aireanora

tw // harsh words , death , blood , fight , tamparan , pukulan.

Flashback

Killa menghampiri Aksara yang sedang duduk di depan kamar jenazah. Sekarang mereka sedang berada di rumah sakit. Keisha sudah pulang bersama Mamanya, anak itu menangis meraung-raung memanggil Bundanya. Teman-teman Aksara datang untuk menemani Aksara, mereka duduk berada tak jauh dari Killa dan Aksara.

Killa duduk di samping Aksara yang sedari tadi terdiam. Aksara menatap kedua tangannya yang berlumuran darah, bajunya juga terkena darah dari Bundanya. Tatapannya kosong. Daksanya terlihat lemas. Raganya masih berada di sini, jiwanya entah pergi ke mana. Rasanya sangat nestapa.

“Bunda ...” lirih Aksara. Ia menatap ke sekitarnya bak orang linglung. Berdiri dari duduknya, memanggil Bundanya.

Killa memegangi tangan Aksara yang hendak pergi. Aksara menatap Killa dengan mata berkaca-kaca. Dirinya sudah kacau. Dia tidak terima dengan apa yang sudah terjadi dengan Bundanya. Aksara menangis. Teman-teman Aksara memperhatikan keduanya, berjaga-jaga jika Aksara melakukan hal nekat.

“Kil, Bunda mana? Bunda masih diobatin, kan? Bunda bakalan gapapa, kan? Bunda bakalan baik-baik aja. Bunda itu kuat, Kil. Bunda gak bakalan pergi ke mana-mana,” ucap Aksara menggebu-gebu. Ia menggenggam tangan Killa, matanya menatap Killa dengan memelas.

Killa mengulum bibirnya, ia merasa sangat sakit hati ketika Aksara berucap demikian. Dadanya terasa sesak. Aksara belum bisa menerima kejadian tadi.

“Sa, Bunda udah pergi ...” ucap Killa.

Aksara mengerutkan keningnya, ia menghempaskan tangan Killa yang ia genggam. “Kamu ngomong apa, sih?! Bunda masih ada! Kamu gak usah ngomong aneh-aneh.” Suaranya naik satu oktaf, membuat Killa terkejut.

“Aksa ...” lirih Killa.

Derap langkah kaki seseorang memenuhi koridor rumah sakit yang sepi. Killa mundur beberapa langkah karena tubuhnya terdorong. Matanya membulat begitu mengetahui siapa yang datang.

Buagh

“Dasar anak sialan!”

Badan Aksara tersungkur di lantai. Laki-laki itu hanya diam, tidak melawan sama sekali. Dirinya sudah sangat lemas, ditambah Ayahnya malah memukul dirinya dan mengatainya anak sialan.

“Aksa!” teriak Killa, ia menghampiri Aksara dan membantunya untuk berdiri.

“Kenapa Bunda bisa kayak gini?! Kenapa, Aksara?! Kenapa kamu bikin Bunda pergi jauh?! Kamu gak kasihan sama Ayah?!” seru Prabu dengan suara yang keras.

Koridor rumah sakit yang tadinya sepi, kini dipenuhi suara bentakan dan teriakan dari Prabu. Jelas dia merasa kaget dan kehilangan. Dia merasa kaget ketika berada di kantor mendapat kabar duka mengenai istrinya. Hatinya terasa dicabik-cabik. Tanpa berpikir lama, ia langsung datang ke rumah sakit. Diotaknya hanya satu nama; Aksara. Anaknya sendiri. Prabu menduga kalau Aksara yang menyebabkan semua ini. Padahal ini bukan kesalahan Aksara, Keisha, atau siapapun.

“Kenapa kamu gak tolongin Claire?! Kenapa kamu malah biarin dia tertabrak mobil?! Kenapa, Aksara?!” teriak Prabu. Matanya sudah memerah, sama seperti Aksara.

Aksara mendongakkan kepalanya, menatap sang Ayah dengan tajam. “Aku udah lari sekencang mungkin buat tolongin Bunda! Tapi, semuanya udah terlambat! Ini bukan salah aku!” teriak Aksara.

“Ini salah kamu!”

Buagh

Pukulan kembali dilayangkan ke wajah Aksara. Aksara menyentuh pipinya yang terasa nyeri, sudut bibirnya sudah berdarah. Killa menangis ketika melihat kekasihnya dipukul oleh Ayahnya sendiri. Ia menatap Aksara yang sudah babak belur. Aksara menatap Killa, menangkan gadis itu agar tidak panik. Ia tersenyum pada Killa. Kemudian ia menatap Ayahnya dengan tatapan marahnya.

“Aksara udah bilang, ini bukan salah aku! Orang-orang udah teriak nyuruh Bunda minggir, tapi Bunda gak denger! Semuanya terjadi gitu aja. Dan ini bukan kemauan Aksara, Ayah. Aksara juga gak mau kayak gini! Aksara juga sedih. Aksara juga kehilangan, bukan cuma Ayah doang yang merasa kehilangan! Apalagi Keisha yang juga ada di sana. Ayah gak bisa seenaknya nuduh aku penyebab semua ini! Aksara baru tahu, ada seorang Ayah yang mukul anaknya karena tuduhan dari otaknya yang disimpulkan sendiri! Ayah egois! Aksara benci Ayah!”

Setelah berucap demikian, Aksara menarik lengan Killa untuk pergi dari sana. Meninggalkan Ayahnya yang terdiam tanpa berkata-kata. Killa berusaha untuk menyeimbangi langkah Aksara yang tergesa-gesa. Teman-teman Aksara juga mengejar Aksara dan Killa yang sudah pergi dari sana.

“Maafkan Ayah, nak ...”


Suasana di rumah duka tampak ramai dengan orang-orang yang datang untuk ikut mendoakan. Pemakaman sudah dilakukan satu jam yang lalu. Keisha berada di rumah neneknya untuk menenangkan diri dan disembuhkan dari rasa trauma karena melihat kejadian yang seharusnya tidak ia lihat, meski ia tidak melihat secara langsung kejadiannya. Hanya kejadian Bundanya yang berlumuran darah, membuatnya merasa takut dengan darah dan kata darah.

Saat ini Killa sedang menemani Aksara yang termenung di kamarnya. Killa meletakkan segelas air di meja nakas yang berada di samping kasur Aksara. Gadis itu mendudukkan dirinya di samping Aksara, mengusap bahu laki-laki yang kini suasananya hatinya sedang bersedih.

Aksara menolehkan kepalanya, ia langsung memeluk Killa dengan erat. Killa mengusap punggung Aksara dengan lembut, laki-laki itu menangis lagi di bahunya, di pelukannya. Killa membiarkan kekasihnya menangis lagi, meski Aksara sudah menangis terlalu banyak. Aksara menyembunyikan wajahnya di ceruk leher Killa, tangannya memeluk erat tubuh Killa.

“Sa, jangan nangis lagi. Pasti Bunda sedih kalau kamu nangis terus kayak gini,” bisik Killa.

“Ini semua salah aku, Kil. Harusnya aku gak biarin Bunda nyebrang buat beli es krim,” ucap Aksara sambil terisak.

“Kamu ngomong apa, sih? Ini bukan salah kamu. Bukan salah Keisha juga. Ini bukan salah kalian berdua,” ujar Killa. Ia mengusap rambut Aksara, tangannya yang satunya masih setia mengusap punggung rapuh kekasihnya.

This is my fault,” lirih Aksara.

No, this is God’s destiny,” ucap Killa.

Entah berapa lama Aksara menangis di pelukan Killa. Sekarang Killa merasa pegal dengan posisi mereka yang seperti ini. Hingga akhirnya Aksara mengangkat kepalanya. Menunjukkan wajahnya yang berantakan, rambutnya kusut, matanya membengkak, hidungnya memerah, pipinya yang basah karena air mata. Killa mengambil segelas air yang tadi ia bawa, memberikannya pada Aksara. Laki-laki itu meminumnya hingga habis tak tersisa.

“Aksa, dengerin aku. Ini bukan salah kamu, bukan salah Keisha, ini takdir Tuhan. Kita gak pernah tahu kapan Bunda pergi, jadi jangan nyalahin diri kamu. Karena kamu gak salah. Kamu jangan terus-terusan kayak gini. Aku gak mau lihat kamu kayak gini, Sa. Mana kamu yang jago berantem? Mana Aksara yang suka jahilin adiknya? Mana Aksara yang sukanya bikin aku kesel? Mana Aksara yang kuat? Jangan nangis, ya? Kamu boleh ngerasa sedih, karena aku juga sedih, Sa. Kamu boleh nangis, tapi kamu udah kebanyakan nangis. Jangan nangis lagi, ya? Bunda pasti sedih lihat kamu kayak gini. Kamu harus bangkit. Jangan terlalu lama menjadi rapuh. Kamu juga harus bantu Keisha buat hilangin traumanya, kan? Tunjukin ke Bunda kalau kamu anaknya yang hebat. Kamu gak sendirian, ada aku di sini. Aku bakalan selalu di sini sama kamu,” ucap Killa. Matanya menatap manik Aksara yang memerah. Aksara menundukkan kepalanya, karena merasa ucapan Killa itu benar adanya. Ia kembali mendongakkan kepalanya, menyunggingkan sedikit senyumnya.

“Makasih, ya? Makasih banyak, sayang. Aku gak tahu apa yang bakalan aku lakuin kalau gak ada kamu. Kamu jangan ke mana-mana, di sini aja sama aku. Udah cukup aku kehilangan Bunda, aku juga gak mau kehilangan kamu, Keisha, sama yang lainnya. Sama aku terus, ya?” ucap Aksara.

Killa tersenyum, lalu ia menganggukkan kepalanya. “Iya, Aksa. Kita bareng-bareng terus, ya?”

