aireanora

Lima bulan yang lalu, entah bagaimana saya bisa bertemu dengannya, bagaimana saya bisa mengenalnya, bagaimana saya bisa tertarik pada laki-laki itu. Saat itu, kita berdua belum terlalu dekat. Dekat hanya sebatas kenal, tidak lebih. Lalu ketika dia datang untuk sekedar menyapa pada saya, entah kenapa saya merasa senang. Lalu kita berbincang sejenak. Perbincangan yang singkat, namun saya ingat betul. Lucu ketika saya mengingat kita berdua yang saling memamerkan mie, padahal saat itu kita tidak terlalu dekat.

Entah bagaimana bisa, ketika waktu terus berjalan, kami menjadi dekat. Saat itu, saya dengan teman saya sedang berbincang berdua. Saya berkata pada teman saya kalau saya menyukai dirinya. Saya bingung. Bingung bagaimana caranya mengungkapkan perasaan saya. Tanpa saya tahu kalau dia sudah punya pacar atau belum. Di situ, saya meminta pendapat teman saya. Lalu akhirnya saya mengaku pada dirinya. Kalau saya menyukai dirinya. Saat itu perasaan saya campur aduk. Senang, takut, semua menjadi satu.

Lalu ketika dia menyuarakan jawabannya. Seketika saya langsung sedih. Haha, iya, dia bilang terimakasih karena sudah mengungkapkan perasaan saya. Dia bilang, kita hanya cukup berteman saja. Saya sedih. Siapa yang tidak sedih kalau berada di posisi seperti itu? Tapi, saya senang. Karena setelah itu kita dekat. Hanya sebatas teman tentunya.

Banyak sekali pembicaraan dan topik yang kami bicarakan. Obrolan yang sangat panjang, membuat saya sampai lupa apa yang kita bicarakan saat itu sampai sekarang. Hanya sekelebat ingatan tentang pembicaraan kita berdua yang bisa saya ingat. Saya deskripsikan dia; dia anak yang baik, selalu menanggapi obrolan saya, lucu, dan gemas. Kalau boleh jujur, dia orang yang hebat. Laki-laki hebat setelah Papa saya.

Lima bulan itu saya lewati bersama dia. Tanpa saya tahu kalau dirinya masih berada di masa lalunya. Satu hari ketika saya tahu kalau sepertinya dia memiliki orang yang spesial, saya langsung terkejut. Saya bercerita pada teman saya. Karena saya takut akan menjadi perusak hubungan orang. Lalu di situ masalah terjadi. Ya, salah saya dan teman saya, sih. Dia marah. Marah kepada saya dan teman saya. Jujur, saya sedih karena saat itu kita tidak berbincang untuk beberapa lama.

Sepi, hampa, sedih. Itu yang saya rasakan. Padahal saya bukan siapa-siapanya, tapi saya merasa kehilangan. Kehilangan seseorang yang menjadi teman mengobrol. Cukup membuat hati saya sakit. Lucunya, setelah itu kita menjadi dekat kembali. Entah bagaimana caranya kami bisa menjadi dekat kembali. Tapi, saya senang. Senang sekali.

Ah, saya ingat ketika saya memberitahu dirinya kalau saya membuat cerita dan ditawarkan untuk terbit menjadi sebuah novel, saya langsung bercerita padanya meski terlambat. Saya sangat senang ketika melihat responnya. Dia memberi saya selamat, memuji saya, saat itu saya merasa menjadi seseorang yang paling bahagia.

Malamnya, saya memberanikan diri untuk bertanya padanya. “Ada orang yang kamu suka?”

“Ada,” jawabnya. Saya langsung terdiam sejenak, hati saya seketika langsung hancur. Terdengar berlebihan, tapi begitu kenyataannya.

Saya pura-pura tersenyum, “oh, iya? Berarti selama ini aku dekat sama cowok orang?”

Dia menggeleng, “enggak.”

“Loh? Tapi, katanya kamu suka orang? Maaf, maaf kalau aku berlebihan selama ini,” kata saya.

“Jangan minta maaf, aku belum berhubungan dengannya,” ucap dia.

Saat itu saya dipaksa keadaan untuk tetap terlihat biasa saja. Namun, sebenarnya saya hancur. Saya seketika langsung mendadak sedih. Sedih karena dia menyukai seseorang, tanpa tahu siapa orang itu.

“Siapapun itu ceweknya, aku minta maaf, ya. Aku jadi enggak enak,” ucap saya.

“Aku mau ngomong sebentar, boleh minta waktunya sebentar?” tanya dia. Lantas saya mengangguk. Entah kenapa saya mendadak berdebar dan takut.

Dia menatap manik saya, “kamu pernah bilang kalau kamu suka aku, kan? Aku juga suka kamu. Maaf, kalau aku nggak bilang ceweknya itu kamu.”

Detik itu juga dunia saya rasanya berhenti berputar. Karena saya cukup terkejut dengan penuturannya. Saya bingung, kenapa dia bisa menyukai saya? Padahal saya banyak kurangnya. Entah harus senang atau sedih, saya tertawa pelan. Saya pikir, dia hanya bercanda.

“Kamu bercanda?” tanya saya.

Dia menggeleng pelan, “enggak.”

“Sejak kapan?” tanya saya.

“Bulan agustus,” jawabnya.

Saya membelalakkan mata, “tiga bulan? Kok bisa?”

Terkejut sekali karena selama itu dia menyembunyikan perasaannya. Malam sudah semakin larut, saya harus pulang dan pergi tidur. Apalagi setelah itu kami tidak berbincang.

Berhari-hari, berminggu-minggu, sudah saya lewati bersamanya. Banyak sekali rasa sedih dan senang saat itu. Saya senang karena ternyata dia juga menyukai saya. Tapi, saya sedih karena saya bingung dengan semuanya. Kalau ada yang bilang saya manusia paling menyedihkan, maka akan saya iyakan. Saya memang manusia menyedihkan. Karena saya juga menyadarinya. Tapi, saya juga sadar, bukan hanya saya yang menjadi manusia menyedihkan. Banyak sekali orang di luar sana yang mungkin sama seperti saya. Merasa hidupnya menyedihkan.

Oh, saya juga mau bercerita. Tentang dia, saya sangat menyukai tentangnya. Bagaimana dia yang selalu menangkan saya, yang selalu mendengarkan cerita saya, yang selalu memberi saya saran, yang selalu memberi saya semangat, yang selalu memberi saya pelukan. Semua itu, semuanya itu selalu saya ingat. Saya simpan baik-baik dalam ingatan saya. Tidak akan pernah saya lupakan semua itu. Karena saya merekamnya dengan baik-baik.

Dan ketika malam itu, saya merasa dia sedang tidak baik-baik saja. Saya bertanya padanya, kamu gapapa? Mau cerita? Lalu dia menjawab, boleh, kebetulan aku sedang butuh pendengar cerita. Kemudian dia memulai ceritanya. Saya senang sekali karena akhirnya dia bisa bercerita pada saya, mengeluarkan keluh kesahnya pada saya. Saya merasa menjadi orang yang berguna saat itu. Rupanya dia sedang lelah. Jujur saja, saya tidak pandai membuat rangkaian kata untuk menenangkan seseorang. Tapi, saya pendengar yang baik. Saya beri dia semangat dan juga pujian, karena menurut saya, dia sudah keren hari itu. Dia sedang lelah, tapi masih mau membantu. Saya sangat kagum dengan dirinya.

Dan untuk terakhir kalinya. Hari itu, ketika suasana hati saya sedang buruk. Saya sedang merasa sangat sedih dan mood saya tidak stabil, memikirkan banyak hal yang menjadi beban pikiran saya. Terlalu banyak overthinking. Saya bertanya padanya, di mana dia akan pergi berkuliah. Lalu dia berkata kalau dirinya ingin ke Jepang. Saya aminkan keinginannya. Di sini saya hanya bisa mendukungnya dan memberinya semangat. Saat itu saya tidak tahu harus berbuat apa.

“Maaf, aku masih suka kamu,” ucap saya.

“Kenapa minta maaf?” tanyanya.

Saya mendongakkan kepala untuk menatapnya, “ya karena aku masih suka sama kamu.”

“Gak usah minta maaf,” katanya.

“Aku cuma mau minta maaf aja,” ucap saya. “Aku enggak bakalan suka kamu lagi, deh,” ucap saya tanpa pikir panjang.

Dia terkekeh, “semangat move on nya,” katanya. Seketika saya langsung terdiam. Hati saya seperti ditusuk-tusuk ribuan jarum, rasanya sakit sekali. Dia memberi saya semangat untuk melupakan rasa suka saya pada dirinya. Ya, salah saya juga sih karena berkata seperti itu pada dirinya tanpa berpikir terlebih dahulu. “Aku heran, heran kenapa kamu bisa suka sama aku yang gak ada spesialnya?” tanya dia keheranan.

Saya menundukkan kepala, sebenarnya untuk menahan air mata saya agar tidak jatuh. Namun, saya gagal. Air mata saya tetap jatuh. Saya menangis. Sampai terisak. Dia hanya terdiam, menatap saya tanpa bersuara.

