya berdiri di samping Killa.

“Udah baikan, tapi masih takut ....” jawab Keisha.

Killa menolehkan kepalanya ke arah Aksara, “kenapa?” tanyanya tanpa suara.

Aksara tersenyum sekilas, “Kei, kamu habisin dulu makanannya. Bisa, kan? Aa’ mau ngobrol sebentar sama Killa.” Keisha menganggukkan kepalanya sebagai jawaban. Aksara mengajak Killa untuk keluar dari ruangan.

Keduanya berdiri di depan ruangan Keisha, duduk di bangku yang berderet di sana. Killa menatap Aksara yang sama sekali belum membuka suara. Gadis itu mengusap pelan bahu laki-laki di sampingnya. Aksara menolehkan kepalanya ke arah Killa, ia tersenyum tipis.

“Gimana, Sa? Keisha takut kenapa?” tanya Killa.

“Keisha—”


Siang tadi, Aksara sedang menunggu Dokter yang merawat Keisha keluar dari ruangan. Tangannya berkeringat, peluh membasahi keningnya, dirinya sangat khawatir sekaligus takut. Perasaannya campur aduk antara senang dan takut. Senang karena Keisha sudah sadar. Takut kalau ada sesuatu yang terjadi dengan Keisha. Aksara tidak mau adiknya kenapa-napa.

Dokter keluar dari ruangan setelah setengah jam lamanya, Aksara langsung buru-buru mendekati Dokter itu. “Gimana, Dok? Adik saya gapapa?” tanya Aksara dengan raut khawatirnya.

“Keisha tidak apa-apa, semuanya baik-baik saja. Tapi, sepertinya traumanya semakin parah. Keisha semakin takut ketika mendengar suara klakson yang kencang, mungkin dia juga takut kalau disuruh mengingat kejadian yang menimpanya,” jelas Dokter itu.

Aksara meneguk ludahnya dengan susah payah. Ketakutannya semakin bertambah karena hal ini. Aksara tersenyum, “makasih, Dok.”

“Sama-sama. Pasien sudah boleh dikunjungi, asal jangan berisik. Saya permisi dahulu,” ucap Dokter itu lalu pergi dari sana.


Setelah mendengar cerita dari Aksara, Killa semakin dibuat sedih oleh ceritanya. Killa juga merasa kasihan dengan Keisha. Anak seusia Keisha harusnya pergi bermain dengan teman-temannya dengan perasaan bahagia. Namun, Keisha malah harus melawan rasa traumanya di usia yang masih dini. Killa merasa sangat sedih, apalagi ketika sedari tadi ia memperhatikan raut wajah Aksara. Laki-laki itu tampak terlihat sedih, namun berusaha untuk terlihat tegar.

“Jadi, Keisha harus terapi buat ilangin rasa traumanya?” tanya Killa.

Aksara mengangguk, “iya, Kil. Keisha harus ilangin rasa traumanya lagi kayak dulu.” Aksara menghela napasnya, kemudian ia menatap Killa dengan wajah sendunya. “Kil, aku takut,” lirihnya.

“Jangan takut, Sa. Kita sama-sama temenin Keisha buat ilangin rasa traumanya, ya? Aku bakal nemenin kamu sama Keisha. Nanti kita kasih dia semangat setiap terapi, oke?” ucap Killa.

Aksara mengangguk, “makasih, ya.”

No need, Sa. Oh iya, kamu belum makan?” tanya Killa yang dibalas gelengan oleh Aksara.

“Tadi belum sempat makan,” ucap Aksara.

“Ayo, makan dulu. Tadi aku udah beli makanan buat kamu,” ujar Killa. Ia berdiri dari duduknya, disusul oleh Aksara yang juga berdiri dari duduknya.

Keduanya kembali masuk ke dalam. Keisha sudah menyelesaikan makanannya. Killa membantu Keisha untuk minum obat yang diberikan Dokter. Sementara itu, Aksara duduk di sofa sambil makan makanan yang dibeli oleh Killa.

“Teh, aku bakalan gapapa, kan?” tanya Keisha secara tiba-tiba. Membuat Aksara dan Killa mengalihkan perhatian padanya.

Killa tersenyum, kemudian ia mengangguk. “Iya, Keisha bakalan baik-baik aja. Keisha kan kuat. Iya, kan?”

Keisha mengangguk, “nanti teteh temenin Keisha, ya? Keisha gak mau berduaan doang sama Aa’.”

Killa mengangguk, “iya, sayang. Teteh bakalan nemenin Keisha, kok. Asal Keisha mau sembuh, ya?”

Keisha mengangguk dengan semangat, “makasih banyak, Teh Killa!” serunya.

Killa tersenyum, ia mendekatkan tubuhnya dan memeluk Keisha dengan hati-hati. Keduanya saling berpelukan dengan erat. Hingga tiba-tiba Aksara juga ikut memeluk mereka berdua. Ketiganya tersenyum bersamaan dengan tangan yang masih memeluk satu sama lain. Harapan Killa dan Aksara hanyalah kesembuhan Keisha setelah ini. Agar gadis kecil itu bisa tertawa kembali seperti dahulu.

cw // fight , berantem , blood , harsh words , accident

Aksara mengendarai motornya dari rumah sakit menuju ke rumah Killa. Perasaannya saat ini campur aduk. Ia takut kalau Killa akan marah padanya. Aksara tahu betul kalau dirinya salah karena sudah meninggalkan Killa sendirian. Padahal Aksara tahu kalau Killa tidak bisa sendirian di kerumunan banyak orang. Maka dari itu, Killa selalu mengajak seseorang untuk menemaninya.