Aksara tersenyum. Ia kembali memeluk Killa. Kini ia tidak menangis lagi. Dihembuskan napasnya dengan berat. Mengucapkan janji-janji yang akan ia tepati nantinya untuk Killa dan untuk Bundanya. Berdoa agar setelah ini ia bisa menjadi orang yang kuat seperti yang dikatakan Bundanya dan Killa. Aksara tidak boleh menjadi anak lemah. Ia masih punya tanggung jawab yang besar. Aksara hanya berharap, kehidupannya dipenuhi oleh kebahagiaan setelahnya.

tw // blood , death , car accident.

Flashback

Sore itu di kota Bandung, Claire dan kedua anaknya, Aksara dan Keisha. Pergi ke taman kota yang berada tidak jauh dari rumah mereka. Ketiganya menghabiskan waktu bersama di sore hari itu tanpa sang kepala keluarga. Karena saat itu Prabu sedang sibuk bekerja.

Claire mengajak Aksara dan Keisha duduk di salah satu bangku yang berada di sana. Aksara duduk di dekat sang Bunda. Melihat adiknya yang sedang bermain-main sambil meniup gelembung. Sore itu, taman kota tampak ramai. Banyak orang yang berada di sana. Hanya untuk sekedar menikmati angin sore, atau berpacaran, dan juga ada yang datang seorang diri.

“Aa’, besok kalau udah jadi orang sukses, mau ngapain aja?” tanya Claire.

Aksara yang sedang memperhatikan adiknya pun menolehkan kepalanya ke sang Bunda, “mau ngajak Ayah, Bunda, sama Keisha keliling dunia.”

Claire terkekeh, “kenapa mau keliling dunia?”

Aksara terdiam sejenak, memikirkan jawaban yang tepat atas pertanyaan Claire. “Soalnya aa’ pengen kalian bisa lihat satu-satu negara yang ada di bumi! Biar kalian bisa ngerasain keliling dunia,” balas Aksara.

“Aa’, nanti jangan jadi orang yang sombong, harus tetap rendah hati. Kalau ada orang iri, biarin aja. Bunda mau kamu dapat kebahagiaan sampai kamu tua nanti,” ucap Claire sambil tersenyum.

Aksara menyunggingkan senyumnya, “Aksara kan gak pernah sombong. Kecuali kalau Keisha sombong pamerin mainannya ke aku, nanti aku bales pamer barang ke dia. Hahaha.”

“Aduh, kalian ini ...” Claire tertawa dengan penuturan Aksara.

Keisha tampak berlari menghampiri Bunda dan Kakaknya yang sedang asyik mengobrol. Ditangannya ada pistol gelembung yang ia tadi. Diletakkannya barang itu di kursi, kemudian ia duduk di tengah-tengah antara Bunda dan Kakaknya. Kakinya yang tidak menapak tanah, diayunkan menendang udara.

“Keisha, mau jadi apa kalau sudah besar?” tanya Claire.

“Mau jadi pelukis!” jawab Keisha dengan lantang, tanpa ada keraguan di suaranya.

“Kenapa mau jadi pelukis?” tanya Claire.

“Keisha kan suka gambar, Keisha juga lagi latihan melukis sama teh Killa,” balas Keisha.

“Nanti Keisha jadi pelukis terkenal, ya! Biar Bunda bisa lihat Keisha jadi pelukis hebat,” ujar Claire.

Saat itu, Aksara masih duduk di kelas 1 SMA. Yang artinya, sudah 1 tahun sejak kepergian Bundanya. Aksara yang saat itu sedang menikmati angin sore yang berembus menerpa wajahnya dan membuat rambutnya berterbangan, menoleh ke arah sang Bunda ketika Claire mengucapkan kalimat yang tidak Aksara duga.

“Nanti kalau Bunda udah gak ada, aa’ yang rawat Keisha dan nemenin Keisha sampai tumbuh jadi pelukis terkenal,” ucap Claire dengan tatapan lurus ke depan.

Aksara mengerutkan keningnya, “Bunda ngomong apa, sih?” tanyanya tak suka dengan ucapan sang Bunda.

“Bunda cuma bilang aja, a’. Nanti kamu yang jagain Keisha, rawat Keisha, didik adik kamu jadi anak yang baik, jangan sampai dia jadi anak yang nakal,” ucap Claire.

“Bunda gak bakalan ke mana-mana, kan?” tanya Keisha lirih. Entah kenapa ia merasa perasaannya tidak enak.

Claire terkekeh, “Bunda gak ke mana-mana, sayang. Bunda bakalan selalu di sini sama kamu, sama aa’, sama Ayah.” Claire mengusap kepala Keisha dan Aksara secara bergantian. Mengecup kening kedua anaknya dan mengusap lembut pipi keduanya. Menatap mereka dengan tatapan yang sulit diartikan. Dirinya merasakan perasaan aneh yang bergejolak. Entah perasaan apa ini.

“Bun, udah sore banget. Pulang aja, yuk!” ucap Aksara memecah keheningan diantara mereka.

Claire mengangguk, “ayo, a’. Keisha, pulang sekarang, yuk?”

Keisha menatap Claire dengan matanya yang berkaca-kaca, Aksara dan Claire menatap Keisha kebingungan. Mereka kebingungan karena Keisha yang matanya berkaca-kaca. Padahal mereka sedang tidak bersedih atau membicarakan hal yang menyayat hati. Tetapi, mata Keisha berkaca-kaca. Gadis kecil itu menggenggam erat tangan sang Bunda, menggelengkan kepalanya, melarang Claire pergi. Keisha tidak mau pulang.

“Ayo, pulang, neng,” ucap Aksara sambil menarik tangan Keisha.

“Jangan pulang!” seru Keisha.

“Keisha kenapa, nak? Kenapa gak mau pulang?” tanya Claire.

“Aku gak mau pulang,” ucap Keisha dengan air mata yang sudah turun membasahi pipinya.

Claire mengerutkan keningnya, ia menatap Aksara. Aksara mengangkat kedua bahunya, pertanda tidak tahu. “Bentar lagi sudah mau malam, pulang, yuk? Nanti dimarahin Ayah kalau gak pulang.”

Kalimat-kalimat bujukan dari Claire dan Aksara sudah dilontarkan beberapa kali. Setelah beberapa kali mencoba membujuk Keisha, akhirnya Keisha mau pulang bersama mereka. Claire menggandeng tangan Keisha, sementara itu Aksara berdiri di samping Claire. Ketiganya berjalan beriringan.

Keisha melihat penjual es krim di seberang jalan, ia merengek pada Claire untuk dibelikan. Namun, Claire menolaknya. Keisha terus merengek, hingga akhirnya Claire berniat untuk membelikan es krim untuk Keisha.

Kakinya melangkah menyebrangi jalan, Aksara dan Keisha menunggu di pinggir jalan. Menunggu sang Bunda membawakan es krim untuk anaknya. Dari kejauhan, suara klakson terdengar. Namun, Claire tidak menghiraukannya. Teriakan-teriakan dari orang-orang yang menyuruhnya untuk menyingkir pun tidak didengar. Entah benar-benar tidak mendengar, atau sengaja tidak mendengarkannya.

Aksara menatap Bundanya yang sudah berada di tengah jalan. Panik, takut, khawatir, semuanya menjadi satu. Ia mendorong Keisha ke pinggir jalan, kakinya berlari menghampiri sang Bunda.

Brak

Terlambat. Semuanya sudah terlambat. Aksara terlambat untuk datang menyelamatkan Bundanya. Claire terpental jauh, kepalanya terbentur aspal dan mengeluarkan banyak darah. Teriakan dari orang-orang terdengar. Suara dengung, suara tabrakan, suara teriakan, semuanya menjadi satu di indera pendengaran Aksara.

“Bunda!”

Aksara berteriak memanggil Bundanya. Kakinya melangkah mendekati Bundanya yang sudah terbaring tidak berdaya dengan darah yang tergenang. Air matanya tumpah. Menangis dengan kencang. Dipangkunya kepala sang Bunda di pahanya, Aksara mengusap kepala sang Bunda yang dipenuhi darah.

“Bunda ...” Suaranya terdengar bergetar. Hatinya terenyuh melihat sang Bunda.

“A–aa’ ...”

“Cepet telpon ambulan!” teriak Aksara.

“G–gak p–perlu, a–a’ b–bunda titip k–keisha s–sama Ayah. K–kalian harus b–bahagia, j–jangan bi–kin b–bunda sedih. K–kalian h–harus w–wujudin impian k–kalian. B–bunda minta m–maaf sama k–kalian karena belum b–bisa jadi Bunda y–yang b–baik. B–bunda titip s–salam b–buat K–killa. B–bunda sayang k–kalian. B–bahagia s–selalu.” Claire berucap dengan terbata-bata dengan napasnya yang terputus-putus. Aksara menangis semakin kencang, ia memeluk Bundanya dengan erat.

“Bunda, jangan ngomong gitu! Bunda bakalan baik-baik aja! Jangan tinggalin Aksara sama Keisha, Bun. Nanti Ayah gimana? Jangan ke mana-mana,” ucap Aksara dengan isak tangisnya.

Sementara itu, Keisha yang berada di pinggir kerumunan orang-orang, menatap orang-orang yang berkerumunan di hadapannya dengan bingung. Keisha kebingungan ketika Kakak dan Bundanya tidak ada di pandangannya dalam waktu sekejap. Keisha teringat ketika Aksara memanggil Bunda dengan suaranya yang keras. Perlahan-lahan, Keisha melangkahkan kakinya mendekati kerumunan. Menerobos orang-orang bertubuh besar yang menghalangi jalannya.

Deg!