“Maaf, sudah bikin kamu menangis,” ucapnya yang tambah membuat saya menangis. Rasanya sesak sekali, saya sampai tidak bisa berhenti menangis.

“Karena aku suka kamu. Tapi, rasa suka aku malah bertambah, gimana?” ucap saya, berusaha untuk meredakan tangisan saya.

Dia tertawa pelan, “kalau itu, aku gak tahu.”

Saya tertawa, “iya, emang enggak perlu tahu. Aku mau minta maaf aja karena masih suka kamu. Oh iya, kamu udah enggak suka aku, kan?”

“Aku masih suka kamu,” jawabnya yang membuat saya terkejut bukan main.

“Kamu gapapa, kan? Enggak ngelantur?” tanya saya.

Dia menggeleng, “aku gapapa, aku gak ngelantur. Emangnya kenapa?”

“Aneh aja kenapa masih suka aku. Aku tuh bingung, aku gak mau move on dari kamu,” ucap saya.

“Kalau move on bareng-bareng, gimana?” tanya.

Saya tersenyum, sesak juga rasanya ketika dia berbicara seperti itu. Hati saya sakit sekali. Saya kembali menunduk, menangis lagi tanpa menjawab perkataannya. Saya bingung, saya kalut, saya juga sedih. Semua perasaan itu campur aduk. Membuat saya semakin ingin menangis dengan kencang.

“Ya, kalau itu mau kamu, lakuin aja. Kan itu hak kamu. Tapi, kayaknya bakalan susah buat aku,” ucap saya.

“Kalau misalnya kita sudah benar-benar tidak ada rasa, kita masih bisa temenan, kan?” tanya dia.

“Bisa. Kan dari awal kita enggak pernah memulai, dari awal kita cuma temenan. Iya, kan?” ucap saya sambil tersenyum miris.

“Iya,” katanya.

“Semangat move on nya,” kata saya. Dia hanya diam tanpa menanggapinya.

“Ini kita masih temenan, kan?” tanya saya dengan bodohnya.

“Masih, lah!” jawabnya.

Lalu setelah itu semuanya kembali seperti awal, semuanya kembali seperti semula. Seolah-olah tidak ada yang baru saja terjadi. Kejadian tadi seperti angin yang berlalu. Tapi, rasa sakitnya masih terasa. Saya menangis sekali saat itu, sedih rasanya ketika harus membuang perasaan itu jauh-jauh. Saya enggak bisa, saya tidak akan pernah bisa. Karena rasanya sulit sekali. Saya juga tidak mau. Saya suka dia sudah lama, dan tidak main-main. Lalu dia dengan seenaknya berkata seperti itu. Rasa sakitnya bertambah.

Saya berharap dia menemukan seseorang yang bisa menemani dia selamanya. Yang jelas seperti tipenya, jangan seperti saya. Saya cuma mau dia bahagia, selalu bahagia. Saya tidak mau dia sedih, saya juga tidak mau dia sakit. Saya cuma berharap, kita bisa bertemu lagi. Entah untuk yang terakhir kalinya atau bukan. Saya masih mau bertemu dengannya.

Killa menolehkan kepalanya ketika mendengar suara pintu terbuka. Ia tersenyum ketika melihat Aksara berjalan ke arahnya dengan wajah murungnya, namun laki-laki itu masih bisa menampilkan senyumannya. Killa menyuruh Aksara untuk duduk di kasurnya, sementara itu dirinya mengambil segelas susu yang sudah dibuat oleh Mamanya.

“Makasih,” ucap Aksara setelah meneguk beberapa kali susu yang ia minum.

Killa mengangguk, “kamu kenapa?” tanyanya.

Aksara yang tadinya memejamkan mata dengan kepala yang disandarkan ke kepala ranjang langsung membuka matanya kembali. Ia menatap Killa dengan matanya terlihat kelelahan. Killa mendekatkan dirinya untuk mengusap kepala Aksara, laki-laki itu kembali memejamkan matanya, menikmati usapan di kepalanya.

“Capek,” ucap Aksara setelah mereka lama terdiam.

Killa terdiam, menunggu Aksara selesai berucap. Ia tidak mau berucap sebelum Aksara menyelesaikan ucapannya. Gadis itu akan mendengarkannya dengan baik.

“Aku capek selalu dituntut Ayah buat jadi kakak yang baik, kakak yang jadi panutan adiknya, kakak yang harus dapat nilai sempurna, kakak yang harus nanggung semua beban. Aku capek,” ucap Aksara. Ia meneguk ludahnya dengan susah payah, dadanya mulai sesak, bahkan matanya sudah mengeluarkan bulir air mata.

“Ayah bilang, aku gak boleh main, cukup di rumah aja sama Keisha. Ayah bilang, aku harus dapat nilai yang sempurna biar Keisha termotivasi dan jadi semangat belajar. Ayah bilang, aku harus jadi yang terbaik, biar Keisha juga bisa. Kenapa? Kenapa harus aku? Kenapa semua beban harus dikasih ke aku?” ucap Aksara.

“Aku capek setiap hari dengerin Ayah marah-marah, Ayah mukul aku, Ayah bentak aku. Awalnya aku biasa aja. Aku ngira kalau aku emang salah, makanya Ayah kayak gitu. Tapi, setelah dipikir-pikir, aku nggak salah. Ayah yang salah.”

“Kenapa, sih? Dunia kayaknya gak mau lihat aku senang? Kayaknya aku bahagia aja salah, ya, Kil? Apa aku gak berhak bahagia?”

“Aksa,” panggil Killa.

“Hm?” Aksara berdehem sebagai sahutan.

“Dunia emang jahat sama kamu, tapi kamu jangan jahat ke diri kamu sendiri. Kamu berhak bahagia, kamu berhak dapat semua kebahagiaan di dunia ini. Jangan bilang gitu, ya? Nanti bakalan ada saatnya kamu merasakan bahagia yang benar-benar bahagia. Sekarang ini, dunia cuma lagi kasih kamu ujian. Mungkin Tuhan mau ngetes seberapa kuatnya kamu menjalankan ujian kehidupan yang Tuhan kasih. Kamu gak sendirian, kan? Ada aku, Keisha, Bibi, Reza, Jeano, Sagara, Raden, Kale. Semuanya ada sama kamu. Jadi, jangan takut kamu bakalan sendirian, ya?” ucap Killa.

“Bunda juga,” ucap Aksara.

Killa tersenyum, “iya, sama Bunda juga. Bunda bakalan sama kamu terus.”

“Kamu juga harusnya bilang itu ke diri kamu sendiri, ya? Jangan cuma aku, kamu juga. Kamu bilang itu semua ke aku. Tapi, gak ada gunanya kalau kamu gak dengerin perkataan kamu sendiri,” ujar Aksara. Ia membuka matanya, menatap Killa yang terdiam. Aksara memposisikan duduknya menghadap ke arah Killa. Tangannya terulur untuk menggenggam tangan Killa, diusapnya punggung tangan gadis itu dengan ibu jarinya.

“Kil, ayo, kita sama-sama menguatkan. Jangan ninggalin satu sama lain, harus selalu ada buat masing-masing, jangan pergi ke mana-mana, jangan sampai kita pisah,” ucap Aksara. “Kadang aku ngerasa kalau aku gak bisa sama kamu terus. Tapi, aku inget kalau kamu selalu sama aku. Aku jadi langsung yakin kalau kita bakalan bisa sama-sama terus sampai kita tua nanti.”

Killa terkekeh, “kenapa mikir gitu? Kok bisa yakin?”

“Karena aku cinta kamu,” ucap Aksara.

“Apa, ih! Gak jelas banget kamu. Aku tanyanya apa, kamu malah jawab gitu,” gerutu Killa.

Aksara tertawa, “kan aku cuma bilang fakta aja. Tapi, aku benar, kan? Aku yakin kita bakalan bareng-bareng terus karena aku cinta kamu. Kamu juga, kan?”

“Juga apa?” tanya Killa pura-pura tidak tahu.

Aksara merengut, “cinta sama aku?”

“Enggak,” balas Killa.

“Ih, kamu tuh! Jangan bercanda dong. Aku sedih, nih,” rengek Aksara dengan wajah cemberutnya.

Killa tertawa, “bercanda aja. Aku juga cinta kamu, Aksa.”

“Hehe.”

Killa terkekeh. Ia terkejut ketika Aksara menariknya ke dalam pelukan, laki-laki itu memeluknya dengan erat. Seakan-akan Killa akan pergi, padahal gadis itu tidak akan ke mana-mana. Killa memeluk balik Aksara, tangannya mengusap rambut kekasihnya yang tercium aroma khas dari laki-laki itu.

“Woy, jangan pelukan di kamar!”

Suara teriakan Reza dari balkon kamar membuat keduanya melepaskan pelukannya. Aksara menatap sebal ke arah Reza yang menggangu dirinya dan Killa. Killa berdecak malas, ia bangkit dan menghampiri balkon kamarnya.

“Lo ngapain?” tanya Killa.

“Mau balikin buku,” jawab Reza. Memberikan buku sejarah kepada Killa, lalu ia menyengir. “Awas ada setan,” ucapnya lalu segera loncat ke balkon kamarnya sebelum Killa memukulnya.

“Reza ganggu aja,” ucap Aksara.