Aksara memberhentikan motornya di depan rumah Killa. Laki-laki itu berlari menuju ke pintu rumah Killa, tangannya hendak mengetuk pintu di depannya. Namun, pintunya sudah terbuka lebih dahulu. Aksara memundurkan langkahnya ketika pintu terbuka. Laki-laki itu menelan ludahnya dengan susah payah ketika melihat orang yang membuka pintunya.

“Bang ....”


Killa keluar dari motornya ketika mendengar suara seseorang sedang bertengkar. Jantungnya seketika berhenti berdetak ketika mendengar suara orang tersungkur. Killa semakin mempercepat langkahnya. Kakinya menuruni tangga dengan terburu-buru. Wajahnya terlihat sangat khawatir sekali. Dibukanya pintu rumahnya. Killa membulatkan matanya ketika melihat Aksara yang tersungkur di lantai teras rumahnya dengan Arka yang berdiri dengan wajah marahnya.

“Kak Arka!” seru Killa. Ia menghampiri Aksara yang tersungkur, membantu lelaki itu untuk berdiri. “Kakak ngapain, sih?! Kan aku udah bilang buat gak ngapa-ngapain Aksa!”

“Dia ninggalin kamu sendirian!” teriak Arka dengan wajahnya yang sudah memerah. Teriakannya membuat Reza dan Aji keluar dari rumah. Bahkan Reza yang rumahnya berada di samping rumahnya ikut keluar karena mendengar suara teriakan Arka.

“Ada apa, nih?” tanya Reza. Ia menatap Aksara dan Arka bergantian. Laki-laki itu langsung mengerti situasi yang terjadi sekarang dengan cepat.

Aji berdiri di samping Arka dengan wajah takutnya, namun ia berusaha untuk menenangkan kakaknya yang sedang marah. Reza menghampiri Arka dan menepuk bahu laki-laki itu berulang kali, berusaha untuk membuat Arka merasa tenang.

“Biarin mereka berdua nyelesaiin masalahnya sendiri, lo gak usah ikut campur,” ujar Reza.

“Gua bakal mukul lo lagi kalau lo ninggalin adik gua lagi,” ucap Arka.

“Maaf, bang,” ucap Aksara.

“Minta maaf sama adik gua, bukan sama gua.” Setelah itu Arka masuk ke dalam rumah, disusul oleh Reza dan Aji.

Killa menatap Aksara yang menundukkan kepalanya. Dilihatnya sudut bibir laki-laki itu yang berdarah. Killa langsung masuk ke dalam rumahnya, meninggalkan Aksara tanpa berkata-kata. Tak lama kemudian, Killa kembali dengan kotak obat di tangannya. Gadis itu menyuruh Aksara untuk duduk di kursi yang berada di sana. Sementara itu, dirinya mengobati luka Aksara dengan telaten. Tanpa ada percakapan apapun dari keduanya.

“Keisha kecelakaan,” ucap Aksara pada akhirnya.

Ucapannya sontak membuat Killa menghentikan pergerakan tangannya. Ia menatap Aksara tidak percaya, tangannya langsung bergetar. Matanya sudah berkaca-kaca. Killa sudah menganggap Keisha sebagai adiknya sendiri, makanya dia merasa sangat terkejut ketika mendengar Keisha kecelakaan dari Aksara.

“Gak usah bercanda, Sa!” ucap Killa dengan suaranya yang bergetar.

“Aku enggak bercanda, Killa,” kata Aksara. “Tadi aku emang mau ke toilet, tapi pas di dalam toilet, Bibi chat aku pakai HP-nya Keisha. Bibi bilang Keisha kecelakaan. Makanya aku kaget banget, aku gak bisa mikir apa-apa di situ. Terus aku pergi ke rumah sakit, ninggalin kamu sendirian. Maaf, aku panik banget. Maafin aku, Kil.” Aksara menundukkan kepalanya dengan bahunya yang bergetar. Laki-laki itu terisak, menangis di hadapan Killa. Aksara merasa sedih karena adiknya sekarang terbaring lemah di rumah sakit.

“Sa, kamu gapapa, kan? Kamu keinget Bunda?” tanya Killa.

“Aku takut, Kil. Aku panik banget. Aku takut Keisha kenapa-napa. Tapi, kata Dokter, Keisha gak bakal kenapa-napa. Aku kalut banget daritadi,” ucap Aksara.

“Kita ke rumah sakit, ya? Aku mau lihat Keisha,” pinta Killa.

Aksara menggeleng, “udah malam. Kamu di rumah aja. Aku mau ke rumah sakit lagi bentar lagi.”

“Aku mau ikut,” pinta Killa.

“Kil—”

“Aku mau ikut, Aksa. Aku mau lihat Keisha. Aku gak mau di sana sendirian,” sela Killa.

Aksara menghela napasnya, “ya udah.”

“Aku balikin dulu kotak obatnya, kamu jangan pergi dulu,” ucap Killa dengan tergesa-gesa.

“Iya,” balas Aksara.

Killa segera masuk ke dalam rumahnya lagi untuk mengembalikan kotak obatnya. Kemudian ia keluar dari rumahnya setelah berpamitan pada Arka, Aji, dan Reza. Aksara dan Killa segera pergi ke rumah sakit sebelum malam semakin larut. Killa juga merasakan hal yang sama dengan Aksara saat ini. Gadis itu juga merasa kalut seperti Aksara. Rasa takutnya membuncah ketika mengingat Aksara yang merasa trauma dengan kejadian tahun lalu.