Keisha melihat Kakaknya memangku Bundanya yang berlumuran darah. Jantungnya langsung berdetak dengan kencang. Keisha menangis dengan keras memanggil sang Bunda. Kakinya ingin berlari mendekati sang Bunda, namun langsung ditahan oleh seseorang. Keisha menatap seseorang yang menahan tangannya, itu adalah Killa. Killa menatap Keisha dengan matanya yang memerah, gadis itu langsung memeluk Killa dengan erat dan menangis dengan kencang.

Suara sirine ambulan terdengar, membelah kerumunan. Aksara berteriak memanggil nama Bundanya. Hatinya sakit ketika melihat tatapan Bundanya yang menatapnya dan juga adiknya yang kini berada di pelukan Killa. Claire masih bisa tersenyum ke arah mereka. Sebelum akhirnya ia mengembuskan napas terakhirnya. Tanpa anak-anaknya tahu kalau dirinya sudah pergi ke pangkuan Yang Maha Kuasa.

“Teh Killa!” panggil Keisha dengan semangat. Ia berlari menghampiri Killa yang tersenyum ke arahnya, memeluk gadis yang lebih tua darinya. Killa tersenyum ketika Keisha menghampirinya dan memeluknya.

“Ayo, kita ketemu Bunda,” ajak Aksara.

“Kita beli bunga dulu, a’?” tanya Keisha.

Aksara mengangguk sembari memakaikan jaket pada Keisha, “iya, nanti kita beli.”

Setelah jaketnya terpakai, Aksara membantu Keisha untuk duduk di motor. Tentunya di bagian depan. Dibelakangnya pun ada Killa. Aksara menjalankan motornya, menjauhi area rumah neneknya.

Di sepanjang perjalanan, Keisha bernyanyi lagu anak-anak yang ia hafal di luar kepala. Sementara itu Aksara dan Killa hanya menyimak nyanyian Keisha, sesekali tertawa karena Keisha yang bertepuk tangan dengan lucu.

Mereka berhenti di salah satu toko bunga, Aksara turun dari motornya. Menyuruh Killa dan Keisha untuk menunggu di motor, sementara itu dirinya membeli bunganya. Tidak lama kemudian, Aksara sudah membeli sebuket bunga untuk sang Bunda. Tersenyum kepada Killa dan memberikan buket bunga yang ia pegang pada Killa. Mereka kembali melanjutkan perjalanannya.

Tidak butuh waktu lama untuk mereka sampai di suatu tempat yang menjadi kunjungan mereka kepada Bunda dari Aksara. Ketiganya turun dari motor, menatap tempat di depannya. Aksara menghela napasnya, Killa yang berada di sampingnya pun mengusap bahunya.

Pemakaman.

Ya, mereka sekarang berada di pemakaman. Aksara menggandeng tangan Keisha, sementara itu Killa menggandeng lengannya. Mereka bertiga berjalan beriringan, mencari salah satu nisan yang akan mereka datangi. Langkah mereka terhenti ketika sudah menemukannya.

Keisha langsung berlari menghampiri salah satu gundukan tanah dengan nisan yang bertuliskan Claire Faneth. Tangan mungilnya mengusap nisan yang sudah terlihat usang, disekitarnya terlihat sangat kotor dan ditumbuhi rumput panjang. Aksara berjongkok di samping Keisha. Sedangkan Killa juga berjongkok di samping Aksara.

Aksara mengusap batu nisan sang Bunda perlahan. Hatinya terasa sakit ketika di hadapannya ada gundukan tanah yang dibawahnya ada Bundanya yang kini sudah menyatu dengan tanah. Matanya menatap lurus ke batu nisan sang Bunda. Ketiganya memanjatkan doa untuk seseorang yang sangat berarti untuk Aksara dan juga Killa. Banyak sekali kenangan diantara mereka. Namun, orang itu malah sudah meninggalkan mereka begitu cepat.

“Bun, Aksara bawa Killa sama Keisha,” ucap Aksara setelah menyelesaikan doanya. Senyum di wajahnya tidak luntur, malah semakin lebar. Namun, senyum itu tampak terpaksa ditunjukkan karena ia tidak bisa tersenyum ketika datang ke sini. “Bunda pasti kangen sama aa’ sama Keisha, ya? Kita juga kangen sama Bunda. Killa juga kangen sama Bunda. Bun, di sana enak, gak? Bunda seneng, gak? Pasti Bunda seneng banget.” Napasnya tercekat, sesak di dadanya sudah tidak bisa tahan lagi. Napasnya terputus-putus, matanya sudah berkaca-kaca. Aksara berusaha untuk menahan air matanya agar tidak terjatuh.

Namun, sudah berusaha pun air matanya jatuh membasahi pipinya dengan deras. Aksara terisak, ia menangis dengan deras. Bahunya bergetar, tangannya juga ikut bergetar. Killa mengusap bahu Aksara yang berada di sampingnya, sedangkan Keisha memeluk Aksara dari samping.

“B–bun, Keisha udah sebesar ini. Bunda pasti bangga, kan, sama aa’? Bunda pasti bangga sama aa’ karena udah besarin Keisha. Keisha tumbuh baik, Bun. Dia jadi anak yang pinter, sekarang Keisha jago nyanyi, dia mirip Bunda ... Keisha sama kayak Bunda, suka sama kucing. Aksara pelihara kucing sama Keisha. Kata Keisha, kucingnya mirip kayak pas dia sama Bunda ke taman dulu. Bunda ... Aksa kangen,” ucap Aksara dengan nada yang terbata-bata dan suaranya yang bergetar karena menangis.

Killa tak kuasa menahan tangisnya ketika melihat Aksara menangis, dirinya pun ikut menangis. Tangannya masih mengusap bahu Aksara. Jika dia berusaha untuk menguatkan Aksara, maka Aksara akan berusaha untuk menjadi kuat. “Bunda, Aksara hebat. Anak Bunda hebat.

“Bun, Aksara bawa Killa. Pacar aa’, Bunda suka Killa, kan? Katanya Bunda mau lihat Aksara nikah sama Killa, nanti kita nikah terus Bunda datang, ya? Tapi, masih nanti, soalnya kita berdua masih jadi anak sekolah.” Aksara tertawa kecil setelah menyelesaikan ucapannya. Ia menatap Killa yang menatapnya sambil menangis. Aksara tersenyum, ia mengusap pipi Killa. Kemudian ia menoleh ke arah Keisha yang diam-diam juga menangis.

“Kei, gak mau nyapa Bunda?” tanya Aksara dengan suara pelan.

“Bunda, Keisha kangen.”

Hanya satu kalimat, Aksara langsung kembali menangis. Entah kenapa ia menjadi cengeng ketika datang kemari. Suasananya cukup membuat dirinya merasakan kesedihan yang selalu ia hindari. Tangisan yang ia tahan dan ia kubur dalam-dalam mendadak tumpah ketika sedang berbicara dengan Bundanya. Tangisan pilu Aksara kembali terdengar, membuat Killa merasa tidak tega. Killa menatap nisan di depannya, dengan hati-hati meletakkan satu buket bunga Anyelir putih yang tadi Aksara beli.

“Halo, Bunda. Ini Killa. Bunda, di sana pasti indah, ya? Bunda suka di sana? Bunda, Aksara sama Keisha hebat. Aksara jadi anak pintar di sekolah, dia selalu dapat juara, nilainya bagus. Meski dia suka berantem sama anak-anak sekolah sebelah, tapi dia masih bisa handle semua pekerjaan sekolahnya. Aksa baik, Bun. Dia selalu nemenin aku, dia selalu kasih aku saran kalau aku lagi kesusahan, Aksara juga hibur aku kalau lagi sedih. Anak Bunda hebat, ya? Hebat soalnya bisa ngelakuin semuanya sendirian. Bunda, makasih ya udah biarin Aksara sama aku. Kalau gak ada Aksa, aku gak tau sekarang aku masih di sini apa enggak, haha. Bunda, aku janji bakalan urus Aksara sama Keisha! Oh iya, Keisha juga kemarin dapat juara melukis di sekolahnya. Keren, kan? Keisha suka melukis kalau di rumah Killa. Katanya dia mau jadi pelukis terkenal, Bun. Bunda pasti bangga sama anak-anak Bunda, kan?” ucap Killa dengan matanya yang berkaca-kaca. Dadanya terasa sesak, hatinya teriris, memorinya dengan Bunda dari Aksara kembali terputar di ingatannya.

Aksara meletakkan keningnya di bahu Killa dengan tangisan yang masih ada. Napasnya memburu, air matanya membasahi seragam Killa. Killa mengusap pipinya yang sudah basah karena air mata, kemudian ia menatap Aksara dan Keisha. Killa tersenyum, ia memeluk Aksara dan Keisha di depan makam Claire.

“Kangen Bunda ...” lirih Aksara.

“Jangan nangis, kasihan Keisha juga ikutan nangis,” ujar Killa.

“Killa, makasih. Makasih banyak,” ucap Aksara ketika ia mengangkat kepalanya. Menatap gadis di depannya dengan matanya yang memerah.

Killa tersenyum, “gak perlu bilang makasih, Aksa.”

“Kei, pulang sekarang, yuk?” ajak Aksara.

Keisha mengangguk, “Bunda nanti mampir ke mimpi Keisha, ya! Keisha pulang dulu. Dadah, Bunda!”

Aksara tersenyum samar, ia berdiri dari jongkoknya. Kakinya terasa ngilu karena terlalu lama berjongkok, ia menggendong Keisha yang masih menangis. Ketiganya keluar meninggalkan area pemakaman.

“Aa’, aku mau makan bakso!” seru Keisha ketika sudah berada di atas motor.

Aksara tersenyum, “oke, nanti kita mampir dulu ke bakso langganan kita. Kil, kamu juga makan dulu, ya?” Ia melirik Killa dari kaca spion motornya.