Killa terkekeh, “biarin.”

“Sini, peluk lagi,” ucap Aksara. Akhirnya keduanya berpelukan sambil bercerita banyak hal di kamar Killa. Tentunya mereka tidak akan melakukan hal macam-macam, karena mereka tahu batasan.

POV Aileen.

Sore itu, saya berniat untuk mencari sebuah hadiah untuk kekasih saya yang sebentar lagi akan berulang tahun. Rencananya, saya akan memberi dia kejutan. Bukan kejutan yang mewah, tapi kejutan yang sederhana namun membekas di ingatan. Saya sangat tidak sabar untuk memberikan dia kejutan malam nanti. Tepat ketika pukul 12 malam, saya akan mengejutkannya.

Kaki saya langkahkan masuk ke dalam toko yang menjual beberapa sepatu. Saya akan membeli sepasang sepatu untuk dirinya. Sepatu yang selama ini dia inginkan, namun belum sempat ia beli karena dirinya tidak ada waktu. Kalau saya tanya, kenapa kamu gak beli? Dia pasti akan menjawab, aku cuma punya waktu buat kamu. Kalau kalian tanya, apa saya salah tingkah? Jawabannya iya. Tentu saja saya merasa salah tingkah dengan jawabannya. Saya merasa seperti orang yang sangat spesial.

Sepasang sepatu sudah saya beli, tak lupa dengan kertas kado yang akan menjadi alasnya. Saya akan menghiasnya nanti ketika di rumah. Saya pergi ke sebuah toko kue. Memesan salah satu kue, dan meminta untuk diberikan ucapan selamat ulang tahun di atas kuenya. Senyum saya mengembang ketika melihat hasilnya, sangat indah. Jantung saya seketika berdebar ketika otak saya mulai membuat skenario indah tentang malam nanti. Ah, saya lupa membeli lilin ulang tahun. Sepertinya saya harus pergi mencari lilin ulang tahun, agar kuenya tidak terlalu sepi. Selain itu, dia juga harus meniup lilinnya setelah berdoa, kan?

Di rumah, saya memasukkan kue yang saya beli tadi ke dalam kulkas. Lalu saya pergi ke kamar untuk membungkus hadiahnya. Menulis deretan kalimat ucapan serta doa-doa baik untuknya. Dengan hiasan kecil agar hadiahnya terlihat cantik. Saya tersenyum puas ketika sudah menyelesaikannya. Saya meletakkan kado itu di meja belajar saya. Jari-jemari saya mengambil salah satu foto polaroid kami berdua, yang kami ambil sekitar dua bulan yang lalu di photo box. Dia tampak rupawan. Saya tersenyum melihat foto itu.

Ah, saya menjadi tidak sabar. Rasanya ingin mempercepat waktu agar bisa merayakan ulang tahunnya. Daripada harus menunggu, akhirnya saya memilih baju untuk yang saya pakai nanti. Semuanya harus siap, tidak boleh terlambat, dan tidak boleh gagal. Doa saya, semoga kejutan ini berhasil dan Keizo menyukainya.


Tepat pukul 10 malam, saya sudah rapih dengan setelan blouse motif bunga dengan rambut yang dijepit. Saya tersenyum ke arah cermin yang berada di hadapan saya. Lalu saya mulai mengambil tas selempang yang tersampir di belakang pintu, dan pergi turun melangkahi tangga satu-persatu. Mendekati kulkas untuk mengambil kue yang tadi saya beli. Cukup kesusahan karena satu tangan saya juga membawa hadiah. Saya tersenyum lebar, diri ini menjadi tidak sabar.

Rumah di hadapan saya, lampunya masih menyala. Saya sengaja untuk datang lebih awal. Karena rencana saya, bukan mengejutkan ketika pukul 12 malam. Namun, datang sebelum pukul 12 malam agar bisa merayakan bersama. Kan, sudah saya bilang. Bukan kejutan mewah. Karena saya tidak pandai membuat kejutan, asal bisa di ingat sampai kapanpun. Itu yang saya inginkan.

Saya melangkahkan kaki beberapa langkah dari tempat saya berdiri sekarang ini. Sekarang saya tepat berada di depan pintu rumah milih keluarga Keizo. Baru saja tangan saya ingin mengetuk benda persegi panjang di hadapan saya, namun kuping saya malah mendengar kalimat yang sangat menyakitkan.

Nak, besok tolong temui anaknya teman Ayah. Kamu dekati dia, ya? Buat dia merasa nyaman denganmu dan menjadi suka denganmu.

Ayah? Keizo gak mau. Sama sekali gak mau. Keizo sudah punya Aileen.

Kamu jangan membantah! Ini perintah Ayah. Cuma kamu satu-satunya anak Ayah, jadi cuma kamu yang Ayah bisa handalkan. Lagipula, Ayah kurang suka sama Aileen. Dia baik, namun Ayah tidak suka dengannya.

Kok Ayah ngomong gitu? Waktu itu Ayah pernah bilang, kalau Ayah sudah mulai menyukai kehadiran Aileen. Terus kenapa sekarang bilang seperti itu?

Ayah bohong biar kamu gak sedih. Ayah mana bisa lihat kamu sedih.

Ayah—

Sudah, Zo. Turuti apa kata Ayah. Tolong, ya? Ini semua demi kebaikan kamu.

Iya.

Rasanya detik itu juga hati saya hancur berkeping-keping. Remuk seketika. Obrolan keduanya di dalam membuat saya langsung mundur beberapa langkah dari hadapan pintu di depan saya. Saya hancur. Saya sakit. Saya kecewa. Saya sedih.

Klek

Suara pintu terbuka membuat saya mendongakkan kepala. Untung saja saya belum menangis. Keizo berdiri di ambang pintu dengan mata yang terbelalak. Mungkin terkejut karena saya berada di depan pintu rumahnya. Wajahnya terlihat murung. Saya terpaksa harus tersenyum, saya mengangkat kedua tangan saya. Menunjukkan barang yang saya bawa.

“Kamu udah lama di sini?” tanya Keizo.

Saya mengangguk, “iya. Aku juga sudah mendengar semuanya.”

“Ai ....” lirihnya. Ia meneguk ludahnya dengan susah payah, matanya menatap saya tanpa berkedip.

Saya tersenyum, “itu bukan masalah besar buat aku, Zo. Aku gapapa.”

“Ai, aku minta maaf,” ucap Keizo. Tangannya menggenggam tangan saya. Hadiah dan kue yang saya bawa, ia letakkan di meja yang berada di teras rumahnya. “Kamu dengar semuanya, kan? Ini perintah Ayah. Aku cuma bisa bilang iya. Kalau aku bilang enggak, pasti beliau marah sama aku.”

Saya terkekeh, “gak perlu minta maaf. Aku ngerti kok. Oh iya, aku beli kue sama hadiah buat kamu. Tadinya sih mau merayakan bersama, tapi kayaknya enggak jadi.”

“Kok enggak jadi?” tanya Keizo bingung.

“Aku harus pamit pulang, aku juga tiba-tiba ngantuk,” ucap saya dengan penuh dusta.

“Kita rayain bareng, ya?” Wajahnya terlihat memohon ke arah saya. Tapi, saya tidak bisa. Saya sudah sakit hati.

Saya melepaskan tangannya yang menggenggam tangan saya. Terpaksa. Kalau tidak dilepaskan, saya tidak bisa pergi. Keizo menatap saya dengan matanya yang mulai berkaca-kaca ketika saya melepaskan genggamannya. Saya tersenyum ke arahnya, “maaf, Zo. Aku enggak bisa di sini lama-lama. Aku harus pulang. Gapapa kan kalau kamu merayakan sendiri ulang tahun kamu? Maaf, aku enggak bisa nemenin kamu.”

“Kenapa? Kamu bohong, kan? Kamu gak ngantuk. Ai, maafin aku. Kita rayain bareng-bareng, ya?” ucap Keizo dengan penuh permohonan.

“Zo, udah tiga tahun kita bareng. Aku rasa, semuanya bakal sia-sia. Mengingat obrolan kamu dengan Ayah, aku jadi tahu. Kalau seharusnya, aku enggak sama kamu. Bukan aku yang harusnya bersanding sama kamu. Tapi, orang lain, gadis yang sudah Ayah pilih buat kamu. Aku nggak pantas, aku nggak cocok sama kamu.”

“Ai—”

“Kalau kita memaksakan hubungan ini, nanti malah bikin Ayah kecewa dan bikin kita sama-sama sakit. Aku nggak mau bikin perasaan kamu sakit, aku enggak mau. Jangan dipaksakan lagi hubungan ini, ya? Kita harus sama-sama melepaskan, sama-sama merelakan. Aku tahu, ini berat dan gak mudah. Tapi, ini harus.”

Saya tersenyum ke arahnya, meski hati saya rasanya seperti dicabik-cabik. Saya hanya bisa menunjukkan senyum saya. Mungkin untuk yang terakhir kalinya. Saya menatapnya dengan mata saya yang mulai mengabur pandangannya. Bulir-bulir air mata bertumpuk di pinggir mata saya. Mungkin jika saya berkedip, air mata itu akan jatuh. Saya menunduk, mengusap mata saya dengan punggung tangan saya. Saya tidak mau menangis. Apalagi di hadapan Keizo.