Killa mengangguk, “ayo!”

“Yeay!” sorak Keisha. Kemudian Aksara menjalankan motornya, pergi ke tempat penjual bakso yang menjadi langganannya. Tangisnya dan kesedihannya masih tersisa, tapi ia tidak boleh menangis lagi. Apalagi sekarang sedang bersama Killa dan Keisha. Aksara tidak mau terlihat lemah di depan kedua gadis yang ia sayangi. Ia harus tegar meski hatinya rapuh.

“Killaaaa,” panggil Aksara. Laki-laki itu baru saja keluar dari kamar Arka—tadi ia bermain gitar bersama di kamar Arka—menghampiri kekasihnya yang sedang bersama Aji dan Keisha.

Sedangkan Killa yang sedang menemani Aji dan Keisha melukis pun menengok ke arah sumber suara. Aksara berjalan mendekat ke arahnya, lantas duduk di samping Killa. Ia langsung memeluk Killa dari samping, menenggelamkan wajahnya di ceruk leher Killa. Menghirup aroma tubuh Killa yang menjadi favoritnya. Wanginya yang sangat Aksara sukai, bahkan tidak bosan-bosannya ia menghirup aromanya.

Aji menatap kedua orang yang berada di hadapannya dengan tatapan mengejek, “gak boleh pacaran di depan anak kecil dong!” seru Aji.

Killa mendelik. Sementara itu Aksara terkekeh di pelukan Killa, ia malah semakin mengeratkan pelukannya pada Killa.

“Bilang aja iri gak punya cewek buat dipeluk,” ucap Aksara.

“Enggak, tuh! Gue bisa peluk kak Killa kapan aja,” ucap Aji tidak terima.

Aksara mendongakkan kepalanya, menyenderkan sirahnya di bahu Killa. Mengangkat kedua alisnya, pandangannya tertuju pada Aji. “Cewek gua itu! Gua juga bisa peluk dia kapan aja,” ucap Aksara yang tak mau kalah.

“Gue kan satu rumah sama kak Killa, bisa peluk kapanpun gue mau. Lo kan harus dateng jauh-jauh dari rumah lo, baru bisa peluk kak Killa,” ujar Aji dengan nada menggebu-gebu.

Keisha yang duduk di sebelah Aji hanya menatap orang-orang dewasa yang berada di samping kanan-kirinya. Tidak mengerti apa yang dibicarakan oleh keduanya. Keisha malah asyik melukis, tangannya sudah penuh dengan warna-warna dari cat yang ia gunakan untuk melukis. Sesekali menatap Aksara dan Aji bergantian ketika dirinya merasa tertarik dengan perbincangan keduanya. Lalu kembali fokus ke lukisannya ketika tidak memahaminya.

Aksara tertawa, “nya urang nu bisa nangkeup manehna unggal poe. Lo mana bisa meluk dia,” ejeknya. (Ya gue yang bisa meluk dia setiap hari.)

Aji mendengus, “nya urang ge bisa nangkep manehna, ngan maneh kabogohna! Urang adi na!(Ya gue juga bisa meluk dia, lo cuma pacarnya! Gue adeknya!)

Sontak Killa tertawa mendengarnya. Sedangkan Aksara membulatkan matanya terkejut, menggelengkan kepalanya sambil menutup mulutnya dengan satu tangannya. Terlihat dramatis. Aji tertawa, menjulurkan lidahnya untuk mengejek Aksara karena berhasil membuat kekasih kakaknya berhenti berdebat dengannya.

“Udah dong, jangan berisik. Kasian tuh Keisha keganggu gara-gara kalian,” ucap Killa menengahi perdebatan keduanya.

“Bang Aksa duluan, tuh!” seru Aji yang kembali asyik melukis bersama Keisha.

Aksara mendelik karena Aji malah menyalahkan dirinya menjadi biang utamanya, “kok gua?! Lo duluan, ya, bocil!”

“Gue bukan bocil!” seru Aji tidak terima.

“Sstttt, jangan berisik. Mending kalian diem aja,” ujar Killa yang sudah lelah dengan perdebatan keduanya.

Keduanya terdiam. Aji dan Keisha asyik merampungkan lukisan keduanya. Killa memperhatikan Aji dan Keisha, sedangkan Aksara memeluk Killa sambil memainkan rambut panjang milik kekasihnya. Sesekali Killa melepaskan pelukan Aksara untuk membantu Keisha, tentunya Aksara langsung merengek sebal karena pelukannya terlepas.

“Eh?!”

Killa tertarik ke belakang karena Aksara menariknya dan membuatnya kembali duduk. Aksara meletakkan kepalanya di paha Killa dan memejamkan matanya, seolah-olah baru saja tidak terjadi apapun. Killa menatap Aksara di pangkuannya. Diusapnya surai milik Aksara dengan lembut, disandarkannya punggungnya di sofa. Diam-diam Aksara tersenyum.

“Gini aja, Kil. Yang lama,” gumam Aksara yang masih bisa didengar Killa.

Everything is okay?” tanyanya.

Pasalnya ketika Aksara datang bersama Keisha, Killa melihatnya dari jendela kamarnya. Wajah Aksara terlihat murung, tetapi laki-laki itu masih bisa menyunggingkan senyumnya pada Aji. Killa tidak tahu hal apalagi yang terjadi sehingga membuat Aksara menjadi murung dan pergi ke rumahnya sambil membawa Keisha. Itu bukanlah hal yang baru, sudah biasa.

Just a little problem,” jawab Aksara.

“Cerita ke aku kalau mau, kalau gak mau, ya gapapa. Asal jangan dipendem sendirian, oke?” ujar Killa.

Aksara membuka matanya perlahan. Menatap Killa, kemudian ia mengangguk. Diraihnya jari-jemarinya Killa yang membelai rambutnya. Dibawanya ke pipinya, kemudian ia kecup sekilas tangan Killa.

“Iya, sayang. Aku bakalan cerita ke kamu kok,” ucap Aksara.

Killa tersenyum, “anak baik.” Ia kembali mengusap kepala Aksara dengan lembut.

Keduanya saling bertatapan untuk beberapa detik. Lalu tiba-tiba Keisha melompat ke sofa dan duduk di dekat Killa, membuat keduanya terkejut. Keisha menunjukkan hasil lukisannya pada Killa. Aksara bangun dari pangkuan Killa, ia mendudukkan dirinya di samping Killa dan ikut memperhatikan hasil lukisan adiknya.

“Wah, ini bagus banget! Kamu keren banget, Kei,” puji Killa. Ia tidak bohong. Memang hasil lukisan Keisha sangat bagus. Diusapnya kepala Keisha, Killa tersenyum melihat Keisha yang sangat senang karena dirinya memuji hasil lukisannya.

“Makasih, teh Killa! Ini kan diajarin sama teh Killa, makanya hasilnya bagus,” ucap Keisha seraya menunjukkan deretan giginya.

Killa terkekeh, “kamu yang udah selesaiin lukisannya. Keisha hebat!”

“Keisha boleh peluk teteh?” tanya Keisha.

Killa mengangguk, “boleh dong. Sini peluk!”

Diraihnya tubuh mungil Keisha ke pelukannya. Killa memeluk Keisha, memberikan usapan di kepala dan punggung Keisha dengan lembut. Keisha juga memeluk Killa dengan erat. Keisha merasakan kehangatan seperti ketika Bundanya memeluk dirinya. Keisha suka memeluk Killa. Bahkan Keisha menganggap Killa sebagai kakaknya, sama seperti Aksara yang menjadi kakaknya.

Aksara tersenyum melihat keduanya berpelukan. Hatinya menghangat ketika melihat senyuman lebar milik Keisha. Adiknya itu selalu tersenyum lebar ketika bersama Killa. Kekasihnya itu selalu bisa menghibur dan mengajak Keisha bermain. Maka dari itu, Keisha terlihat sangat nyaman berada di dekat Killa.

Ah, Aksara teringat ketika keduanya saling bertemu. Keduanya bertemu ketika Aksara mengajak Killa bertemu sang Bunda dan adiknya di salah satu restoran. Mereka berkenalan satu sama lain. Anehnya, mereka langsung akrab. Bahkan Aksara yang di sana merasa terasingkan karena mereka asik mengobrol bersama. Meskipun begitu, Aksara senang karena Bundanya dan adiknya menyukai Killa. Bundanya pernah bilang kalau Killa itu gadis cantik yang hatinya lembut dan baik. Bunda suka ketika Killa datang ke rumah untuk menemaninya memasak. Bunda suka ketika Killa datang ke rumah hanya untuk memberikan makanan atau brownies buatannya.

Tanpa sadar, Aksara meneteskan air matanya. Memori-memori yang lalu kembali ia bawa ke atas permukaan. Mengingat memorinya bersama sang Bunda dan kekasihnya. Sangat menyedihkan. Ya, menurut Aksara itu sangat menyedihkan. Karena sekarang semuanya tidak lagi sama. Semuanya berubah, tidak seperti dulu lagi.

Killa menatap Aksara yang sedang menundukkan kepalanya. Bahunya bergetar, Aksara menyembunyikan wajahnya di bahu Killa. Killa bisa merasakan bahunya yang basah. Aksara menangis. Killa menatap Aji yang masih berada di sana, menyuruhnya untuk membawa Keisha makan. Aji pun menurutinya, ia membawa Keisha pergi ke ruang makan.

Killa mengusap kepala Aksara, diraihnya tangan Aksara dan digenggam. “Sa, kamu kenapa nangis?” tanya Killa.

“Kangen Bunda ...” lirih Aksara.

“Kita kunjungi Bunda, yuk?” ajak Killa.

Aksara menggelengkan kepalanya, Killa mengerutkan keningnya. “Kenapa?” tanya Killa.

“Besok aja,” ucap Aksara.

“Ya udah, jangan nangis lagi. Nanti Keisha lihat kamu nangis,” ucap Killa. Ia mengangkat kepala Aksara yang bersandar di bahunya.

Dilihatnya mata Aksara yang berair dan memerah, diusapnya air mata Aksara yang membasahi pipi lelaki itu. Aksara menatap Killa dengan matanya yang berkaca-kaca. Rasa rindunya kepada sang Bunda semakin membuncah. Killa tersenyum, kemudian ia memeluk Aksara dengan erat. Killa mengusap punggung Aksara, menenangkan laki-laki itu agar tidak menangis lagi. Namun, Aksara malah kembali menangis. Killa membiarkan Aksara menangis sepuasnya di pelukannya. Suasana di ruang tamu milik Killa kini dipenuhi suara tangisan Aksara. Tidak ada yang lebih menyakitkan dari mendengar suara tangisan Aksara yang sudah Killa dengar berkali-kali. Killa hanya bisa memberikan pelukan dan ketenangan untuk laki-laki itu sampai tangisan Aksara mereda.

Setelah mendapat pesan demikian dari Killa, Aksara menatap teman-temannya yang sudah bersiap-siap untuk menyerang Bara dan kawan-kawan. Aksara menghela napasnya sejenak. Dia tidak mau menjadi ketua yang cupu hanya karena ancaman putus dari sang kekasih. Namun, Aksara juga tidak mau kehilangan Killa yang sudah menjadi alasannya untuk tetap hidup.

Aksara berjalan mendekati Reza yang sedang memanaskan motornya. Reza menolehkan kepalanya ketika menyadari Aksara berada di sampingnya, laki-laki itu menyadari raut wajah temannya yang terlihat bimbang. Reza turun dari motornya dan berdiri di samping Aksara. Kedua tangannya ia masukkan ke dalam saku celana seragamnya, kaos putih yang ia pakai dibiarkan keluar dari celana seragamnya dengan baju seragamnya yang ia buka semua kancingnya. Rata-rata semuanya berpakaian demikian, atau hanya ditutupi leather jacket berwarna hitam.

“Lu kenapa?” tanya Reza sambil bersidekap dada, menatap Aksara yang sedari tadi tidak bergeming.

Tanpa menjawab pertanyaan dari Reza, Aksara menyerahkan ponselnya kepada Reza. Membiarkan temannya membaca semua pesannya dan Killa. Reza membaca dengan seksama pesan dari keduanya, kemudian terkekeh. Reza mengembalikan ponselnya pada sang empu.

“Killa udah ngancem lu putus, artinya dia udah capek liat lu berantem mulu,” ucap Reza. “Mending lu ke rumah Killa aja.” Ia berjalan beberapa langkah mendekati motornya.

Aksara mengusap wajahnya kasar, “ntar si Baranjing ngatain gua ketua cupu.”

Reza tergelak dengan perkataan Aksara, membalikkan tubuhnya dan menatap Aksara dengan tawanya yang masih mengudara. “Kagak, goblok. Kita gak usah dateng aja. Biarin dikatain cupu, lagian mereka kayak anak kecil aja mau bales dendam,” ucap Reza.

“Gak jadi, nih? Gua ke rumah Killa kalau gitu,” kata Aksara. Berjalan mengambil tas dan juga jaketnya, menghampiri motornya yang masih terparkir rapi di warung milik Bi Ina.

Yang lain menatap Aksara keheranan karena ketua mereka hendak pergi entah kemana. Mereka hanya memperhatikan gerak-gerik Aksara yang sudah akan bergegas pergi.

“Gak usah nyerang mereka, kapan-kapan aja,” ucap Aksara.

“Kenapa lu?” tanya Kale.

“Ceweknya ngancem mau putusin dia,” sahut Reza. Sontak mereka tertawa mendengarnya.

“Udah gua bilang, sama ceweknya aja langsung menciut,” ejek Raden.

“Sialan,” desis Aksara. Dia langsung menjalankan motornya, meninggalkan area warung belakang sekolahnya dan pergi ke rumah Killa. Dia akan membuktikan pada Killa kalau dirinya tidak jadi menyerang sekolah sebelah.


“Kak Killa, ada bang Aksa tuh di depan,” teriak Aji dari luar kamar Killa. Dia baru saja pulang dari sekolah sehabis melakukan ekstrakulikuler.

Killa mengerutkan keningnya. Sekarang ini ia sedang berada di kamarnya, tidak tahu apa tujuan Aksara datang ke rumahnya. Killa berjalan ke jendela kamarnya, melongokkan kepalanya ke bawah. Benar kata Aji, ada Aksara di bawah.

Lambaian tangan dari Aksara di bawah sana membuat Killa mendengus. Gadis itu langsung menjauhi jendela kamarnya dan keluar menemui Aksara yang kini sedang berbincang dengan sang Mama.

“Kamu ngapain di sini?” tanya Killa tanpa basa-basi, menatap Aksara dengan ogah-ogahan. “Gak jadi nyerang?”

Aksara menghela napasnya, menarik Killa untuk duduk di kursi yang berada di teras rumah Killa. Aksara berjongkok di hadapan Killa, kedua tangannya bertumpu pada kursi yang diduduki Killa. Menatap Killa yang tidak mau menatapnya dan malah menatap ke arah lain.

“Aku gak jadi nyerang mereka,” ucap Aksara. Matanya menatap lurus ke Killa, masih berusaha untuk membuat Killa menatapnya. “Aku nurutin kata kamu, aku gak mau putus dari kamu. Jangan putus, ya? Aku gak bisa kalau harus putus dari kamu.”

Hening.

Tidak ada pembicaraan lagi setelahnya. Killa masih terdiam tanpa menjawab kata-kata Killa. Aksara mengusap wajahnya kasar, membuat Killa menarik perhatian padanya. Ditatapnya wajah Aksara di hadapannya. Killa sebenarnya juga merasa tidak rela kalau harus menyelesaikan hubungan dengan Aksara. Putus hanyalah ancaman untuk Aksara agar laki-laki itu tidak bertengkar lagi.

Aksara itu lemah. Ya, dia lemah jika menyangkut tentang Killa. Apapun tentang Killa, maka Aksara akan lemah. Jika ada orang yang menyakiti Killa, maka orang itu akan berurusan dengan Aksara. Satu dari sekian banyaknya yang harus dilakukan Aksara untuk Killa adalah menjaga dan melindungi gadis itu dengan baik-baik. Aksara tidak mau gadisnya terluka sedikitpun.

“Berdiri, Sa. Kamu gak capek jongkok terus?” tanya Killa yang akhirnya mengeluarkan suaranya.

Aksara yang sedang menunduk pun langsung mengangkat kepalanya, lantas menggeleng pelan. “Enggak,” jawabnya.

“Berdiri.” Killa menarik lengan Aksara. Keduanya berdiri dan saling bertatapan untuk selang waktu yang lama.

“Jangan putus, Kil. Aku gak bisa jauh dari kamu,” ucap Aksara lirih.

Killa terkekeh, “iya, Aksa. Gak bakalan putus.”

“Beneran?” tanya Aksara. Killa menganggukkan kepalanya sebagai jawaban.

“Ayo, kita keliling Bandung sebelum malam datang. Kita ke Braga,” ajak Aksara.

“Mau ngapain?” tanya Killa bingung.

“Pacaran, lah. Ngapain lagi emang? Mau, gak?” jawab Aksara sambil menaik-turunkan kedua alisnya.

Killa menautkan kedua alisnya, memasang pose berpikir yang mana membuat Aksara merasa gemas dengan dirinya. Kemudian Killa mengangguk, senyum dari Aksara sontak terbentuk di wajahnya.

“Nah, yuk deh kalau gitu. Pamit dulu sama Mama,” ucap Aksara.

Killa memanggil sang Mama, Aksara berpamitan untuk membawa putri mereka pergi untuk sekedar mengelilingi Braga. Aksara memberikan jaketnya pada Killa, gadis itu langsung memakainya. Jaket yang terlihat kebesaran di tubuh Killa. Aksara tertawa gemas melihat tubuh Killa yang tenggelam di jaketnya.

“Pegangan atuh, neng,” ucap Aksara sambil melirik Killa yang duduk di belakangnya.

Killa terkekeh, kemudian memeluk pinggang Aksara. “Udah, a’.”

Aksara tertawa pelan, menjalankan motornya pergi ke Braga untuk sekedar membawa Killa berkeliling atau membeli apapun yang Killa inginkan di sana. Sebelum malam datang, mereka ingin menikmati waktu berdua tanpa ada gangguan siapapun. Biarkanlah sepasang kekasih itu menikmati waktunya.

cw // fight , berantem , blood , harsh words.

Dengan langkah yang tergesa dan juga napas yang memburu, Aksara menghampiri motornya. Sepanjang berjalan di koridor tadi, orang-orang yang melihatnya merasa ketakutan karena aura yang dikeluarkan Aksara sangat gelap. Lelaki itu marah. Marah karena gadisnya disekap oleh orang brengsek. Tangannya menggenggam setir motor dengan kencang hingga buku-buku jari kukunya memutih.

Aksara mempercepat laju motornya menuju sekolah sebelah. Batinnya memaki-maki mereka yang sudah mengambil gadisnya. Berjanji akan menghabisi siapapun yang sudah melukai gadisnya. Tidak akan mengampuni orang-orang yang sudah melukai gadisnya.

Motornya berhenti di jalanan luas yang kosong tanpa ada pengendara yang lalu-lalang. Aksara turun dari motornya. Memperhatikan sekitarnya yang kosong tanpa ada tanda-tanda seseorang di sana.

“Keluar lo, bangsat!” teriak Aksara dengan wajah yang sudah memerah menahan amarah yang bisa meluap sewaktu-waktu.