“Selamat ulang tahun, anak baik. Semoga hidup kamu dipenuhi kebahagiaan, jangan kebanyakan nonton film malam-malam, jangan suka makan mie, jangan tidur di atas jam 12, harus banyak-banyak minum air putih. Harus bisa ngelakuin semuanya sendirian, ya? Setelah ini, kamu harus terbiasa sendiri tanpa aku. Begitupun dengan aku,” ucap saya.

“Ai, maaf. Maaf belum bisa jadi pacar yang baik buat kamu, maaf kalau selama ini aku menyusahkan kamu, maaf kalau aku banyak kurangnya. Terimakasih, ya? Terimakasih sudah datang dan memberi aku kekuatan untuk tetap hidup. Terimakasih,” ucap Keizo. “Bahagia selalu, ya? Mungkin nanti kita menjadi orang asing. Tapi, aku selalu di sini. Buat kamu. Kapanpun kamu butuh aku, aku bakalan selalu ada di sini.”

Saya mengangguk, “terimakasih juga, Keizo. Sekali lagi, selamat ulang tahun.”

“Boleh peluk?” tanya Keizo, saya mengangguk sebagai jawaban.

Lantas ia memeluk saya dengan erat. Wajahnya disembunyikan di ceruk leher saya. Saya bisa merasakan air matanya yang menetes. Saya menepuk punggung dan bahunya berulang-ulang.

Happy anniversary,” bisiknya.

Happy anniversary, Zo,” bisik saya dengan suara yang bergetar karena menahan air mata.

Lalu ia melepaskan pelukannya. Saya terkekeh melihatnya menangis, dia memang cengeng. “Aku pamit, ya? Salam buat Ayah kamu. Good luck! Semoga berhasil pendekatannya. Aku selalu doain kamu. See you when i see you again!” ucap saya. Kemudian saya pergi dari sana. Meninggalkan dirinya yang masih berdiri termenung di depan pintu.

Dada saya terasa sesak sekali. Semua harapan yang kami buat, semuanya hancur. Semuanya gagal. Harapan kami untuk menikah, membangun rumah bersama, memiliki anak, berjalan-jalan mengelilingi dunia, harapan untuk terus bersama-sama. Semuanya sudah pupus. Tidak akan pernah bisa diwujudkan lagi. Semuanya sudah hancur lebur.

Di rumah, saya langsung berlari ke kamar. Menghindari pertanyaan-pertanyaan dari orang-orang rumah yang penasaran karena saya tiba-tiba berlari ke kamar. Tangisan saya langsung tumpah ruah ketika berada di kamar. Saya menangis sekencang-kencangnya. Memukul dada saya yang terasa sesak. Manik saya menatap foto-foto yang digantung di tembok kamar saya. Saya tambah menangis. Dunia saya seketika hancur. Rasanya sangat menyakitkan, bahkan kalimat itu terus terngiang-ngiang di otak saya.

Keizo, bahagia saya cuma kamu. Tapi, kalau kamu bisanya sama orang lain, saya bisa apa? Saya cuma bisa menangis sendirian di kamar sambil mengingat kenangan kita dulu. Bahkan, hari ini adalah hari jadi kami yang ke-4. Bertepatan dengan ulang tahun kamu. Mungkin, tanggal ini akan menjadi tanggal yang saya hindari. Karena itu akan membuat saya terus mengingat kejadian ini. Keizo, saya cuma mau kamu bahagia dengan siapapun pilihan kamu. Saya akan belajar merelakan kamu. Saya harus merelakan cinta pertama saya. Semoga, di kehidupan selanjutnya saya tidak bertemu kamu. Agar saya tidak merasakan sakit yang sama. Namun, jika takdir baik berpihak pada kita, saya akan berterimakasih pada Tuhan. Keizo, bahagia selalu, ya?

Kini Killa, Keisha, dan Aksara sedang berjalan mengelilingi mall. Mereka baru saja selesai bermain. Tersisa lelah yang menghampiri mereka. Keisha berada di gendongan Aksara, gadis kecil itu tampak kelelahan setelah bermain beberapa permainan bersama Killa. Killa memegangi baju Aksara agar mereka tidak terpisah. Kalau dilihat-lihat, mereka seperti sepasang suami-istri dan satu putri kecil. Bahkan tadi ada yang mengira mereka adalah keluarga kecil. Ah, rupanya mereka salah paham ketika melihat ketiganya.

“Ini mau ke mana?” tanya Killa.

“Makan dulu aja,” balas Aksara.

“Keisha mau makan ramen!” seru Keisha.

“Kamu masih kecil, gak boleh makan ramen,” sahut Aksara.

“Kenapa?!” tanya Keisha dengan wajah cemberutnya.

Aksara terkekeh, “itu pedes, tau! Emang kamu bisa makan pedes?” Ia menatap Keisha dengan tatapan meledeknya.

“Bisa!” ucap Keisha dengan percaya dirinya, kemudian ia tersenyum. “Bisa kan kalau gak pedes?” lanjutnya. Membuat Killa dan Aksara tertawa.

“Bisa, nanti Keisha pesan yang enggak pedes, ya?” sahut Killa. Keisha mengangguk sebagai jawaban.

Lalu mereka pergi ke salah satu tempat ramen yang berada di sana. Memesan tiga ramen yang berbeda. Ketiganya menunggu pesanan sambil mengobrol. Ah, tadi Keisha mendapat boneka. Hasil dari capit boneka yang dimenangkan oleh Aksara. Keisha memainkan boneka itu selagi makanannya datang. Sementara itu, Killa malah asik berfoto-foto. Aksara hanya memperhatikan Killa dengan senyuman di wajahnya. Aksara tertawa ketika Killa menggerutu karena hasil fotonya yang tidak bagus.

“Kenapa, sih?” tanya Aksara sembari memajukan tubuhnya karena dirinya terhalang oleh meja. Menatap Killa yang duduk di depannya.

“Tolong fotoin aku dong,” pinta Killa.

“Foto bareng aja, gimana?” tanya Aksara.

Killa terdiam sejenak, kemudian menganggukkan kepalanya. Keduanya mengambil foto bersama, kemudian mengajak Keisha untuk berfoto bersama juga. Tak lama kemudian, pesanan mereka datang. Killa membantu Keisha untuk memakan ramen miliknya. Keisha tidak bisa memakai sumpit. Ya, karena dirinya masih anak-anak. Sehingga Killa yang menyuapi Keisha.

Keisha menatap ke arah lain ketika sedang mengunyah makanan di mulutnya. Pandangannya terhenti ketika melihat seorang wanita dewasa dengan anak perempuan seusianya. Anak perempuan itu terlihat bahagia ketika sang Ibu menyuapi makanan padanya. Posisinya sama persis dengan Keisha dan Killa sekarang ini. Namun, Killa hanyalah kekasih dari kakaknya. Jadi, rasanya tentu saja berbeda.

Killa menatap ke arah Keisha yang terdiam, ia mengikuti arah pandang gadis kecil itu. Kemudian ia tersenyum kecil ketika menyadarinya, “Keisha,” panggil Killa. Keisha menoleh ke arahnya, ia langsung menyengir. “Kenapa liatin terus?” tanya Killa.

Keisha menggeleng, “cuma keinget Bunda,” jawabnya. Membuat Aksara berhenti memasukkan ramen ke mulutnya. Ia menatap Keisha, kemudian menatap ke arah yang tadi Keisha lihat.

“Kita pindah tempat aja?” tanya Aksara.

Keisha langsung menggeleng dengan cepat, “enggak usah, A’! Keisha kan udah besar. Jadi, gapapa. Jangan pindah tempat, ih!”

“Keisha jangan sedih, ya,” ucap Aksara.

Keisha mengangguk, “Keisha enggak sedih! Cuma keinget Bunda aja.”

“Keisha kan punya kita. Jadi, jangan sedih-sedih, oke?” sahut Killa. Keisha mengangguk dengan senyuman di wajahnya.

“Teh Killa, suapin lagi dong!” seru Keisha.

Killa tersenyum mendengarnya, ia lanjut menyuapi Keisha. Sedangkan Aksara diam-diam tersenyum. Ia mendadak sedih karena Keisha yang berkata kalau gadis kecil itu merindukan Bunda. Aksara menatap Keisha dengan tatapan yang terlihat sedih. Ia menghela napasnya, ia tidak boleh bersedih untuk saat ini. Ketiganya pun segera menghabiskan ramen mereka.

Killa meletakkan ponselnya, pandangannya yang kosong tertuju pada rerumputan di hadapannya. Sekarang ini Killa dan Aksara sedang berada di alun-alun. Aksara yang membawanya kemari. Gadis itu duduk termenung, di sampingnya ada Aksara yang memperhatikannya. Aksara memberanikan diri untuk mengusap kepala Killa. Membuat gadis itu menoleh ke arahnya.

“Udah nangisnya?” tanya Aksara dengan nada lembut.

“Maaf, aku nangis ....” ucap Killa dengan lirih.

Aksara mengernyitkan keningnya, “gapapa dong. Gak ada yang ngelarang kamu buat nangis.”

“Aku cengeng, ya? Gitu aja nangis,” tanya Killa. Menggoyangkan kakinya, tangannya mencabuti rumput yang ia duduki.

“Enggak, Killa. Itu wajar. Aku juga nangis kayak kamu, kan? Aku bisa ngerasain posisi kamu,” ujar Aksara. “Kamu nangis karena hal itu, bukan masalah besar. Dan itu gak salah. Kamu gak cengeng. Karena itu artinya kamu bisa mengekspresikan perasaan kamu.”

“Sa ....” Killa kembali menitihkan air matanya. Kepalanya disembunyikan di lututnya, bahunya bergetar karena tangisannya yang kencang. Aksara mendekatkan duduknya ke arah Killa, memeluk gadis itu dari samping. Laki-laki itu menyandarkan kepalanya di punggung Killa, tangannya mengusap lengan Killa dengan lembut.

“Nangis aja gapapa,” bisik Aksara.

“Mereka kenapa jahat? Mereka gak mikirin perasaan anak-anaknya. Aku capek, aku muak, aku gak kuat lagi, Sa,” ucap Killa terbata-bata.

“Mereka bukan jahat, tapi cuma dikendalikan oleh emosi. Kamu jangan ngomong gitu, ya, sayang. Kamu kuat, aku percaya itu. Kamu boleh capek, tapi jangan bilang kamu gak kuat lagi, ya? Kamu pasti kuat kok. Coba bertahan sebentar lagi,” ujar Aksara.

“Semua bikin capek, ya, Sa? Orang-orang, dunia, alur hidup kita. Semuanya bikin capek,” kata Killa dengan suara pelan.

“Itu udah takdir, Kil. Tuhan yang bikin alur hidup kita,” ujar Aksara.

“Kenapa Tuhan kasih kita alur yang menyakitkan kayak gini? Kenapa?” tanya Killa.

“Kil, percaya sama Tuhan, ya? Tuhan pasti punya rencana baik buat kita berdua kedepannya. Tuhan pasti udah menyiapkan rencana indah buat kita. Sabar, ya? Nanti kita tahu rencana baik itu bareng-bareng,” ucap Aksara. Ia mengangkat kepalanya dari punggung Killa, menarik kepala gadisnya yang menunduk. Aksara tersenyum kepada Killa, mengusap pipi gadisnya yang sudah basah karena air mata. “Jangan nangis lagi. Udah cukup kamu buang-buang air mata kamu. Udah, ya? Nangisnya udahan. Simpan air matanya, air mata kamu terlalu berharga.”

“Sa, boleh peluk?” tanya Killa.

Aksara terkekeh, ia mengangguk. Lantas menarik Killa ke dalam dekapannya. Memeluk gadis itu dengan erat. Diusapnya rambut milik Killa. Killa menyembunyikan wajahnya di bahu Aksara. Gadis itu masih mencoba untuk mengatur napasnya, mencoba untuk tidak menangis lagi. Karena ia tidak mau menangis lagi untuk saat ini. Dirinya sudah lelah karena terlalu banyak menangis.

“Pulang sekarang?” tanya Aksara setelah pelukan keduanya terlepas.

“Kak Arka sama Aji, gimana?” tanya Killa.

Aksara merogoh ponselnya, melihat pesan dari Arka kalau Arka dan Aji sudah pulang ke rumah. Arka menyuruh Aksara untuk segera mengantar Killa pulang. Aksara mendongakkan kepalanya, menatap Killa yang juga menatapnya. “Bang Arka sama Aji udah di rumah. Aku disuruh buat antar kamu pulang sekarang,” ucap Aksara.

“Ya udah, pulang sekarang,” kata Killa.

Kemudian keduanya segera pergi dari sana. Melewati jalanan kota Bandung yang terlihat ramai. Angin malam itu yang sangat dingin menerpa wajah keduanya, dingin melingkupi keduanya, membuat keduanya berusaha untuk menghangatkan satu sama lain. Killa memeluk Aksara dari belakang, sedangkan Aksara hanya bisa mengusap-usap lengan Killa yang melingkar di pinggangnya.

Dengan langkah tergesa, Killa keluar dari kelasnya. Menuju ke lapangan sekolahnya, yang katanya Aksara sedang bertengkar—entah dengan siapa—Killa mempercepat langkah kakinya. Tidak bisa ia pungkiri kalau dirinya merasa panik sekaligus khawatir karena Aksara. Laki-laki itu selalu saja membuat Killa khawatir, apalagi ketika Killa mendengar kalau Aksara bertengkar.

Suasana ricuh di lapangan membuat Killa menerobos orang-orang yang menutupi jalannya. Ia harus sampai dengan cepat. Kalau tidak, mungkin Aksara akan masuk ke ruangan BK. Killa melihat Aksara yang memukuli seseorang—entah anak kelas mana—wajahnya terlihat memerah, Aksara terlihat sangat marah. Killa menatap sekitarnya. Orang-orang bukannya memisahkan keduanya, malah bersorak. Seolah-olah ini pertandingan yang seru. Killa juga bisa melihat Reza dan Arka yang berusaha untuk memisahkan Aksara yang sudah sangat marah.

“Aksara!” teriak Killa.

Aksara menghentikan pukulannya ketika mendengar suara Killa. Ia membalikkan tubuhnya, menemukan Killa yang berdiri di kerumunan orang-orang. Aksara langsung berdiri tegap, ia menghampiri Killa dengan napas terengah-engah.

“Kil—”

“Sakit, gak?” tanya Killa, menghentikan Aksara yang akan berbicara.

Aksara mengernyitkan keningnya, kemudian menggeleng pelan. “Enggak,” balasnya.

“Bubar sana! Ini bukan tontonan, anjing!” teriak Reza. Mengusir orang-orang yang sedari tadi hanya menonton pertikaian Aksara dengan anak kelas lain.

Aksara dan Killa masih berdiri, menghadap satu sama lain. Keduanya saling bertatapan. Aksara menatap Killa takut-takut. Takut kalau gadisnya akan memarahinya. Sedangkan Killa menatap Aksara dengan tatapannya yang biasa saja. Killa menghela napasnya.

“Ayo, kita ke UKS,” ajak Killa. Ia menarik lengan Aksara, pergi dari sana dan pergi ke UKS untuk mengobati luka Aksara.


Aksara duduk di pinggir ranjang. Sementara itu, Killa mengambil obat-obatan. Kemudian, ia duduk di samping Aksara. Mengobati luka di wajah Aksara. Bekas pukulan yang pastinya terasa menyakitkan. Namun, Aksara terlihat biasa saja ketika Killa mengobati lukanya. Bahkan merasa sakit pun tidak sama sekali. Killa mengobatinya dengan telaten.

“Kamu kenapa berantem?” tanya Killa setelah selesai mengobati luka Aksara.

Aksara yang tadinya menatap lantai, kini menatap Killa yang berada di sampingnya. “Dia jelek-jelekin kamu,” jawabnya.

“Jelek-jelekin gimana?” tanya Killa tidak paham.

“Dia bilang kalau kamu anak pinter yang gak cocok pacaran sama aku, dia bilang kalau anak berandalan gak pantas buat bersanding sama kamu, dia bilang ... Kamu terlalu sempurna buat aku yang banyak kurangnya,” balas Aksara. Maniknya menatap mata Killa yang senantiasa menatapnya tanpa berkedip, kemudian ia menundukkan kepalanya.

“Sa, omongan dia itu gak benar! Kamu gak usah dengerin omongannya. Aku mau sama kamu karena aku suka kamu, aku cinta kamu, karena aku mau. Kamu gak kayak yang dia omongin. Kita cocok satu sama lain,” ucap Killa. Meraih tangan Aksara dan menggenggamnya.

“Tapi, dia benar, Kil ....” lirih Aksara, ia menatap Killa. “Dia benar. Aku gak cocok sama kamu. Aku cuma anak berandalan, sedangkan kamu anak baik-baik.”

“Apa, sih, Sa? Kok ngomongnya kayak gitu?” tanya Killa tak suka.

Aksara terkekeh, “kenapa kamu gak cari yang lain aja? Yang anak baik-baik kayak kamu. Kenapa harus aku?”

Terdiam sejenak. Killa menjadi bungkam. Ia memikirkan kalimat yang tepat untuk menjawab pertanyaan Aksara. Padahal semuanya sudah jelas, Aksara tidak perlu bertanya lagi. Rasa cinta Killa kepada Aksara itu tidak bisa diungkapkan melalui kata-kata. Semuanya mengalir begitu saja. Semakin jatuh, semakin dalam. Rasa itu semakin besar setiap harinya. Bukannya berkurang, tapi malah bertambah.

“Perlu aku jelasin seberapa besar rasa cinta aku ke kamu? Perlu aku kasih tahu ke semua orang kalau aku cinta banget sama kamu? Apa seluruh dunia harus tahu sebesar apa rasa cinta aku?” ucap Killa setelah lama terdiam. Aksara mendongakkan kepalanya, menatap Killa bingung. “Aku gak bisa ungkapin rasa cinta aku ke kamu, Sa. Soalnya susah. Gimana aku mau ungkapin kalau rasa itu bertambah setiap harinya? Aku pilih kamu karena aku mau, aku cinta kamu. Aku gak mau sama orang lain. Aku cuma mau kamu.”