Suara langkah kaki terdengar memasuki indera pendengaran Aksara. Wajahnya melihat ke satu tempat yang ia tebak orang itu akan datang dari sana.

Benar dugaannya. Seseorang datang dari sana dengan wajah mengejek tertuju padanya. Aksara mengepalkan kedua tangannya yang terjuntai di samping tubuhnya. Menatap tajam seseorang yang selama ini menjadi lawannya. Maju satu langkah, namun terhenti karena ucapan dari orang di depannya.

“Berhenti di sana. Lo jangan berani maju sebelum gua bawa cewek lo ke sini,” ucap Bara sang ketua.

Aksara menggelatukkan giginya, tangannya semakin terkepal erat. Dadanya naik turun menahan amarahnya yang sudah meluap-luap, entah kapan amarahnya akan meledak. “Jangan berani-beraninya lu pegang cewek gua, anjing! Bawa Killa ke sini!” ucap Aksara.

Bara tersenyum miring, menyuruh anak buahnya membawa seorang gadis yang tadi mereka sekap. Keluarlah Abim, Jaka, Karel, Satria, dan Mikael yang menjadi anak buah Bara. Membawa seorang gadis yang memberontak meminta dilepaskan.

Aksara menatap Killa yang sudah terlihat berantakan. Wajahnya kusut, matanya memerah. Gadisnya menangis. Aksara marah, marah sekali karena mereka sudah berani membuat gadisnya menangis. Killa menatap Aksara dengan batinnya yang terus berteriak memanggil Aksara.

Abim melepas kain yang menyumpal mulut Killa dengan kasar. Killa mengatur nafasnya, ia menatap orang-orang yang memegangi tangannya. Berusaha untuk melepaskan ikatan di tangannya.

“Lepasin!” teriak Killa.

“Gak usah banyak omong. Jangan sampai gua pukul cowok lo,” ujar Bara. Membuat Killa memberhentikan aksinya.

“Lepasin cewek gua, anjing!” seru Aksara.

Bara tertawa. Merasa Aksara lemah hanya karena kekasihnya ia sekap. Bara menatap Aksara remeh. Mengejek Aksara yang tidak bisa bergerak sama sekali. Lagi-lagi ia menghentikan langkah Aksara yang ingin mendekati mereka.

Chaménos itu nama geng Bara. Geng yang selalu membuat masalah, biang dari semua masalah Aksara dan teman-temannya, selalu membuat keributan diantara geng keduanya. Tidak ada kata damai diantara geng Chaménos dan Ágrios. Bertengkar, bertarung, melawan satu sama lain sudah menjadi kegiatan sehari-hari mereka.

“Mau lu apa, sih, bangsat?!” tanya Aksara. Dia sudah muak karena Bara terus menahan langkahnya.

Bara menaikkan sebelah alisnya, “gua? Gua cuma mau geng lu ngalah sama kita. Jangan ambil daerah wilayah kita lagi, anjing.”

Aksara terkekeh, “apa lo bilang? Kita ngambil daerah wilayah lo? Gak ada yang rebut wilayah lo, anjing. Lo sama temen-temen lo tuh yang selalu cari masalah sama kita. Emang dasarnya kalian orang-orang gak jelas yang kerjaannya cuma cari masalah!” ucap Aksara dengan lantang. Menatap Bara dan teman-temannya dengan matanya yang tajam.

“Maksud lo apa, anjing?!”

Bara berlari menerjang Aksara. Aksara menghindari serangan Bara dengan cepat. Keduanya mulai saling memukul satu sama lain. Berusaha untuk membuat babak belur. Pukulan demi pukulan tak terelakan mereka layangkan ke wajah dan badan mereka.

Aksara terjatuh di atas aspal ketika Bara memukul telak pipinya. Bara tertawa ketika berhasil menjatuhkan lawan. Aksara berdecih, merasakan rasa asin dan besi ketika tidak sengaja menjilat bibirnya. Bibirnya berdarah, dan mungkin saja robek.

Killa hanya bisa menatap keduanya sambil berteriak untuk memberhentikan keduanya. Mereka tentu saja tidak mendengarkannya dan malah semakin memukul satu sama lain. Killa menangis. Ia menangis ketika melihat Aksara terluka.

Aksara bangkit dan memukul Bara hingga terjatuh. Dipukulnya wajah Bara berulang-ulang. Meluapkan amarahnya yang sudah tidak terbendung lagi. Napasnya memburu. Memukul wajah Bara dengan kuat hingga Bara hampir pingsan karena pukulan Aksara yang sangat kuat. Teman-teman Bara sontak melepaskan Killa dan menghampiri sang ketua mereka yang terbaring tak berdaya di atas aspal.

Aksara berdiri, berlari mendekati Killa dan melepas ikatan tangan Killa. Gadis itu langsung memeluk Aksara dengan badan yang bergetar, menangis dengan kencang. Aksara memeluk Killa dengan erat, dadanya terasa sesak mendengar tangisan Killa yang menyayat hatinya.

“Sayang, aku di sini. Kamu jangan takut lagi. Aku udah pukulin Bara, kamu jangan takut. Ada aku di sini, jangan nangis lagi, ya?” ucap Aksara menenangkan kekasihnya.

“K–kamu gimana?” Killa menatap wajah Aksara yang terluka.

Aksara tersenyum, “gak apa-apa, sayang. Aku gapapa. Kita pulang sekarang.” Aksara menggenggam tangan Killa, membawanya ke motornya.

Memakaikan jaket yang ia pakai pada Killa. Setelah itu menyuruh Killa untuk naik ke motornya dan duduk di belakangnya. Aksara menatap Bara yang menatapnya tajam, Aksara berdecih.

“Gak ada kata maaf buat lo, ya, bangsat!” seru Aksara lalu menjalankan motornya meninggalkan tempat itu.

Killa memeluk Aksara dengan erat. Menyembunyikan wajahnya di bahu Aksara dengan air mata yang masih keluar dari matanya. Langit kota Bandung sore itu menjadi saksi bagaimana Aksara yang berusaha untuk melindungi Killa dari orang-orang brengsek yang sudah berani menyekap gadis yang ia cintai. Aksara menatap lurus ke depan, menatap jalanan yang ia telusuri bersama Killa. Melirik Killa yang menyembunyikan wajahnya di bahunya dari kaca spion motornya. Sebelah tangannya mengusap tangan Killa yang melingkar di pinggangnya.

“Jangan takut, aku di sini,” ucap Aksara.

Acara pertunangan Adira dan Javiro sudah berlangsung sejak 15 menit yang lalu. Mereka berdua sudah saling bertukar cincin. Tepukan meriah dari orang-orang yang datang di acara mereka terdengar ketika keduanya memamerkan cincin yang terpasang di jari manis mereka.

Kini orang-orang yang datang sedang asik menjamu. Adira menghampiri teman-temannya yang langsung menyambutnya dengan heboh. Teman-temannya memberi selamat untuknya dan Javiro yang resmi bertunangan hari ini.

“Selamat, sayangku. Temen gue udah tunangan aja,” ucap Kamala pada Adira.

Adira terkekeh, “kapan-kapan lo nyusul deh.”

“Dia kan gak ada calonnya,” sahut Edrea lalu tertawa.

“Lo aja sana sama si Adam,” timpal Javiro yang merangkul bahu Adam. Edrea dan Adam sontak protes karena mereka yang menjadi sasaran.

Mereka mengobrol selama tamu lainnya sedang menjamu. Adira tidak sengaja menatap ke arah pintu masuk, ada Jinan dan teman-temannya yang datang. Jinan dan teman-temannya mendekati tempat duduk Adira dan teman-temannya. Adira langsung membuang mukanya ketika melihat Jinan mendekat.

“Bro, selamat udah tunangan,” ucap Yoga.

“Haha, thanks,” balas Javiro. Ia dan Yoga melakukan tos ala laki-laki.

Satu-persatu mengucapkan selamat kepada Javiro dan Adira. Sekarang giliran Jinan yang belum mengucapkan selamat kepada keduanya. Senyumnya ia tampakkan, Jinan melangkahkan kakinya lebih dekat dengan Javiro yang menatapnya tanpa ekspresi.

Congrtas, Jav. Semoga lancar sampai kalian nikah nanti,” ucap Jinan. Mengulurkan tangannya memberi selamat kepada Javiro.

Javiro menjabat tangan Jinan, menyunggingkan senyum tipisnya. “Makasih, ya. Cepet nyusul.”

Jinan terkekeh, ia menatap Adira yang juga menatapnya. Perempuan cantik yang dulu ia puji karena kecantikannya dan kebaikannya, perempuan yang dulu ia pamerkan kepada teman-temannya dengan embel-embel sebagai kekasihnya. Sekarang perempuan itu berdiri di hadapannya, jari manisnya sudah terpasang cincin yang sangat cocok di jari lentiknya. Perempuan yang dulu sempat menjadi miliknya, kini sudah menjadi milik orang lain. Takdir memang tidak terduga.

Jinan tersenyum menatap Adira, ia menghela nafasnya sebelum melontarkan kalimat. “Selamat, ya, Ra. Akhirnya lo nemu cowok yang pas buat jagain lo seumur hidup lo. Gue harap lo bahagia sama Javiro sampai kalian jadi kakek-nenek. Gue harap gak ada kesedihan di hidup lo setelah ini. Sekarang lo udah jadi milik orang lain, not mine anymore. Meski gitu, gue bahagia selama lo bahagia. Sekali lagi, selamat buat kalian berdua. Gue ikut seneng. Doain gue cepet nyusul.”

Adira tersenyum mendengar kata-kata yang di ucapkan Jinan, hatinya menghangat karena kini Laki-laki itu perlahan sudah melepasnya. Ya, memang seharusnya begitu. “Makasih, Ji. Makasih banyak, ya. Gue harap lo juga bahagia, temuin kebahagiaan lo dan cepet nyusul!”

Jinan tersenyum sebagai balasan. Kini mereka mengambil foto bersama sebagai kenangan di hari pertunangan Javiro dan Adira. Mengambil beberapa foto dengan pose yang berbeda-beda. Foto-foto yang akan mereka ingat, hari dimana hari bahagia Javiro dan Adira. Dan kini, Javiro dan Adira hanya menunggu hari dimana mereka akan memulai kehidupan baru.

Takdir, ya? Takdir tidak ada yang tau selain Tuhan. Dan kita hanya perlu mengikuti alur dan kita akan menemukan takdir kita yang sebenarnya setelah kita sampai diujung alur cerita kita. And now the story of Adira and Jinan is finished. Let Jinan find his happiness and Adira who is happy with Javiro.

END

Adira melangkahkan kakinya begitu ia melihat tidak ada satupun kendaraan yang lewat. Gadis itu menyebrangi jalan dan pergi ke caffe yang letaknya tidak jauh berada di depannya. Suara lonceng berbunyi ketika Adira membuka pintunya. Mengedarkan pandangan ke penjuru arah, begitu lambaian tangan dari seseorang terlihat, Adira melangkahkan kakinya mendekat.

Adira duduk di depan Nata yang kini tersenyum ke arahnya. Ia baru pertama kali melihat senyuman Nata yang terlihat tulus. Adira merasa kalau Nata menjadi lebih kurus, pipinya tirus, mungkin berat badannya juga menurun.

“Nat, gimana kabar lo?” tanya Adira berbasa-basi.

I'm totally fine, Ra. Gimana sama lo? Has your life been okay so far?” balas Nata dengan pandangan lurus menatap manik Adira.

Adira mengangguk dan tersenyum, “so far so good,” jawabnya.

Nata meletakkan kedua tangannya di atas meja, memainkan jari-jarinya dan menundukkan kepalanya. Ia menghela nafasnya sesaat sebelum ia kembali mendongakkan kepalanya dan menatap Adira.

“Adira, gue mau minta maaf sama lo. Gue tau kalau gue udah ngelakuin kesalahan terbesar di masa lalu, dan sekarang gue nyesel. Gue nyesel udah bikin lo sama Jinan putus. Gue udah bikin hidup kalian berantakan. Terlebih Jinan ... Dia jadi anak yang suka ngerokok semenjak kalian putus. Di situ gue merasa kasihan, tapi ambisi gue buat dapetin Jinan lebih besar dari rasa kasihan gue, Ra,” ucap Nata dengan mata yang mulai berkaca-kaca. “Jinan selalu bilang ke gue kalau dia cuma suka sama lo, cuma cinta sama lo. Bukan sama gue. Dan gue sadar kalau rasa cinta Jinan ke lo itu sangat besar, Ra. He loves you so much.

Adira menggenggam tangannya yang berada di pangkuannya. Mendengarkan kalimat demi kalimat yang dilontarkan Nata. Ia mendengarkan dengan seksama perkataan Nata. Bahkan dirinya ikut terlempar di masa lalu ketika Nata mengatakan bahwa Jinan sangat mencintainya.

Ingatannya terlempar di masa-masa ketika ia masih berpacaran dengan Jinan. Satu-persatu kenangan dengan Jinan mulai kembali muncul ke permukaan. Kenangan yang manis, namun juga pahit.

Adira tersentak ketika Nata memanggilnya, “kenapa, Ra? Kok lo ngelamun?” tanya Nata.

Adira menggeleng, “gapapa kok. Lanjutin aja, Nat.”

Nata mengangguk, “gue selalu dibayang-bayangi rasa penyesalan gue. Gue bahkan baru berani nemuin lo setelah beberapa tahun, gue baru punya muka buat ketemu sama lo. Gue malu banget udah bikin lo ngerasain luka yang bener-bener butuh waktu lama buat nyembuhinnya. Gue minta maaf, beribu-ribu maaf gue ucapin buat lo. Gue minta maaf, Ra. Meski rasa minta maaf gue gak bakalan bisa nyembuhin rasa sakit hati lo dulu ... Gue bener-bener minta maaf sama lo.” Nata menundukkan kepalanya dan mulai terisak.

Adira yang melihat Nata mulai menangis pun berdiri dari duduknya dan duduk di samping Nata. Adira mengusap bahu Nata dan menyuruhnya untuk berhenti menangis, “Nat, jangan nangis. Gue udah maafin lo dari dulu kok. Meski gue masih marah sama lo, gue udah maafin lo, Nata. Jangan nangis,” ucapnya.

“Setelah ini gue gak bakalan ganggu hidup lo lagi, Ra. Gue bakalan menjauh dari hidup lo dan juga Jinan,” ucap Nata.

“Emang lo mau kemana?” tanya Adira penasaran.

“Gue bakalan menetap di luar negeri, bokap gue udah ngelarang gue balik ke Indonesia lagi dan gue setuju. Gue bakalan tinggal di rumah Mama gue yang ada di sana,” balas Nata.

“Nat, gimanapun kehidupan lo selanjutnya, gue harap lo bahagia dan bisa jalanin kehidupan lo dengan baik. Jangan ulangin kesalahan yang sama di masa depan nanti. Gue udah maafin lo kok, Jinan pasti juga udah maafin lo. Emm, mungkin see u when i see u again?” ucap Adira sambil tersenyum. Nata tersenyum dan memeluk Adira, keduanya saling berpelukan sebelum saling menjauh dan menjalankan kehidupan masing-masing.

“Makasih, Ra. Gue harap lo bahagia terus!” seru Nata. “Gue balik, ya. Bentar lagi pesawat gue mau take off.

Adira membulatkan matanya, “eh, kok cepet banget?”

Nata terkekeh, “iya, biar gak lama banget. Eh, itu supir bokap gue udah dateng. Duluan, ya, Ra. Bye!” Nata melambaikan tangannya dan segera keluar dari caffe.


Adira dan Javiro melangkahkan kakinya masuk ke dalam toko cincin yang sudah menjadi tujuan mereka sejak kemarin, namun baru hari ini mereka memiliki kesempatan untuk datang. Ya, karena keduanya sibuk mengurusi sidang minggu depan. Jadi, hari ini adalah hari yang tepat.

Keduanya memilih cincin yang akan mereka beli untuk tunangan mereka nanti. Banyak cincin yang bagus dengan desain yang unik. Adira melihat sepasang cincin dengan berlian kecil di atasnya. Desainnya sederhana dan terlihat elegan.

“Eh, ini bagus, Jav,” ucap Adira menunjuk sepasang cincin yang menarik perhatiannya.

Javiro mengalihkan pandangannya dan melihat cincin yang di tunjuk Adira, “kamu mau yang ini?” tanyanya.

Adira mengangguk, “boleh, sih. Tapi, kalau kamu ada cincin yang lebih bagus, ya udah terserah kamu aja.”

Javiro tersenyum, ia mengusap kepala Adira. “Ini aja deh, aku setuju sama pilihan kamu. Desainnya unik.”

Adira tersenyum menatap Javiro, “ya udah, ini aja! Mbak, tolong dong cincin yang ini. Kita pilih cincin yang ini,” ucap Adira pada mbak-mbak yang menunggu mereka memilih cincin.

Kotak berisi sepasang cincin di keluarkan, keduanya menatap cincin itu dengan mata berbinar. Keduanya keluar dari toko cincin setelah membeli cincin yang mereka mau. Adira menggandeng lengan Javiro, ia menjadi tidak sabar untuk acara pertunangan mereka nanti.

“Aku gak sabar deh nanti acara tunangan kita,” ucap Adira sambil tersenyum. Javiro melirik Adira dengan senyuman yang tersungging di wajahnya, ia menatap ke depan dan fokus menyetir mobilnya. Sebelah tangannya yang tidak menyetir di gunakan untuk menggenggam tangan Adira.

“Sama dong, aku juga gak sabar,” timpal Javiro.

“Ini cuma temen-temen terdekat aja yang dateng, kan?” tanya Adira.

Javiro mengangguk, “emang kamu mau undang satu kampus buat dateng ke acara tunangan kita?” lalu ia terkekeh.

Adira mencebik, “enggak! Aku kan cuma nanya ajaaa.”

Javiro tersenyum, ia mengusak rambut Adira. “Iya deh iya.”

Keduanya saling melempar candaan selama di perjalanan pulang ke rumah Adira. Tidak ada kata sepi diantara mereka ketika keduanya sudah asik dalam dunianya. Mereka akan asik mengobrol dan bercandaan. Keduanya juga tidak menyukai keheningan. Makanya mereka berdua selalu berusaha mencari topik.

Hari ini, 23 Oktober 2033 adalah ulang tahun Rajendra yang ke-29 tahun. Usianya yang sudah bertambah tua, wajahnya juga sudah terlihat keriput, tapi tidak memudarkan ketampanannya sejak ia masih muda.

Perayaan ulang tahun Rajendra sangat sederhana, tidak terlalu mewah, namun elegan. Hanya kerabat terdekat dan keluarga yang datang di perayaan ulang tahunnya. Atas permintaan sang istri kemarin, akhirnya Rajendra menurutinya.

Orel juga sudah menyiapkan kejutan yang akan ia berikan kepada Rajendra. Ia menjadi sangat tidak sabar karena dirinya sudah menunggu hari ini tiba.

Orel menggandeng Jena yang tampak cantik dengan gaun yang sama dengan sang Bunda, mereka berdua menghampiri Rajendra yang berdiri di depan kue. Mereka akan meniup lilin bersama-sama. Setelah lilin padam, semua orang bertepuk tangan. Rajendra memotong kuenya dan memberikan potongan kue itu kepada sang Bunda, Ayah, istri, lalu anaknya.