Aksara tersenyum mendengar ucapan Killa, ia mengusak surai legam milik Killa. Kemudian ia mengusap tangan Killa yang menggenggamnya. Tangan yang mungil, terasa sangat pas digenggamannya.

“Makasih, ya? Makasih banyak udah pilih aku,” ucap Aksara. “Oh iya, kamu udah maafin aku?”

Killa mendengus, “aku gak pernah marah sama kamu. Aku diemin kamu tuh biar kamu kapok aja. Biar kamu ngerasain rasanya didiemin sama aku.”

Aksara terperangah. Tidak percaya dengan jawaban yang dikeluarkan oleh Killa, ia menatap Killa kesal. “Jahat banget! Aku gak bisa tidur gara-gara mikirin kamu. Mana chat aku cuma di read doang sama kamu. Kan aku sedih, Killaaaa.”

Killa tertawa, “lebay. Udah, sana balik ke kelas. Gak usah berantem lagi!”

“Gak janji,” ucap Aksara dengan senyum meledeknya.

“Aksaaaa!” seru Killa.

Aksara tertawa. Ia mencubit pelan hidung Killa. Killa merengut kesal, ia meletakkan kembali kotak P3K ke tempat semula. Aksara turun dari ranjang UKS, ia mengikuti langkah Killa yang rupanya akan pergi ke kelas. Aksara menemani gadis itu pergi ke kelasnya. Padahal Killa tidak perlu ditemani karena hanya pergi ke kelasnya. Namun, kalau kata Killa, Aksara terlalu lebay hingga mengikutinya sampai ke kelas.

Kini Killa dan Arka sedang menuju ke sirkuit. Sedari tadi Killa mengepalkan tangannya, menahan sesak di dadanya yang meluap-luap. Aksara berbohong. Laki-laki berkata padanya kalau dia akan menemani adiknya, namun nyatanya laki-laki itu malah melakukan balapan motor dengan musuhnya. Padahal jika Aksara tidak berbohong, Killa tidak akan mempermasalahkannya. Apalagi jika Aksara memberitahu alasan yang jelas. Killa tidak akan melarangnya.

Killa turun dari motor Arka setelah sampai di sirkuit. Tampaknya balapannya baru saja selesai. Bisa Killa lihat kalau motor Aksara melesat melewati pembatas garis finish, disusul oleh motor Bara di belakangnya. Yang artinya balapan kali ini dimenangkan oleh Aksara. Killa menatap Aksara yang tampak bersorak dengan teman-temannya. Killa masih berdiri di tempat dengan Arka yang berada di belakangnya.

Arka panik ketika Killa memintanya untuk membawanya kemari. Padahal Aksara sudah berpesan padanya agar Killa tidak sampai tahu kalau Aksara sedang balapan motor. Namun, semuanya sudah terbongkar. Arka juga tidak bisa membohongi adiknya, meski itu hanya sedikit kebohongan.


Aksara turun dari motornya dengan senyum sumringah. Ia menghampiri teman-temannya yang langsung menyambutnya dengan sorakan senang untuk merayakan kemenangan Aksara.

“Untung aja lu menang,” ucap Jeano.

Aksara terkekeh, “gue gitu, loh.”

“Sombong amat,” sahut Reza.

Aksara tertawa. Tawanya terhenti ketika Bara memanggilnya. Aksara menatap Bara dengan tatapan meremehkan, dengan senyum miring di wajahnya. Bara menghampiri Aksara dengan rasa kesal di hatinya. Tangannya terulur untuk memberikan selamat, namun Aksara tidak menerima uluran tangannya. Bara langsung menarik kembali tangannya.

“Selamat buat lo. Dua bulan gak bakalan ada keributan diantara kita. Dan lo, Sa, lo dapat satu juta buat kemenangan lo,” ucap Bara.

Aksara menaikkan sebelah alisnya, “satu juta? Lo gak bilang dari awal kalau yang menang bakalan dapat uang satu juta?”

“Sengaja,” ucap Bara sambil terkekeh.

“Gua gak mau terima uangnya. Cukup geng gua sama geng lo gak berantem dua bulan. Kalau bisa, selamanya,” ujar Aksara.

Bara tertawa, “kalau bisa, ya.” Lantas ia melangkahkan kakinya, pergi dari sana bersama teman-temannya.

“Rayain lah, Sa. Kita makan-makan besok,” ucap Kale.

“Besok gua traktir dah,” ucap Aksara yang langsung dihadiahi sorakan senang dari teman-temannya.

Baru saja Aksara akan pergi bersama teman-temannya, matanya tidak sengaja menatap siluet seseorang yang sangat ia kenali. Berdiri tak jauh dari tempatnya berada. Aksara menajamkan penglihatannya, matanya langsung terbelalak ketika mengetahui pemilik siluet itu. Itu adalah Killa. Aksara langsung mendadak panik, ia bergegas untuk menghampiri Killa tanpa menghiraukan teman-temannya.

Killa yang melihat Aksara hendak menghampirinya, langsung menyuruh Arka untuk segera pulang. Namun, tangannya dipegang oleh seseorang ketika dirinya baru saja akan naik ke motor kakaknya.

“Killa, kok kamu di sini?” tanya Aksara dengan napasnya yang terengah-engah.

“Kenapa? Kamu gak suka aku datang ke sini dan lihat kamu balapan?” tanya Killa ketus.

Aksara menggeleng, “gak gitu.”

“Katanya mau nemenin Keisha, mana? Kok bohong? Kok malah di sini? Harusnya kamu di rumah,” ucap Killa bertubi-tubi. Suaranya sudah bergetar, matanya memanas, entah kenapa dirinya serasa ingin menangis. Hatinya terasa sesak karena Aksara membohongi dirinya.

“Killa, aku bisa jelasin—”

“Jelasin apa, sih?! Kalau kamu mau balapan, ya bilang aja ke aku. Gak perlu bohong kayak gini. Aku gak bakal larang kamu, Aksa. Kalau kamu jujur dan ngasih alasan yang jelas, aku gak bakalan marah. Kenapa kamu malah bohong?” ucap Killa dengan air mata yang mulai menuruni pipinya.

“Maaf, aku gak bermaksud buat bohong. Aku minta maaf,” kata Aksara dengan suara pelan. Ia menundukkan kepalanya, tidak berani menatap kekasihnya yang menangis di hadapannya.

“Sa, emang Bunda pernah ngajarin kamu buat bohong?” tanya Killa. Aksara menggelengkan kepalanya sebagai jawaban.

“Terus ... Kenapa, Aksa? Kamu udah gak mau sama aku? Kamu takut aku ngatur kamu dan ngelarang kamu?” tanya Killa.

“Enggak, Killa. Aku gak gitu. Dengerin penjelasan aku dulu, ya? Bara ngajak aku balapan, katanya kalau menang, kita gak bakalan ribut lagi selama dua bulan. Ya udah aku iyain. Terus aku menang, aku gak bakalan berantem lagi sama mereka, Kil ....” jelas Aksara. Maniknya menatap manik Killa yang sudah basah karena air mata.

“Bodoh,” rutuk Killa setelah mendengarkan penjelasan Aksara. “Kamu bodoh apa gimana, sih? Buat apa kamu iyain kalau kamu bisa berubah buat gak berantem sama mereka. Dua bulan doang buat apa, Sa? Gak ada gunanya.” Killa menatap Aksara marah. Aksara terlalu bodoh untuk mengiyakan ajak Bara. Aksara merutuki dirinya sendiri karena ia juga merasa dirinya bodoh.

“Maaf ....” lirih Aksara.

“Kak, ayo, kita pulang,” ucap Killa. Ia melepaskan tangan Aksara yang menggenggam pergelangan tangannya.

Arka yang sedari tadi diam menyimak keduanya pun menganggukkan kepalanya. Ia menyuruh Killa untuk naik ke motornya. Aksara hanya bisa diam menatap kepergian Killa. Ia mengacak rambutnya dan mengerang marah. Benar kata Killa, ia terlalu bodoh untuk mengiyakan ajakan Bara. Rasa ingin menang dalam dirinya terlalu besar. Sekarang Aksara menyesal. Tapi, nasi sudah menjadi bubur. Semuanya sudah terlanjur. Aksara membalikkan tubuhnya, kembali ke tempat teman-temannya berada.

Killa sudah berada di dekat panggung bersama Ghea. Kakaknya, Arka, berada di tak jauh dari tempatnya berdiri. Sebentar lagi Aji akan tampil. Membawa gitar dengan temannya yang akan bernyanyi. Killa sangat tidak sabar untuk melihat penampilan adiknya. Semalam Aji bercerita padanya kalau dirinya juga tidak sabar untuk memperlihatkan kemampuannya kepada dirinya dan semua orang. Aji juga berkata kalau dirinya juga ingin Mama dan Papa melihatnya. Namun, sayang sekali Mama dan Papa tidak bisa datang.

“Kil, gue ke belakang dulu deh. Mau gue rekam dari belakang,” ucap Ghea.

Killa mengangguk mengiyakan. Ghea pindah ke belakang, sekarang dirinya sendirian berdiri di dekat panggung. Tak lama kemudian, pembawa acara muncul dan memberitahu kalau sebentar lagi yang ditunggu-tunggu akan segera tampil. Killa tersenyum lebar, ia menyiapkan ponselnya untuk mengambil video penampilan adiknya.

Tepuk tangan meriah mulai terdengar ketika Aji dan temannya naik ke atas panggung. Killa mengangkat tangannya tinggi-tinggi untuk merekam adiknya. Penampilan pun dimulai dengan suara drum, kemudian disusul petikan senar gitar, dan lirik lagu yang mulai dinyanyikan.


Dari arah belakang, Aksara bisa melihat punggung gadisnya. Kakinya melangkah untuk mendekati Killa yang berdiri di dekat panggung sambil memegang ponselnya tinggi-tinggi. Aksara berdiri di samping Killa, namun sepertinya gadis itu tidak menyadari kehadirannya.

Hingga ketika Killa mulai oleng dan hampir terjatuh karena terdorong orang-orang, Aksara langsung menahan pinggul dan tangan Killa.

“Kamu gapapa?” tanya Aksara dengan wajahnya yang khawatir.

Killa mendongakkan kepalanya ketika mendengar suara yang tidak asing untuknya. Ia berjengit karena Aksara yang sudah menolongnya. Dirinya tidak menyadari kalau Aksara berada di sampingnya.

Killa mengangguk, “aku gapapa. Kamu sejak kapan di sini?”

Aksara terkekeh, “daritadi. Tapi, kamu gak sadar.”

Killa menyengir, “maaf, ya. Soalnya aku fokus banget lihatin penampilan Aji.”

“Gak perlu minta maaf, sayang. Aku juga tahu kok kalau kamu lagi fokus rekam penampilan Aji,” ucap Aksara. Ia berdiri di belakang Killa untuk menjaga gadisnya dari belakang, agar tidak ada seorangpun yang bisa merecoki gadisnya.

Penampilan mulai menuju ke akhir. Semuanya bertepuk tangan ketika penampilannya sudah selesai. Di atas panggung sana, Aji tersenyum lebar. Tersenyum dengan bangga karena sudah menunjukkan bakatnya di depan banyak orang. Ia membungkukkan badannya, mengucapkan kata terimakasih berulang-ulang kepada orang-orang yang sudah menonton penampilannya.

Aji turun dari panggung setelah memberi selamat kepada temannya karena sudah menampilkan dengan baik. Ia memperhatikan ke sekitarnya untuk mencari kakak-kakaknya. Matanya tertuju pada gadis berambut panjang dengan laki-laki yang berdiri di belakangnya. Aji melangkahkan kaki panjangnya mendekati kakaknya dan kekasih kakaknya.

“Kak Killa!” panggil Aji.

Killa tersenyum, ia melambaikan tangannya. “Aji, keren banget kamu! Kakak bangga sama kamu!” Tangannya direntangkan untuk memeluk sang adik.

Aji berhamburan ke dalam pelukan Killa. Memeluk kakaknya dengan erat, tak lupa senyumnya yang masih terpampang nyata di wajahnya. Killa mengusap punggung Aji dan mengusap rambut adiknya dengan lembut. Setelah itu keduanya melepaskan pelukannya.

Aji menatap Arka yang berjalan ke arah mereka. Kemudian keduanya saling berpelukan. Arka mengucapkan kata selamat dan pujian kepada Aji. Tentunya Aji terlihat sangat senang, bahkan ia langsung memeluk kedua kakaknya sekaligus.

“Eh iya, lupa ada bang Aksa, hehe.” Aji menyengir setelah melepaskan pelukannya, ia lupa kalau ada Aksara di sini.

“Lu kan sukanya kayak gitu,” ucap Aksara.

“Hehe, maaf, bang,” kata Aji.

“Selamat, cil. Keren lo main gitarnya, kapan-kapan duet dong sama gua,” ucap Aksara sambil memeluk Aji sekilas.

“Gampang, tinggal atur aja,” kata Aji.

“Gak usah banyak gaya deh kamu, Ji,” sahut Arka yang ditertawakan oleh Killa.

Aji mendengus, “apa, sih, kak!”

“Udah sana kamu sama temen-temen kamu aja,” ucap Killa.

“Jangan lupa nanti kasih aku hadiah soalnya aku udah keren hari ini!” ucap Aji sebelum berlari meninggalkan ketiga orang yang hanya menggelengkan kepalanya melihat tingkahnya.

Saat ini Aksara dan Killa berada di alun-alun kota Bandung. Sebelum kemari, keduanya pergi ke salah satu cafe untuk membuat keadaan hati Killa sedikit lebih baik. Kalau kata Killa, Aksara itu selalu mempunyai berbagai cara untuk membuat Killa bahagia dan tersenyum. Apapun caranya, Aksara akan melakukannya. Hanya untuk Killa, Killa, dan Killa.

Aksara duduk di samping Killa, memberikan permen kapas berwarna biru yang ia beli. Killa menerimanya dengan senang hati. Senyumnya langsung terukir di wajahnya. Aksara tersenyum melihat Killa yang sangat senang dan membuka bungkus permen kapasnya dengan terburu-buru.

Gadis itu mengambil satu jumput permen kapas dan memasukannya ke dalam mulut. Aksara hanya menatap gerak-gerik Killa, tanpa berniat untuk berbicara atau meminta permen kapasnya. Aksara mengalihkan pandangannya pada langit di atasnya. Bintang-bintang tidak bertebaran di langit. Hanya ada kegelapan di atas sana.

“Sa, kamu mau, gak?” tanya Killa, tangannya sudah berada di depan mulut Aksara.

Aksara menggeleng, “buat kamu aja, neng.”

“Ih, kamu juga dong. Masa aku doang yang habisin?” ucap Killa sambil cemberut.

Aksara terkekeh, ia meraih tangan Killa dan memasukkan permen kapas ke dalam mulutnya. Permen kapas itu langsung rapuh di dalam mulutnya dalam sekejap. Hanya tersisa rasa manis di lidahnya. Killa menyuapi Aksara hingga permen kapas itu habis tak tersisa.

Kini keduanya terdiam satu sama lain. Tidak ada pembicaraan diantara keduanya. Mereka berdua sibuk menatap langit yang padahal hanya ada kekosongan, tidak ada apapun di sana. Namun, mereka tidak mengalihkan pandangannya dari langit di atas sana.

Aksara menundukkan kepalanya, tangannya meraih tangan Killa dan menggenggamnya. Killa sontak menatap Aksara yang kini tersenyum ke arahnya. Seketika hatinya menghangat melihat senyum yang menjadi favoritnya.

“Capek, ya?” tanya Aksara.

Killa mengernyitkan keningnya, “maksud kamu?”

“Iya kamu capek, kan? Kamu capek batin, capek sama diri sendiri, capek sama semuanya. Iya, kan?” ucap Aksara.

Killa langsung tercekat. Lidahnya mendadak kelu, dadanya terasa sesak. Air matanya berlomba-lomba untuk keluar, namun gadis itu menahannya agar tidak membasahi pipinya.

“Se-capek apapun kamu sama dunia, jangan menyerah, ya? Kamu masih punya masa depan dan kehidupan yang panjang. Menyerah bakalan bikin kamu nyesel karena kamu gagal buktiin ke dunia kalau sebenarnya kamu kuat. Kil, aku selalu di sini kok sama kamu. Selalu. Aku bakalan terus ada di sini sama kamu, di samping kamu terus, aku gak bakalan ninggalin kamu. Kecuali kamu yang nyuruh aku pergi,” ucap Aksara dengan kedua tangannya yang menggenggam tangan Killa. Kini keduanya saling berhadapan, menatap manik satu sama lain.

“Aku gak bakalan nyuruh kamu pergi ...” lirih Killa.

“Semuanya bisa berubah kapanpun. Mungkin sekarang kamu gak nyuruh aku pergi, tapi bisa aja suatu saat nanti kamu nyuruh aku pergi,” kata Aksara.

“Sa, aku gak tahu harus gimana lagi. Aku udah capek dengerin mereka berantem terus. Semuanya mereka jadiin sumber masalah. Padahal menurut aku, hal itu bukan masalah yang perlu dibesar-besarkan. Terus kenapa mereka kayak gitu?” Killa mulai mengeluarkan semua unek-uneknya yang sudah ia simpan beberapa bulan ini. Dirinya sudah tidak sanggup menyimpan semuanya sendirian. Bertanya-tanya pada dirinya sendiri, namun dirinya juga tidak kunjung menemukan jawabannya.

“Kamu tahu kan orang tua kalau marah itu gimana? Semuanya bakal jadi sasaran amarahnya. Jadi, ya ... Gitu deh,” sahut Aksara. “Kamu jangan nangis sendirian lagi di kamar malam-malam. Kamu punya aku. Telpon aku aja kalau mau nangis, aku bakalan nemenin kamu. Atau nanti aku ajak kamu keluar keliling Bandung naik motor biar kamu gak nangis.”

“Kenapa kamu selalu bilang ke aku buat gak nangis? Aku juga pengen nangis, Sa ...” tanya Killa.

Aksara terkekeh, “karena aku tahu gimana rasanya nangis setiap hari. Rasanya gak enak, nyesek banget, capek juga. Makanya aku nyuruh kamu buat gak nangis. Kalau kamu bisa luapin tangisan kamu dengan ngelakuin hal-hal yang lain, kenapa enggak?”