Orel mengkode Caca untuk menggendong Jena, Caca langsung menggandeng Jena dan menggendongnya. Caca berbisik pada Jena bahwa sebentar lagi akan ada kejutan untuk Ayahnya dan dirinya. Jena mendadak menjadi antusias dan tidak sabar menunggu kejutan yang akan di berikan sang Bunda.

Orel menghampiri Rajendra dengan kotak yang sudah ia hias di tangannya, “selamat ulang tahun, mas Rajendra! Udah tambah tua, semoga semakin sayang keluarga, jangan terlalu keras buat kerja, ya? Nanti kamu kecapekan. Sekali-kali luangin waktu buat Jena sama aku. Aku gak minta apa-apa selain kamu sehat selalu dan cuma mau kamu dan keluarga kita bahagia selamanya.”

Rajendra tersenyum menatap Orel, ia memajukan tubuhnya dan mengecup kening sang istri. “Makasih, sayang. Makasih banyak karena udah nemenin aku sampai sekarang. Aku beruntung karena Tuhan menakdirkan kita buat bareng-bareng sampai sekarang, bahkan kita di beri anugerah satu anak perempuan cantik.”

Orel tersenyum, “anugerah dari Tuhan bukan Jena aja, mas.”

Rajendra mengerutkan keningnya, tidak paham dengan perkataan Orel. “Maksudnya?”

Orel memberikan kotak yang ia pegang, Rajendra menerima kotak itu dan menatap Orel ragu-ragu. Orel menyuruh Rajendra untuk membuka kotaknya. Rajendra membuka kotaknya perlahan. Matanya membulat ketika menemukan benda panjang pipih dengan garis dua, ia menatap Orel tidak percaya. Matanya berkaca-kaca, Rajendra langsung memeluk Orel dengan erat. Ia menangis terharu sekaligus tangisan kebahagiaan.

Orel mengusap bahu Rajendra, “selamat karena sebentar lagi bakalan jadi Ayah dari dua anak,” bisiknya.

Tangisan Rajendra semakin deras, orang-orang menatap keduanya kebingungan. Rajendra melepaskan pelukannya, ia menatap Jena yang sedang di gendong Caca. Rajendra menyuruh Jena untuk mendekat ke arahnya. Jena turun dari gendongan Caca dan berlari ke pelukan Rajendra. Rajendra mengecup kepala Jena berulangkali.

“Aduh, Ayah kenapa nangis?” tanya Jena, menatap Ayahnya yang tersenyum padanya.

“Jena, kamu tau gak kejutan yang di kasih Bunda?” tanya Rajendra, menyuruh sang anak untuk menebaknya.

Jena menggeleng, “gak tau, emang apa, Ayah?”

“Jena sebentar lagi jadi kakak, Jena bakalan punya adek bayi.” ucapan Rajendra sukses membuat semua orang berteriak senang.

Mereka semua langsung memeluk Orel dan Rajendra, juga memberikan selamat kepada keduanya. Tak lupa memberi selamat kepada Jena yang sebentar lagi akan menjadi kakak.

“Adeknya kakak, selamat! Bentar lagi aku punya ponakan lagi,” ucap Manuel sambil memeluk Orel.

“Selamat, ya!” ucap Kaira, istri Manuel, ia juga memeluk Orel.

“Bro, selamat bentar lagi punya anak lagi,” ucap Jemy sambil merangkul Rajendra.

“Jena, asik bentar lagi punya adek,” kata Haikal kepada Jena.

“Iya dong, bentar lagi Jena jadi kakak! Nanti adek bayinya mau Jena ajak main!” ucap Jena, semua orang tertawa karena melihat tingkahnya yang sangat menggemaskan.

Rajendra menghampiri Orel dan memeluk istrinya sekali lagi. Ia sudah menduga kalau Orel sedang hamil karena akhir-akhir ini istrinya selalu meminta ini itu dan porsi makannya mendadak banyak. Rajendra mengecup kepala Orel sangat lama. Orel memejamkan matanya, ia tersenyum ketika Rajendra mengusap kepalanya dan menatapnya dengan penuh rasa sayang.

“Makasih, ya? Makasih udah mau jadi istriku, makasih udah mau mengandung anak-anakku, makasih banyak. Makasih udah mau terima semua kekurangan aku. Maaf, kalau aku belum bisa bikin kamu sama Jena bahagia. Aku cinta sama kamu, Orel. Sampai akhir nanti, aku bakalan tetep cinta sama kamu,” ucap Rajendra. Ia menggenggam tangan Orel dengan erat. Mengalihkan pandangannya pada perut Orel yang masih rata dan mengusapnya, senyuman terukir di wajahnya.

Orel tersenyum, “mas, kamu itu udah cukup buat aku. Kamu udah bikin aku sama Jena bahagia, bahagia yang sesungguhnya. Kamu selalu punya cara buat bikin kita bahagia, mas. Jadi, jangan merasa belum bisa bahagiain aku sama Jena. Makasih, ya? Makasih udah mau jadi suami dan Ayah yang baik, makasih banyak. Aku juga cinta banget sama kamu, mas. Bahkan sampai kita mati nanti, aku tetep cinta sama kamu. I love you, and I will always love you.

Keduanya saling berpelukan dengan senyuman yang tak luput dari wajah mereka. Jena yang melihat orang tuanya berpelukan pun ikut memeluk kedua orang tuanya. Mereka berpelukan, menyalurkan rasa sayang dan cinta yang mereka miliki. Potret ketiganya di ambil dan hasilnya sungguh sangat indah. Potret yang akan selalu menjadi kenangan terbaik dalam hidup mereka.

Dan ini adalah akhir dari cerita mereka, mereka akan tetap saling mencintai dan tetap bersama sampai tua nanti, sampai mereka menjadi nenek, sampai maut memisahkan mereka. Mereka akan saling mencintai. Selamanya.

END

Orel langsung melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumahnya setelah membayar ongkos taxi. Orel membuka pintu rumahnya dan mengucapkan salam. Jena yang sedang duduk di pangkuan sang Ayah karena tadi menangis langsung menghampiri sang Bunda.

Orel berlutut mensejajarkan tingginya dengan anaknya, Orel tersenyum dan membuka kedua tangannya. Jena berlari berhamburan ke pelukan sang Bunda. Sisa-sisa air matanya masih tergenang di pipi, Orel mengecup pipi putrinya, mengusap pipi sang anak.

“Anak Bunda kok nangis? Padahal tadi Bunda cuma keluar sama temen,” ucap Orel, ia menggendong Jena dan membawanya ke ruang keluarga. Di susul Rajendra di belakangnya. Keduanya duduk di sofa dan menatap Jena yang masih memeluk Orel.

“Jena kaget soalnya Bunda gak ada di rumah,” lirih Jena. Ia semakin menenggelamkan kepalanya di dada sang Bunda.

Orel terkekeh, ia mengusap kepala Jena dengan penuh kasih sayang. “Jena anak baik, jangan nangis lagi, oke? Bunda udah di sini, jadi Jena jangan nangis lagi.”

Jena mengangkat kepalanya, ia mengangguk dan menyodorkan jari kelingkingnya. Orel menatap Jena bingung, “Bunda harus janji sama Jena, jangan pergi kemana-mana.” ucapan sang anak membuat kedua orang yang sudah cukup umur itu tertawa.

Orel menautkan jari kelingkingnya di jari kelingking sang anak, “janji. Bunda janji sama Jena gak bakal pergi kemana-mana,” ucapnya. Ia mengecup kepala sang anak dan kembali memeluknya.

Rajendra tersenyum melihat dua wanita yang saling berpelukan di depannya. Ia mengusap kepala Jena dan juga Orel yang kini sudah menjadi istrinya dan memiliki satu anak dengannya.

“Jena, sekarang udah sore, kamu mandi sana,” titah Rajendra.

“Tapi, Jena mau di mandiin sama Bunda,” pinta Jena.

“Bunda kan baru pulang, pasti Bunda capek,” ucap Rajendra.

“Aku gapapa kok, mas,” sela Orel. “Jena mau di mandiin sama Bunda?” tanya Orel kepada sang anak, Jena mengangguk sebagai jawaban.

Orel menyuruh Jena untuk turun dari pangkuannya, ia berdiri dan menggandeng Jena pergi ke kamar mandi.

“Sayang, kamu kan baru pulang. Kalau capek, mending aku aja yang mandiin Jena,” ujar Rajendra yang mengikuti keduanya di belakang.

“Gapapa, mas. Aku gak capek kok. Lagian udah terbiasa, jadi gak kerasa capeknya,” balas Orel.

Rajendra tersenyum, “istri yang baik deh kamu. Nanti aku boleh dong gabung sama kalian,” godanya yang langsung mendapat tatapan tajam dari sang istri.

Orel membawa Jena masuk ke dalam kamar mandi, ia menatap Rajendra yang sedang cengengesan dengan tajam. “Gak usah macem-macem deh kamu. Awas aja!”

“Bercanda aja ...” lirih Rajendra menatap pintu kamar mandi yang tertutup.

Kasian deh Ayah, hahaha.

Suara sang anak dari kamar mandi terdengar, anaknya mengejek dirinya. Rajendra menggelengkan kepalanya dan menghampiri kasurnya untuk merebahkan dirinya. Sudah punya anak 1 dan sudah berumur, membuat pinggangnya tidak sekuat dulu. Sekarang dikit-dikit pegal, membuat dirinya harus memakai koyo setiap punggungnya terasa pegal.

“Anak gue lucu, tapi suka banget jahil. Udah pasti ini ajaran Haikal,” gumam Rajendra sambil menutup matanya.