Sekarang tangisan Killa pecah. Gadis itu menangis sesenggukan. Kepalanya menunduk, tangannya masih berada di genggaman Aksara. Laki-laki itu hanya diam membiarkan Killa menangis. Menatap bahu dan punggung gadisnya yang bergetar. Aksara melepaskan genggamannya, tangannya terulur untuk mengusap punggung Killa. Kemudian ia menarik gadisnya ke dalam pelukannya.

I won't let you cry alone like this, we need each other. Nangis sepuasnya, nangis sekencang yang kamu mau,” ucap Aksara.

Maka semakin kencang tangisan Killa. Jam sudah berlalu dan malam semakin larut. Alun-alun pun kini sudah semakin sepi. Aksara tidak lagi mendengarkan suara tangisan dari Killa. Ia melepaskan pelukannya. Dilihatnya wajah Killa yang memerah, Aksara tertawa pelan. Diusapnya pipi gadisnya. Merapihkan surai milik Killa yang berantakan.

“Udah nangisnya? Mau aku cium, gak?” gurau Aksara.

Killa menatap Aksara tajam, “apa, sih!”

Aksara tertawa, “bercanda, sayang. Sekarang udah mau pulang?” Killa mengangguk sebagai jawaban.

Aksara berdiri dari duduknya, membantu Killa untuk berdiri. Keduanya kembali ke motor Aksara yang terparkir tidak jauh dari tempat keduanya.

“Mau pegangan atau aa’ pegangin?” tanya Aksara ketika keduanya sudah berada di atas motor.

“Pegangan sendiri!” seru Killa kemudian melingkarkan tangannya di pinggang Aksara.

Aksara terkekeh, ia menjalankan motornya ketika Killa sudah berpegangan pada pinggangnya. Lebih tepatnya memeluknya. Keduanya melewati jalanan yang mulai sepi karena sudah larut malam. Aksara akan mengantar Killa pulang dengan selamat tanpa ada lecet sedikitpun.

tw // family issues

Sekarang keluarga dari Killa sudah berada di salah satu restoran yang berada di kota Bandung. Mereka memilih ruangan VVIP, yang tentunya sudah dipesan oleh Rangga semalam. Memilih ruangan khusus agar keluarganya bisa makan dengan tenang tanpa suara bising dari orang-orang yang datang.

Killa duduk di samping kiri Aji, di sampingnya ada Arka, lalu Winda dan Rangga. Killa tak henti-hentinya tersenyum sejak perjalanan kemari. Dirinya merasa senang dan juga bahagia karena akhirnya setelah berapa lamanya—mungkin hampir lima bulan—keluarganya bisa berkumpul dan makan malam bersama lagi. Sudah lama sekali Killa ingin merasakan momen ini. Karena biasanya mereka hanya makan malam di rumah, itupun terasa lengkap jika Winda dan Rangga berada di rumah.

Hidangan yang sudah dipesan satu-persatu mulai datang. Mereka mulai menikmati makanan mereka tanpa ada suara. Hanya ada suara denting garpu dan pisau. Sesekali Aji yang bercerita tentang kehidupan sekolahnya. Itupun hanya mendapat tanggapan senyuman dari Winda dan Rangga. Hanya Arka dan Killa yang menanggapi cerita Aji, mereka tidak mau membuat si bungsu merasa tidak diperhatikan.

“Besok Papa harus ke luar kota,” ucap Rangga setelah makanannya habis. Ia menatap anaknya satu-persatu.

“Lagi?” tanya Arka dengan alis yang terangkat sebelah, menatap Ayahnya dengan tatapan bertanya.

Rangga mengangguk, “mau ketemu client di Bogor.”

“Kenapa gak mereka aja yang ke sini?” tanya Killa.

“Gak bisa, Killa. Harus Papa sama sekretaris yang datang,” ucap Rangga.

“Tapi, besok di sekolah Aji tampil buat band,” sahut Aji. Memang benar kalau besok ada acara band di sekolah ketiganya. Aji mengikuti lomba band sekolah yang diadakan oleh OSIS. Hanya untuk sekedar hiburan murid-murid Neo High School. Aji ditunjuk menjadi gitaris. Maka dari itu, ia berlatih dengan giat bermain gitar bersama Arka. “Mama sama Papa gak datang?” tanya Aji, matanya menatap kedua orang tuanya dengan tatapan memohon. Berharap agar keduanya bisa datang dan menunda jadwal bekerja mereka.

Rangga menggeleng, “Papa gak bisa.”

“Mama juga gak bisa. Maaf, ya, nak. Besok Mama juga harus ngurus butik yang di Jakarta,” ucap Winda.

“Kan bisa ditunda, Ma,” kekeuh Aji.

Winda menghela napasnya, “enggak bisa, Aji. Besok Mama harus ke Jakarta, Mama juga udah pesen tiketnya. Kan sayang kalau dibuang.”

Aji terkekeh, “ya lagian kalian mana punya waktu sih buat anak-anaknya. Palingan kalau di rumah ya cuma berantem.”

“Aji!” seru Rangga. Netranya menatap anak bungsunya dengan tajam.

Killa yang berada di samping Aji langsung menyentuh tangan adiknya, mengusapnya untuk memberikan ketenangan pada adiknya. Suasana yang tadinya tenang, sekarang menjadi dingin. Selalu saja begini. Semuanya mendadak berubah ketika mereka memulai obrolan yang pastinya terarah ke pekerjaan Rangga dan Winda. Entah itu keduanya sibuk mengurus butik, kantor, atau lainnya.

“Kan ada aku sama kak Arka yang bakal nonton kamu!” hibur Killa.

Aji menggeleng pelan, “aku mau Mama sama Papa juga datang,” ucapnya lirih.

“Udah, lah, Ji. Gak perlu berharap sama mereka buat datang. Mereka gak bakalan pernah bisa,” ucap Arka dengan nada yang meremehkan. Memang terlihat seperti anak kurang ajar, tapi Arka hanya berkata yang sebenarnya.

“Arka!” seru Winda, “Mama gak pernah ngajarin kamu buat ngomong kayak gitu! Jangan jadi anak kurang ajar!”

Arka tertawa pelan. Lebih tepatnya tertawa miris atas ucapan Winda. Padahal Arka mengatakan hal yang benar, ia tidak salah. Karena memang kenyataannya begitu. Orang tuanya selalu sibuk dan tidak pernah menyisihkan waktunya untuk anak-anaknya. Tidak ada yang perlu diharapkan dari Rangga dan Winda, itu sudah menjadi hal yang biasa bagi Arka, Killa, dan Aji.

“Mama emang gak pernah ngajarin aku, Killa, sama Aji buat ngomong kayak gitu. Tapi, aku ngomong sesuai fakta! Kalian emang gak pernah punya waktu buat kita, dikit aja enggak. Jadi, buat apa kita berharap kalian ada waktu buat kita? Karena itu gak bakalan pernah bisa,” ucap Arka dengan tenang. Tangannya yang di bawah meja terkepal erat.

“Papa sibuk buat cari uang, buat kalian! Gak usah ngomong kayak gitu!” ucap Rangga.

“Ini semua gara-gara kamu, Mas! Kamu sibuk kerja, aku juga ikutan sibuk ngurusin butik gara-gara pusing mikirin kamu yang sehari-hari di kantor terus,” kata Winda.

“Kamu ini bilang apa?! Ya harusnya kamu yang salah. Kamu gak perlu kerja, aku aja. Tapi, kamu malah ngeyel mau buka butik! Terus kamu ikut-ikutan sibuk kayak aku. Harusnya kamu di rumah aja sama mereka, biar gak kayak gini!” ucap Rangga dengan nada yang naik satu oktaf.

Sahut-sahutan kalimat saling menyalahkan antara Winda dan Rangga pun terjadi. Mereka tidak memikirkan di mana mereka sekarang. Mereka hanya memikirkan tentang perasaan masing-masing dan amarah mereka. Meluapkan semuanya melalui kata-kata, membuat anak-anaknya melihat perdebatan antara keduanya tanpa suara. Terdiam mendengarkan suara mereka yang kini semakin mengeras.

“Udah, berhenti! Aku muak dengerin kalian berantem terus. Kak Arka sama Aji juga ngerasain hal yang sama. Kalian jangan kekanak-kanakan kayak gini dong! Kalian gak malu? Ini masih di tempat umum. Killa capek dengerin kalian berantem terus, gak ada habisnya kalian adu mulut kayak gini. Kalau ujung-ujungnya kayak gini, mending dari awal gak usah makan malam bareng kayak gini,” ucap Killa dengan suaranya yang bergetar karena menahan tangis. Tangannya terkepal, menahan sesak di dadanya.

Gadis itu bangkit dari duduknya. Melangkahkan kakinya, pergi dari ruangan itu dan meninggalkan tempat itu detik itu juga. Disusul dengan Arka dan Aji yang ikut keluar dari restoran. Kini hanya tersisa Rangga dan Winda yang termenung. Keduanya tidak berkata-kata sama sekali. Hingga akhirnya keduanya pulang ke rumah dengan kendaraan yang berbeda.